Oleh: Saurip Kadi
Kalah menang dalam Pemilu atau Pilkada bukanlah akhir dari segalanya seperti dalam perang. Karena, Pemilu/Pilkada tak lebih hanyalah sarana untuk menghitung jumlah pendukung atau pemilih bagi masing-masing kontestan. Seusai itu, kehidupan akan kembali seperti sebelumnya.
Saurip Kadi |
Munculnya sedikit ketegangan sosial dan bahkan kekhawatiran serta rasa was-was akan terjadi kerusuhan sosial menjelang Pilkada DKI, sama sekali bukan karena rakyat Jakarta belum siap berdemokrasi. Tapi lebih karena kepentingan kelompok tertentu yang menunggangi agenda Pilkada DKI.
Ditilik dari agenda yang mereka gulirkan dan tokoh yang terlibat dalam upaya memanaskan suhu politik Jakarta, tidak lepas dari rekayasa sosial untuk memunculkan kerusuhan sosial dengan target optimal jatuhnya pemerintahan Jokowi. Karena hanya cara itulah, mereka bisa selamat dan lepas dari pertanggungan jawab hukum atas kejahatannya dimasa lalu.
Kelompok lain yang berkepentingan adalah mereka yang hendak mengembangkan paham “kilafaf” untuk pada saatnya kelak mengganti dasar negara Pancasila. Sinergi dua kepentingan menjadi efektif, karena issue yang diekmbangkan menyangkut keyakinan agama dan sentimen etnis yang terkait dengan kesenjangan yang begitu menganga yang nyatanya dan benar adanya.
Berebut Menjadi Pelayan Rakyat
Pilkada DKI telah usai, sepatutnya kita mengucapkan selamat kepada penduduk DKI yang telah berhasil memilih pemimpin untuk 5 tahun kedepan. Kepada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI terpilih, kita ucapkan selamat bekerja, semoga saja kelak tidak ingkar terhadap kontrak sosial yang telah disampaikan dalam kampanye yang lalu.
Dalam demokrasi, para pejabat pemerintah sudah barang tentu mendapat upah dengan sebutan gaji atau upah, dan juga fasilitas seperti kendaraan, perumahanan, dan lain-lainnya. Kita juga tahu, dimanapun mereka yang menerima upah disebut pegawai, buruh, karyawan, atau panggilan lainnya yang tugasnya melayani majikan. Sebaliknya, mereka yang membayar upah, disebut majikan, juragan, dan atau boss.
Dan karena uang yang digunakan untuk membayar upah tersebut adalah dari pajak rakyat, maka di negara demokrasi rakyat diposisikan sebagaimana layaknya majikan. Mereka dihargai atau dihormati oleh para pelayannya tak peduli sebutan mereka adalah Lurah, Bupati, Gubernur, Menteri, Anggota DPR dan Presiden sekalipun.
Kesadaran bahwa dirinya tak lebih adalah pelayan rakyat bagi segenap pejabat negara, utamanya bagi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih menjadi utama, agar kedepan tidak ada lagi perlakuan kasar apalagi tidak senonoh oleh sang pelayan terhadap majikannya yaitu rakyat, siapapun ia.
Siapapun tak bisa memilih untuk terlahir dari keluarga dari etnis manapun. Pada millenium 21, rasanya naif kalau kita masih ribut soal etnis. Tapi kita tidak boleh membohongi diri, bahwa dimasyarakat luas ada masalah yang serius terkait Etnis Tionghoa. Kita harus jujur mengakui bahwa dimasa lalu ada kebijakan negara yang “keliru”, sehingga kini muncul jurang kesenjangan yang begitu menganga akibat penguasaan alat produksi dan sumber daya nasional oleh segelintir pengusaha yang kebetulan didominasi keturunan Tionghoa.
Persoalan menjadi lebih serius karena dalam prakteknya pengusaha papan atas dari etnis Tionghoa nyatanya banyak yang terlibat dalam kejahatan penjarahan kekayaan negara seperti yang terjadi dalam kasus BLBI, korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya termasuk juga soal Narkoba. Praktek Oligharki kekuasaan, Mafia dibanyak aspek kehidupan termasuk dilingkungan lembaga pengadilan, Kartel, Kriminalisasi, “Capital Violence” dan bahkan “State Terrorism” umumnya karena peran mereka. Namun kita juga harus jujur mengakui bahwa keterlibatan mereka dalam berbagai kejahatan tersebut juga karena perlindungan, persekongkolan, kolaborasi dan bahkan alat dari oknum penguasa dan juga rezim.
Kita tahu bahwa beberapa ratus pemilik tanah, tambang dan atau hutan dengan luas berpuluh ribu, beratus ribu dan bahkan ada yang berjuta hektar sebagian besar juga pengusaha keturunan Tionghoa. Dalam prakteknya mereka justru tega mengusir penduduk setempat yang telah turun termurun tinggal disitu namun terkalahkan oleh “lisensi”. Dan mustahil untuk mendapatkan “lisensi” atas lahan yang begitu luas diperoleh dengan gratisan alias cuma-cuma. Praktek titip saham atau komisi adalah hal lazim di negeri ini.
Hikmah Yang Bisa Dipetik
Kasus dugaan penodaan agama oleh Calon Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (AHOK) telah menyebabkan sejumlah penyakit jiwa bangsa kini nampak dipermukaan. Kebhinekaan kita ternyata masih sebatas pada verbal. Diantara kita masih banyak yang menempatkan agama justru sebagai sumber perpecahan dan bahkan mala petaka kemanusiaan.
Niscaya Presiden Jokowi akan segera melakukan penataan sistem politik nasional yang mewajibkan negara memperlakukan secara setara terhadap segenap warga negara, sehingga ukuran mayoritas dan minoritas menjadi tidak relevan lagi, dan kedepan issue agama tidak lagi dipakai untuk kepentingan politik.
Kesenjangan sosial yang tercipta secara struktural akibat penguasaan alat produksi dan sumber daya nasional oleh konglomerat yang kebetulan dominan dari etnis Tionghoa, juga tidak mungkin dibiarkan begitu saja tanpa upaya terukur untuk membenahinya, tanpa harus ada “perang” antara Pemerintah dengan mereka. Sebaliknya, mereka juga harus berbesar hati untuk mencari solusi bersama pemerintah, agar lahir kebersamaan segenap warga bangsa dalam bingkai NKRI.
Dengan demikian warga negara keturunan Tionghoa lainnya yang jumlahnya begitu besar dan tidak ikut berdosa, tidak kembali menjadi korban akibat amuk massa.
Begitu pula tentang kerusakan mentalitet alat negara, mustahil tiba-tiba berubah menjadi baik, hanya karena Presidennya tidak mau merangkul dan dirangkul penjahat ekonomi.
Dengan bermodal kejujuran dan kesederhanaan saja dalam separuh perjalanan pemerintahannya telah banyak membawa perubahan. Wajar saja kalau rakyat banyak menaruh harap, untuk Presiden Jokowi kedepan dengan sisa waktu 2,5 tahun bisa melakukan sejumlah retooling sebagaimana yang pernah dicanangkan oleh Bung Karno yaitu Retooling Mentalitet, Retooling Alat Negara, Retooling Alat Produksi dan juga Retooling Logistik Nasional yang kesemuanya sesungguhnya sudah menjadi bagian dari NAWACITA.
Karena hanya dengan cara itu, maka peran NKRI yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila dalam mewujudkan keamanan dan kesejahteraan segera dirasakan segenap rakyat tanpa kecuali. Sehingga konsep kenegaraan diluar Pancasila dengan bungkus agama sekalipun niscaya tidak akan laku.
(Penulis adalah Mantan Aster)
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});