Mengapa SP JICT Tolak Keputusan Dirut Pelindo II?, RJ Lino ‘Jual’ Aset Bangsa Harga Murah

oleh -378 views
oleh
Aksi demo tolak konsesi JICT
JAKARTA, HR – Pemogokan karyawan/pekerja Jakarta International Container Terminal (JICT) yang melumpuhkan Tanjung Priuk pada 28 Juli 2015 merupakan dampak dari persoalan besar yang tidak terkait dengan kesejahteraan pekerja melainkan penyelamatan aset nasional dan pemberlakuan good governance.
Pemogokan itu terselesaikan ketika dua karyawan JICT, Manajer HRD dan Manajer IT yang sudah dipecat manajemen Pelindo II, dikembalikan pada posisinya semula.
Namun pertikaian ini akan terus berlanjut karena pada dasarnya pemecatan itu merupakan respons manejemen atas keterlibatan kedua karyawan tersebut dalam aksi Serikat Pekerja (SP) JICT menolak keputusan Pelindo II memperpanjang konsesi JICT ke perusahaan asing. SP JICT menyatakan aksi gugatan akan dilanjutkan sebelum masalah konsesi JICT ini terselesaikan.
Dirut Pelindo II RJ Lino sudah mengeluarkan rangkaian pernyataan yang menyudutkan SP JICT. Lino menyatakan SP JICT adalah ‘musuh bangsa’, ‘tak tahu terimakasih’, ‘memiliki kepentingan pribadi’ dan sebagainya. Lino juga menyatakan ‘negara akan untung 400 juta dolar AS dari konsesi JICT ke Hutchison Port Holding (HPH) Hongkong’.
Untuk itu melalui surat pernyataan ini, SP JICT perlu menegaskan duduk perkara penolakan SP terhadap keputusan Dirut Pelindo II. Pertama, perpanjang konsesi JICT ke HPH (Hongkong) yang sebenarnya baru akan berakhir pada 2019, dengan nilai penjualan sangat rendah, tanpa tunduk pada UU Pelayaran.
Kedua, pemberian konsesi JICT kepada Hutchison berlangsung pada 1999. Ketika itu ditetapkan kepemilikan Hutchison Port Holding 51%, Pelindo II 48,9% dan Koperasi Pegawai Maritim 0,1%. Perjanjiannya, konsesi ini berlangsung 20 tahun: 1999-2009. Ketika itu, JICT dijual sebesar USD 243 juta dengan kapasitas volume 1,4 juta TEUS. Pemberian konsesi kepada HPH ini bisa dipahami mengingat kondisi ekonomi Indonesia yang sulit saat itu dan adanya kebutuhan transfer keahlian dan pengetahuan.
Ketiga, Lino menetapkan penjualan JICT dengan harga terlalu murah. Keempat, Keputusan Lino mengabaikan fakta bahwa selama 16 tahun terakhir (sejak 1999), JICT sudah berkembang menjadi salah satu pelabuhan petikemas terbaik bukan saja di Indonesia namun juga di Asia. Selama 16 tahun itu SDM Indonesia sudah belajar cara mengelola pelabuhan peti kemas secara mandiri dan menguasai tenologi yang dibutuhkan tanpa memerlukan keterlibatan pihak asing.
Kelima, mengabaikan peraturan perundangan yang ada. Proses perpanjangan konsesi itu dilakukan tanpa persetujuan Menteri Perhubungan yang berarti merupakan pelanggaran UU 2008 tentang Pelayaran.
Keenam, Menteri BUMN Rini Soemarno meminta Pelindo II memperhatikan aspek hukum terkait pemisahan fungsi operator dan regulator sesuai UU No 17 2008. Dengan kata lain, menteri BUMN ingin mengingatkan bahwa Pelindo II tidak dapat begitu saja melakukan perpanjangan konsesi tanpa persetujuan pihak regulator, yaitu Kementerian Perhubungan.
Ketujuh, Lino berkilah ia sudah meminta opini Jaksa Agung Muda Perdata Tata Usaha Negara yang menyatakan konsesi ke HPH memang tidak perlu tunduk pada UU Pelayaran 2009, mengingat keputusan itu dilakukan pada 1999 jauh hari sebelum UU dikeluarkan.
Kedelapan, mengabaikan begitu saja rekomendasi Oversight Committee (Erry Riyana, Faisal Basri, Li Chen Wei, Natalie Soebagio, Fikri Assegaf) yang dibentuk Pelindo II bahwa perpanjangan konsesi sebaiknya dilakukan dengan tender terbuka.
Dengan latar belakang itulah, SP JICT akan terus menggugat keputusan Lino. SP tidak ingin aset bangsa yang sangat menguntungkan ini dipindahtangankan begitu saja untuk kepentingan asing, apalagi tanpa mengindahkan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia.
Gerakan SP JICT ini bukanlah didasarkan pada kepentingan pribadi atau kelompok atau ideologi anti-asing atau pasar bebas. Yang diperjuangkan adalah pemanfaatan asset bangsa sebesar JICT untuk kepentingan bangsa sebasar-besarnya dengan cara yang mengikuti prosedur hukum dan peraturan perundangan yang berlaku. ■ krisman

Tinggalkan Balasan