JAKARTA, HR – Kabupaten Pacitan termasuk satu dari sekian daerah minus di Jaw Timur. Sejak pasangan Indartato – Yudi Sumbogo berkuasa, praktis tidak banyak perubahan pembangunan disana.
Sri Retno
Dhewanti |
Tidak terciptanya lapangan pekerjaan dengan baik, saat ini hampir dirasakan oleh sebagian lapisan masyarakat, terutama kalangan petani, nelayan dan pedagang pasar.
Buruknya tata kelola daerah Pacitan itu tentu saja menyebabkan tingginya tingkat angka pengangguran yang disebabkan sumber daya manusia dan alam yang tergarap secara maksimal oleh pemerintah daerah.
Di tengah keinginan yang besar terhadap perubahan itu, Komisioner KPU Pusat, Hadar Nafis Gumay, memastikan Kabupaten Pacitan ikut Pilkada serentak pada 9 Desember 2015 mendatang.
Gumay menyatakan, bakal pasangan calon yang telah mendaftar di Kabupaten Pacitan telah diterima KPU Kabupaten Pacitan. Yakni, pasangan incumbent Indartato – Yudi Sumbogo yang diusung PKS, Partai Demokrat, NasDem dan PPP. Adapun rivalnya adalah Bambang Susanto – Sri Retno Dhewanti yang diusung PDI Perjuangan dan Hanura.
Kedua pasang kontestan yang akan bertarung pada 9 Desember 2015 mendatang itu, kata Hadar Nafis Gumay, sudah melengkapi seluruh proses kelengkapan administrasinya dan sudah dilakukan verifikasi.
Begitu ketatnya persaingan dan rivalitas diantara pasangan, menariknya terselip seorang wanita dengan prinsip kuat memperjuangkan aspirasi rakyat. Dialah Sri Retno Dhewanti, seorang aspirator dan tokoh perubahan, asal Pacitan yang kini menggeluti bisnis property di Jogyakarta dan sekitarnya.
Sri Retno Dhewanti, Srikandi asli kelahiran Kabupaten Pacitan ini dikenal punya visi kerakyatan yang kuat membawa perubahan bagi rakyat Kabupaten Pacitan. Ia punya komitmen yang kuat dengan motto, “Bekerja Ikhlas Untuk Rakyat”.
Ditemui Harapan Rakyat dan www.harapanrakyatonline.com di Jakarta, pekan silam, wanita ramah ini mengaku terpanggil tampil dalam bursa Pilkada Kabupaten Pacitan karena adanya “pinangan” dari masyarakat Pacitan untuk maju sebagai Cawabup. “Saya terpanggil karena masyarakat menginginkan adanya perubahan. Makanya, walaupun saya stay (tinggal) di Jogya, tetapi karena saya asli dari Pacitan, saya terpanggil mewujudlan Pacitan yang lebih baik,” ujarnya.
Sri Retno yang mengenyam pendidikan padajurusan Keuangan dan Perbankan di salah satu sekolah akademi di Surakarta, ini mengingatkan, bahwa perubahan hanya bisa dilakukan secara bersama-sama, gotong-royong.
Ia mengakui jika Pacitan saat ini belum terkelola secara baik dan maksimal sehingga pembangunan yang ada belum bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.
Karenanya, perlu adanya perubahan yang mendasar. “Menurut saya perubahan yang mendasar adalah tentang perekonomian. Sumber daya manusia Pacitan itu saat ini belum dikelola secara maksimal, karena disana tidak tercipta lapangan pekerjaan dengan baik sehingga penghasilan terbesar itu dari pegawai negeri dan pertanian yang tidak maksimal serta nelayan yang terbelit rentenir. Ini harus dibenahi. Itulah perubahan mendasar,” tegasnya.
Sri Retno memaparkan, jauh sebelum dirinya “dipinang” rakyat untuk tampil dalam Pilkada, sejumlah terobosan dan program terkait dengan pemberdayaan rakyat sudah jauh lebih dulu dilakukannya.
Karena kepeduliannya itu pula, Sri dijuluki “Wanita Besi” dari Pacitan. Julukan itu tidak berlebihan, jika dilihat dari aksi nyata yang dilakukan selama masa kampanye yang dituangkan dalam 11 program kerjanya, meski waktu yang tersisa cukup pendek.
“Walaupun masih tersisa waktu 3 bulan, setidaknya saya sudah action untuk rakyat. Setidaknya ada 11 poin atau program unggulan yang akan saya kerjakan di Pacitan,” tandasnya dan ia yakin ke 11 program itu step by step bisa rampung semuanya.
Dari 11 point program unggulan tersebut, salah satu yang sudah dilakukan dan betul-betul bisa dinimati hasil oleh warga adalah mesin penjernih air.
Mesin penjernih air kreasinya Sri Retno ini sukses mengubah air laut menjadi air tawar yang layak pakai, limbahnya pun dapat menghasilkan garam yang kadarnya cukup baik untuk dikonsumsi ibu rumah tangga di dapur.
Teknologi mesin penjernih air hasil kreasinya, disebutkan Sri Retno berkat adanya dukungan dari Universitas Gajah Mada (UGM). “Alat tersebut sudah ada, tinggal dilakukan pemetaan wilayah mana saja yang diperlukan. Alat ini nantinya bisa menambah penghasil warga,” ucapnya.
Menjawab pertanyaan soal Pacitan termasuk daerah minus di Jawa Timur, dan bagaimana caranya dia bisa membangun cara berpikir masyarakat agar Pacitan bisa lebih maju dalam jangka pendek saat dia terpilih, dengan lugas wanita bergelar hajjah ini mengatakan, tidak salah jika dikatakan bahwa Pacitan itu daerah yang minus.
Mengapa menjadi minus, Seri Retno balik bertanya. Hal itu, paparnya, semata-mata terjadi karena pengelolaannya selama ini tidak dilakukan secara maksimal dan tepat guna, baik itu soal sumber daya alamnya maupun sumber daya manusian.
“Selama ini tidak digali secara maksimal. Sekarang ini orang hanya wait and see. Artinya disini butuh keberanian seorang pemimpin,” tegasnya.
Kendati demikian, dengan santun Dhewanti mengatakan bukan berarti ada penjabaran yang salah oleh pemimpin sekarang dalam membangun Pacitan. “Bukan salah, mungkin kurang tepat dan tidak maksimal,” kilah Dhewanti.
Untuk mewujudkan harapannya, wanita kelahiran 30 April 1973 ini menyusun 11 program berlabel “Amanah untuk Melayani Rakyat Menuju Perubahan Pacitan Lebih Baik”, yakni 1). Pengentasan nelayan dari rentenir solusi pengadaan kampung nelayan, 2). Penawaran air laut menjadi air tawar, 3). Koperasi/lembaga pembiayaan masyarakat bunga lunak, 4). Pemanfaatan daun nilam, 5). Budidaya pertanian dan peternakan, 6). Peningkatan transfortasi, 7). Kegiatan anak muda karang taruna, 8). Penyertaan gender yang berperan pada ibu-ibu, 9). Makan siang gratis, 10). Asuransi kesehatan, 11). Potensi wisata di Pacitan
Menurut Sri Retno Dhewanti yang mempunyai moto hidup “Dengan Iklas Segalanya Akan Dimudahkan”, ia yakin ke 11 program andalannya itu merupakan program kerja selama kampanye yang sifatnya sosial dari TIM Basudhewa. ferry