Sertipikat Ganda, Somat Desak Menteri Agraria Bersihkan Oknum di BPN Tangsel dan Pemprov Banten

oleh -2.4K views
oleh
Annie Sri Cahyani (ASC) (topi caping) didamping pengacara warga, Ismail (kemeja).

JAKARTA, HR – Berbagai permasalahan timbul mengenai implementasi dari UUPA. Hak-hak tanah pada khususnya hak milik seringkali terjadi perselisihan karena adanya kasus sertifikat ganda yang kerap kali terjadi di kalangan masyarakat.

Seperti halnya kasus dialami puluhan warga dari kawasan Pondok Jaya, Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, adanya SHGB yang tumpangtindih dengan SHM milik warga.

Mereka mempermasalahkan soal sertifikat hak guna bangunan (SHGB) yang diterbitkan oleh oknum BPN Kabupaten Tangerang, Didik Warsono pada tahun 2000 kepada PT Jaya Real Properti.

Sekitar 50 warga Bintaro, Tangerang Selatan (Tangsel), Banten yang menjadi korban tanahnya dikuasai pengembang secara tidak sah tersebut, menggelar aksi damai di depan Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) di Jalan Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (26/3).

Mereka tergabung dalam Solidaritas Masyarakat Tangerang (Somat) berunjuk rasa mengadukan nasib dan menuntut mediasi terkait sekelompok mafia tanah yang diduga berkomplot dengan oknum aparat penegak hukum dan oknum aparat BPN, merampas tanah mereka yang dimiliki secara sah.

Mendesak Menteri Agraria dan tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil membersihkan oknum-oknum di BPN Tangsel dan Pemprov Banten, karena tanah mereka diserobot pengembang besar PT Jaya Real Properti.

“Sudah jelas kok kita punya sertifikat kepemilikan yang sah, dan pihak pengembang sama sekali tak memiliki sertifikat resmi dari pemerintah,” ucap Saiful Basri dalam aksi damai itu. wartawan di lokasi.

Akhirnya, permintaan para pengunjuk rasa untuk bermediasi dikabulkan. Enam perwakilan masyarakat dipimpin Annie, diterima pejabat BPN, diwakili Ketut bagian sengketa. Dan pihak BPN berjanji akan meninjau kembali mengenai persoalan tersebut. Dan akan berkoordinasi dengan BPN Tangerang untuk melakukan pengkajian kembali. Meski Ketut mengaku persoalan ini termasuk rumit.

“Kami minta keadilan supaya Pak Jokowi jangan hanya bagi-bagi sertifikat tanah gratis. Kami ini juga sudah punya sertifikat mestinya juga kan juga dilindungi,” ujar salah satu warga, Annie Sri Cahyadi usai diterima pihak BPN kepada wartawan.

Diungkapkannya mereka sejak 10 tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1991, sudah memiliki sertifikat hak milik tanah secara resmi.

“Ini serifikatnya. Sudah hak milik sejak tahun 1991, dan sertifikasi HGB diterbitkan tahun 2000. Ini ditumpangtindihin. Siapa nih yang bisa bikin gambar ini, siapa kalau bukan BPN,” terangnya sembari menunjukkan kopian sertifikat tanah miliknya.

Annie menegaskan bahwa sertifikat tanah miliknya resmi diterbitkan oleh BPN. Bahkan, dengan sertifikat tanah itu dirinya sempat meminjam uang di bank.

“Saya agunkan ke bank dulu. Sekarang sudah saya tebus sertifikatnya. Ada saya simpan aslinya,” tandasnya.

Annie menegaskan, jika saat audiensi ini tak menemui hasil yang berarti, maka mereka akan melakukan aksi di depan Istana Negara.

“Berharap ditemui Pak Jokowi pastinya. Saya berharap ada keadilan disini. Sudah tidak ada lagi yang mau mendengarkan, termasuk pengadilan dan semua enggak mau mendengarkan. Kami berharap Pak Jokowi lah yang mau melindungi kami,” tuturnya, seraya mengatakan terlebih permasalahan ini sudah dibawa ke ranah pidana. Namun di sana mereka pun tetap kalah.

“Sudah (dibawa ke pidana) tapi kita selalu kalah. Karena katanya kadaluarsa. Karena pihak terdakwanya itu melakukan itu tahun 2000, saya baru melaporkan tahun 2012. Orangnya masih bertugas di BPN. Begitu saktinya lah BPN itu,” bebernya.

SHM Ditindih SHGB Pengembang
Annie Sri Cahyani (ASC) adalah salah satu pemilik sebidang tanah yang dikelilingi pagar batako di kawasan Bintaro atas nama suaminya Ir. RM. Punto Wibisono, seluas 2.080 M2. Tanah tersebut sudah bersertifikat Hak Milik sejak tahun 1991. Persisnya tanah tersebut terletak di Kel.Pondok Jaya, Kec. Pondok Aren, Tangsel. dengan NOP yang diterbitkan oleh KPP Pratama Serpong pada tahun 2000 No. 36.76.070.011.009.0065 dan ASC telah melunasi kewajibannya membayar PBB hingga tahun 2017.

Annie memaparkan, membeli tanah tersebut dari Albert Tobing sesuai prosedur seharga ±2 Milyar Rupiah pada tahun 2006. Lalu pada tahun 2007 SHM tersebut dibalik nama, bahkan sejak bulan Juni 2008 BPN Kab. Tangerang menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan atas SHM tersebut, karena ASC mengagunkan SHM tersebut ke PT. Bank Panin. Tbk.

Sebulan setelah terbit Sertifikat Hak Tanggungan, yaitu pada bulan Juli 2008, tanpa warkah BPN Kab. Tangerang menerbitkan SHGB No. 124, SU No. 77/Pondok Jaya, Luas 2.413 M2 (sisa) atas nama sebuah pengembang besar, yaitu sisa pemisahan dari Sertifikat induk (SHGB) No. 124, SU No. 77/2000, luasnya 6.210 M2 atas nama salah satu pengembang besar di Tangerang Selatan

Kemudian untuk melengkapi keabsahan hak kepemilikan pengembang besar tersebut, pada tanggal 11 November 2008 Kepala Kantor Pajak Pratama Serpong menerbitkan NOP dan SPPT PBB (MUTASI) No. 36.76.070.011.009.0815.0 yang luas objek pajak nya 2.413 M2 tersebut tanpa permohonan dari pengembang besar (tanpa warkah). NOP tersebut tidak tergambar dalam peta SIG (Sistem Informasi Geographis), sekalipun demikian Pengembang dapat membayar SPPT PBB (Mutasi) atas tanah seluas 2.413 M2, periode tahun 2006 s/d 2011. Sejak tahun 2012 pengembang besar tidak bisa melunasi SPPT PBB nya karena telah dibatalkan oleh Kakanwil Pajak Prop. Banten. Hingga saat ini NOP tanpa warkah tersebut belum dibatalkan hanya berstatus MK (Menunggu Keputusan).

“Mulai dari terbitnya SHGB No. 124 SU No. 77/2000, Luas 2.413 M2 (sisa) itulah petaka ASC dimulai, karena atas dasar SHGB tersebut pengembang menggugat, termasuk AT (penjual) dan BPN Kab. Tangerang. Dalam dupliknya BPN Kab. Tangerang menyatakan bahwa “ Semua sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN Kab. Tangerang khususnya yang disebutkan dalam Surat Gugatan Penggugat adalah SAH dan Berharga, karena sudah sesuai dengan prosedur dan perundang-undangan yang berlaku”.

Dari Duplik ini sebenarnya ASC sudah melihat adanya dugaan keberpihakan BPN kepada pengembang,” terang Annie.

Singkat kata ASC mengalami kekalahan hingga tingkat PK dan saat ini tanah tersebut sudah dieksekusi, sehingga ASC kehilangan satu-satunya tanah miliknya. ASC merasa ada yang tidak beres dengan sengketa ini, oleh karenanya ASC melaporkan beberapa kejanggalan yang terjadi termasuk kesaksian palsu ke POLDA METRO JAYA yang kesemua laporannya di SP3. Tidak berhenti sampai disini, ASC tetap berjuang mencari keadilan dan kebenaran, pada Agustus 2012, ASC melaporkan dugaan pidana yang dilakukan oleh pengembang besar ke Mabes Polri.

“Kali ini ASC mendapatkan sedikit titik terang karena perkara tersebut bisa berproses hingga ke Pengadilan Pidana. Dalam hasil putusan Pidananya 998/Pid.B/2014/PN.TNG, Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan memalsu surat (dalam hal ini Surat Ukur). Terungkap pula dalam Persidangan bahwa BPN telah menjadikan salah satu Surat Ukur yang dipalsukan tersebut sebagai dasar penerbitan SHGB No. 124, SU No. 77, tanah seluas 6.210 M2 atas nama pengembang besar,” sambung Ismail, selaku kuasa hukum warga.

Namun ASC sangat sedih dan kecewa kepada Majelis Hakim PN TNG. Karena walaupun perbuatan memalsu surat yang dilakukan oleh terdakwa pada tahun 2000 tersebut terbukti, namun Majelis Hakim menyatakan Penuntutan Jaksa penuntut Umum terhadap terdakwa gugur karena daluwarsa, sehingga terdakwa dibebaskan dari jeratan pasal 263.

Atas dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan Nomer 998/Pid.B/2014/PN.TNG tersebut di atas, ASC mengirim surat kepada Menteri ATR/BPN RI , Kakanwil BPN Prop. Banten dan bahkan mendatangi Kakan BPN Tangsel memohon agar mempertimbangkan Putusan Pidana, atau melakukan gelar perkara khusus, karena menurut ASC, SHGB No. 124, SU No. 77/2000, Luas 2.413 M2 (sisa) tersebut cacat administrasi, sehingga SHGB tersebut seharusnya dibatalkan.

“Namun hingga saat ini, baik Menteri ATR/BPN RI; Kakanwil BPN Prop. Banten dan Kakan BPN Tangsel beserta jajarannya hanya berlindung di balik putusan perdata, tanpa mau mempertimbangkan putusan pidana yang ada. Padahal sangat jelas SHGB No. 124, Luas 2.413 M2 (sisa) surat ukur nya No. 77/Pondok Jaya adalah hasil pemalsuan oleh terdakwa pada perkara No. 998/Pid.B/2014 /PN.TBG. Nama penunjuk batas-batas pada Surat ukur No. 77 juga mengaku tidak pernah menjadi petunjuk batas,” beber Annie. igo

Tinggalkan Balasan