SINTANG, HR – Warga 29 Desa perbatasan Kecamatan Ketungau Hulu, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, nyaris kelaparan lantaran tidak ada ketersediaan sembako, gas dan BBM.
Kalaupun ada pedagang yang nyetok kebutuhan tersebut, harganya melambung tinggi, sehingga warga tidak mampu beli.
Misalnya, beras ukuran 10 kg, harganya 200.000 ribu/kg, elpiji 3 kg 80.000 ribu/tabung, BBM 15.000 ribu/liter.
Peristiwa nyaris kelaparan warga disana, dimulai dari tanggal 10 hingga 20 Januari 2021.
Barulah pada tanggal 21 Januari 2021, pukul 4.30 subuh, suplay sembako, gas dan BBM tiba dipusat kecamatan, sejak dikirim dari ibu kotanya Sintang 18 Januari 2021.
Sembako yang dikirim diantaranya beras 6 ton, gas elpiji 3 kg, 2.240 tabung, Solar 8.000 liter dan bensin 8.000 liter, hingga berita ini turun (21/1) masih di pusat kecamatan Ketungau Hulu, seperti apa mekanisme penyalurannya ke 29 desanya, belum diketahui.
Saat pemberangkatan kebutuhan pokok warga perbatasan itu, hadir, Dandim 1205 Sintang, Letko Inf Eko Bintara Sektiawan, Kadis Perindagkop, H.Sudirman, Sekretaris Disperindagkop, Ernawati, Kepala Pertamina Sintang, Kabulog Sub Drive Sintang, Fendi Kurniawan.
Kadisperindagkop H. Sudirman, dalam sambutannya menyebut, suplay sembako, gas dan BBM untuk kecamatan perbatasan yang mengalami kelangkaan sesuai permintaan, dan kelangkaan tersebut terjadi akibat rusaknya infrastruktur jalan darat oleh curah hujan periode Desember – Januari 2021.
Lain dengan tokoh masyarakat perbatasan, Andreas (44), yang dihubungi HR pasca pengiriman sembako, gas dan BBM kesana, soal hari ini terjadi kelangkaan kebutuhan pokok akibat jalan rusak ke perbatasan Ia benarkan, namun demikian Ia tetap tegas salahkan pemkab Sintang.
Alasan menyalahkan pemkab Sintang lanjut Dia, karena warga terlebih dahulu menjerit baru di dengar dan dikirimi apa yang dibutuhkan.
“ini sesuatu yang layak dipertanyakan kenapa demikian sikap pemerintah Sintang hari ini untuk warga perbatasan” kuhususnya kecamatan batas Malaysia itu, tanyanya.
Ia kemudian sebut, hal nyaris kelaparan warga perbatasan Ketungau Hulu Sintang, memang bukan karena bencana, tapi jangan lupa, kini warga perbatasan memang fakta miskin, selain akibat jalan hancur lebur, juga akibat regulasi pemkab Sintang yang tidak boleh bakar ladang.
Akibat regulasi itu, warga kesulitan perluas lahan pertanian dan praktis hasil ladang berkurang, semua berkurang, sementara pemasukan/ekonomi warga tidak ada.
Soal ini sudah saya surati presiden Jokowi, mudah-mudahan dibaca seruan kami warga perbatasan, sambung Panglima asap itu.
Bahkan Ia berstatemen, pesta demokrasi apa saja di Indonesia tidak di ikuti warga perbatasan lagi, jika regulasi merugikan peladang dan akses jalan darat tidak ada perubahan tahun 2021 ini.
Kembali ke masalah sembako, gas dan BBM yang di suplay pemkab Sintang ke warga perbatasan pun menurut Andreas masih dipertanyakannya apakah dijual kemasyarakat atau bantuan atau apa namanya.
Maksud Andreas, 29 desa itu ada yang ratusan KM ke pusat kota kecamatan Ketungau Hulu, pertanyaannya apakah mereka ambil ke pusat kota atau dikirim ke desa atau seperti apa, sebab semua mekanisme itu memerlukan biaya untuk mereka dapat.
Sebab kata dia, “saat pengiriman sembako gas dan BBM tersebut acaranya wah…tetapi total kebutuhan 29 desa perbatasan itu mencukupi apa tidak, kan masalah lagi,” kiranya.
Jangan kemudian datang ke pusat kecamatan tetapi kebutuhan itu tidak ada/cukup, kan menyakiti warga lagi, sambungnya.
Andreas selanjutnya ungkap, faktor kelangkaan dan tingginya harga kebutuhan di perbatasan, adalah puncak dari kesalahan pemkab Sintang selama 5 tahun lalu, terutama terkait jalan darat ke Ketungau Hulu kurang lebih 160 KM.
Ia menyebut, Pemkab Sintang tidak terlihat ada upaya pemberdayaan 12 investor yang menggunakan jalur itu dengan mobil kapasitas 8 – 12 ton tandan sawit setiap hari.
Padahal kata Dia, sebagai bupati punya kapasitas tegor investor agar turut andil rawat jalan tersebut.
Maka sekalian usul Andreas kepada 12 investor (Perkebunan sawit) di sana, tahun 2021 ini dana CSRnya sebaiknya langsung kepada masyarakat jangan melalui pemerintah.
“Dimana selama 5 tahun kami ketahui CSR 12 perusahaan itu masuk dulu ke kas daerah, tapi faktanya, jalan 160 KM yang dilalui mobil sawit 12 perusahaan itu tetap saja hancur lebur,” ungkap Andreas.
Jadi kalau pemerintah klaim kelangkaan kebutuhan pokok ke daerah perbatasan karena jalan rusak, pertanyaannya siapa yang disalahkan, investor sudah berikan dana CSR ke pemerintah, maka kami mohon pemkab Sintang bangunlah Sintang tanpa mencari-cari alasan, serunya. mr/js