PANGKALPINANG, HR – Dunia mayantara Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Pesatnya perkembangan telepon pintar membuat publik semakin mudah mengakses beragam informasi dan berita hanya dalam genggaman tangan, Namun imbasnya, informasi palsu atau hoaks ikut tersebar dengan mudah yang bagi sejumlah orang malah diyakini sebagai kebenaran.
Dengan kemudahan akses terhadap informasi, nyatanya ancaman dari hoaks atau informasi gadungan masih tidak dapat diatasi. Informasi yang seharusnya menjadi salah satu sumber untuk menambah wawasan, dan memperbarui pengetahuan, bahkan tak jarang informasi digunakan sebagai bahan dasar dalam membuat keputusan, justru (terkadang) tersebar sebagai ‘hidangan’ yang tidak sehat bagi penerima. Sampah informasi bertebaran secara masif tanpa verifikasi dan konfirmasi.
Era internet yang serba memberi kemudahan ini justru berbalik menyerang, membuka kesempatan luas bagi berita-berita bohong untuk masuk dan meresahkan publik. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) RI mengungkapkan, terdapat lebih dari 800.000 situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar informasi palsu. Sepanjang periode Agustus 2018- Desember 2023, Kemenkominfo RI mencatat adanya temuan konten hoaks sebanyak 12.547 kasus yang beredar di website dan platform digital. Kesehatan menjadi isu dengan penyumbang hoaks terbesar (2.357), disusul pemerintahan dan penipuan masing-masing 2.210 konten, politik 1.628 konten, dan lain-lain 1.030 konten.
Tanpa disadari, gangguan informasi yang didominasi menyebar melalui dunia maya diproduksi dengan beragam’karya’. UNESCO dalam publikasinya berjudul “Journalism, Fake News and Disinformation” yang dirilis tahun 2018 telah membagi hoaks alias kabar bohong ini menjadi 3 kategori, yaitu misinformasi, disinformasi dan malinformasi.
Misinformasi
Misinformasi adalah informasi salah yang disebarkan oleh orang yang mempercayainya sebagai hal yang benar. Orang yang berbagi konten keliru tersebut sebenarnya tidak memiliki tujuan jahat, dan sejatinya ingin membantu penerima informasi. Hal ini biasanya terjadi didorong oleh faktor sosiopsikologis, karena ingin terhubung dengan orang yang memiliki identitas yang sama dengan mereka, misalnya memiliki suku yang sama atau minat yang sama. Akan tetapi hal tersebut dilakukan tanpa terlebih dahulu melakukan verifikasi atas kebenaran konten.
Disinformasi
Disinformasi adalah kebohongan yang disengaja dan berkenaan dengan orang-orang yang disesatkan secara aktif oleh aktor jahat. Pembuat atau penyebar konten mengetahui bahwa informasi tersebut palsu (fabricated), tetapi tetap menyebarkannya karena ingin mempengaruhi opini publik, dan mendapatkan keuntungan tertentu atas tersebarnya informasi palsu.
Malinformasi
Malinformasi adalah iInformasi yang benar berdasarkan realitas, atau berdasarkan penggalan, atau keseluruhan fakta obyektif. Tetapi, informasi tersebut dalam penyajiannya dikemas sedemikian rupa agar merugikan pihak lain, baik perseorangan, organisasi, atau negara lain. Beberapa bentuk pelecehan (verbal), ujaran kebencian, dan diskriminasi, serta penyebaran informasi hasil pelanggaran privasi, dan data pribadi adalah ragam bentuk malinformasi.
Dengan memahami konsep kategorisasi yang ditawarkan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO di atas, kita bisa memahami bahwa isu hoaks tak bisa dipandang sebagai suatu yang sederhana. Media sosial masih lah menjadi sumber penyebaran paling berpengaruh terhadap persebaran hoaks. “Kita tidak bisa mengelak. Dunia maya tidak bisa kita raba, namun menimbulkan efek nyata,” ujar Kepala Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) , Sri Sunarti pada “Seminar Nasional Media Sosial dan Tantangan Indonesia di Masa Depan,” Selasa (17/12) di Jakarta.
Media sosial memainkan peran lebih besar selain sebagai sumber informasi, yakni sebagai ruang berkomunikasi dengan lingkaran internal yang sifatnya intim, sekaligus sebagai ruang diskusi yang sifatnya publik. Sayangnya, media sosial masih menjadi sumber informasi yang dianggap menjadi ladang penyebaran hoaks dengan berbagai jenisnya itu (misinformasi, disinformasi, malinformasi).
Bahkan, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi persoalan tersebut berdasarkan survei Ipsos dan UNESCO juga ditemukan di 16 negara. Mayoritas atau 68% responden menilai hoaks paling banyak menyebar di media sosial seperti Facebook, YouTube, X/Twitter, Instagram, TikTok, dan lainnya.
Grup aplikasi pesan online seperti WhatsApp, Telegram, dan sebagainya juga dianggap banyak menjadi sarana penyebaran hoaks. Hal ini dinyatakan oleh 38% responden. Kemudian, 20% responden menganggap berita bohong banyak tersebar di situs/aplikasi media massa, 19% di televisi, dan 11% responden menilai hoaks banyak menyebar dari diskusi dengan teman, keluarga, atau kolega. Sementara, responden yang menganggap hoaks banyak tersebar di koran/majalah ada 10%, dan di radio proporsinya paling kecil yakni 4%.
Mengerucut ke Indonesia, Facebook masih menjadi media sosial yang paling sering ditemukan konten hoaks oleh masyarakat menurut laporan Kemenkominfo RI bersama Katadata Insight Center (KIC), dengan persentase mencapai 55,9% pada 2022. Selain Facebook, ada pula warga yang sering menemukan hoaks di berita online dengan persentase sebesar 16%. WhatsApp juga merupakan sarang hoaks yang kerap ditemukan warga RI yakni sebanyak 13,9%. Kemudian, responden juga menemukan hoaks di Instagram 7,4%, diikuti Twitter 2%, koran/majalah 1,4%, Line 0,5%, dan radio 0,3%. Sisanya, 10,9% responden mengaku tidak menemukan hoaks sama sekali.
Penyebaran hoaks di media sosial menjadi kasus yang serius di Indonesia. Pada era serba internet, masyarakat Indonesia harus memahami pentingnya literasi media agar tidak termakan kabar hoaks. Data-data yang terangkum di atas menunjukkan banyak masyarakat Indonesia yang masih kesulitan membedakan informasi yang benar atau salah.
Dampak hoaks bisa sangat serius dan sangat luas, bahkan sampai mengganggu hubungan sosial, menyasar emosi masyarakat, dan menimbulkan opini negatif sehingga terjadi disintergratif bangsa. Hoaks memberikan provokasi, yaitu menyulut kebencian, kemarahan, hasutan kepada orang banyak, bahkan dapat menimbulkan skizofrenia, atau gangguan mental berat yang dapat mempengaruhi tingkah laku, emosi, dan komunikasi seseorang. Hoaks juga akan berpengaruh terhadap kestabilan politik dan keamanan.agus priadi