Kajari dan Ketua PN Jakarta Utara Diskriminasi ?

oleh -419 views
oleh
JAKARTA, HR – Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Utara Agung Komanindyo Dipo dan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara pertontonkan diskriminasi penegakan hukum di wilayahnya.
Hal itu terjadi pada sejumlah perkara yang ditangani Kejaksaan dan PN Jakarta Utara. Diantaranya, kasus pelanggaran Pasal 44 ayat (4) UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Dihadapan Ketua Majelis Hakim Slamet Suripto anggota majelis Imade Sukadana, Houtman L Tobing dengan JPU Melda Siagian menjatuhkan tuntutan 4 bulan pidana penjara terhadap terdakwa Tanato dan tidak melakukan penahanan.
Dihadapan Ketua Majelis Hakim Pinta Uli Beru Tarigan, JPU Toto Ardiyanto menjatuhkan tuntutan 4 bulan pidana penjara terhadap terdakwa Johannes Aritonang dan terdakwa sudah ditahan sejak dari penyidik.
Padahal, dari hasil Visum et-revertum kedua terdakwa, sama “cidera tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk dalam menjalankan pekerjaan jabatan/pencarian” sebagaimana bunyi Pasal 44 ayat (4) UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.
Dari pengamatan HR, kasus Johannes Aritonang ini cukup unik. Pasalnya, ancaman pidana hanya 4 bulan penjara, tetapi JPU dan majelis ngotot tetap menahan terdakwa dalam tahanan penjara.
Padahal, kuasa hukum terdakwa sudah mengajukan surat pengalihan penahanan baik itu dari terdakwa dan dari permohonan dari RS Cipto Mangunkusumo tempat Johannes bekerja dengan alasan “RSCM sangat membutuhkan tenaga kesehatan untuk melayani kesehatan masyarakat” tetapi itu tidak dikabulkan, bahkan sampai terdakwa divonis 4 bulan penjara, Selasa (16/08/16) terdakwa tetap ditahan.
Informasi yang dihimpun HR di lingkungan Kejaksaaan bahwa penahanan terhadap Johannes Aritonang dilakukan karena adanya intervensi dari petinggi Kejaksaan Agung berinisial JP.
Sementara tidak ditahannya terdakwa Tanato, menurut JPU Melda karena sesuai dengan pasal yang didakwakan yang berdasarkan hasil visum et-revertum terdakwa melanggar Pasal 44 ayat (4). Memang sejak Agung Dipo menjadi Kajari Jakarta Utara seringkali terjadi kasus yang aneh-aneh.
Baru saja juga terjadi disparitas tuntutan kasus 303 dan yang ini justru terbalik. JPU Arif Suryana menuntut bandar Togel atas nama Jhon Nainggolan 6 bulan penjara, tetapi JPU Yansen Dau menuntut pemain remi atas nama Elita Tanti alias Dewi 12 bulan pidana penjara.
Dalam kasus 303 ini sudah jelas ancaman pidana pasal bandar togel lebih berat/tinggi dari pada ancaman pidana pemain judi remi.
Dari kedua fakta diatas dapat dilihat bahwa seolah-olah jabatan dan kekuasaan yang diperoleh itu bukanlah untuk melayani masyarakat melainkan untuk kepentingan kelompok dan atau kepentingan pribadi orang orang tertentu.
Masih terkait diskriminasi. Seorang koruptor atasnama terdakwa Ali Pattah dilakukan pengalihan penahanan dari tahanan Rutan Cipinang menjadi tahanan kota.
Pertimbangan dan kebijakanpenyidik mengatakan karena terdakwa telah mengembalikan kerugian keuangan negara Rp 513 juta (di tangan penyidik). Dianggap merupakan kebijakan subjektif penguasa. Putusan pengadilan Tipikor menyatakan kerugian keuangan negara yang dititipkan kepada penyidik dikembalikan kepada terdakwa.
Memang baru pada kasus korupsi Ali Pattah inilah terjadi perkara korupsi yang tersangkanya tunggal. Penyidik Kejari Jakut hanya melimpahkan satu orang terdakwa. Inilah fakta Kajari Agung Dipo yang selalu mempertontonkan kekuasaannya dalam menangani kasus per kasus. thom


(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *