JAKARTA, HR – Perdebatan soal masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi seumur hidup dan sampai masa pensiun tengah mengemuka diruang publik. Perdebatan ini mengemuka seiring dengan upaya Judicial Review (JR) yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara 53/PUU-XIV/2016 dan Perkara nomor 73/PUU-XIV/2016. Permohonan ini adalah terkait dengan pengujian konstitusionalitas ketentuan Pasal 22 UU MK nomor 24/2003 jo UU No 8 Tahun 2011 tentang terkait “masa jabatan hakim konstitusi selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 kali masa jabatan berikutnya dan ketentuan Pasal 3 ayat (4) berbunyi “ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota hakim Konstitusi untuk masa jabatan selama 2 tahun 6 bulan terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.
Terkait hal ini, diskusi berkembang di Kedai Kopi Deli, yang dihadiri Refli Harun (pakar HTN), Veri Junaidi (Ketua Kode Inisiatif), Feri Amsari (pengajar HTN FH Univ Andalas), Maruarar Siahaan (Ketua MK Periode I), Fadli Ramadhanil (peneliti Perludem), dan Aradila Caesar (peneliti ICW).
Dalam diskusi yang diselenggarakan KoDe Inisiatif bertajuk “Menyoal Masa Jabatan Hakim Konstitusi” Terkait hal itu, Aradila Caesar (ICW) mengupdate informasi berkenaan pertemuan perwakilan dari Koalisi Masyarakat Selamatkan MK, bahwa pasca pertemuan dengan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi pada paginya, Koalisi mengingatkan agar Hakim MK tidak offside dalam putusannya dan meminta Dewan Etik Mahkamah Konstitusi ikut memantau terkait dengan isu yang berkembang. Dan permohonan JR ini prosesnya sangat cepat berlangsung sidangnya di MK, dan rentan dengan konflik kepentingan jika MK melanjutkan permohonan ini.
“Berdasarkan kajian KoDe Inisiatif dengan tajuk “13 Tahun MK memutus konstitusionalitas pengujian UU” pun, telah menunjukkan bahwa ternyata pengujian UU MK menempati urutan ke-5 terbanyak dari pengujian seluruh UU, dengan jumlah 33 kali pengujian. Jika permohonan ini sampai dikabulkan oleh MK, maka ini akan jadi preseden buruk kedepannya,”ungkapnya dalam diskusi di Kedai Kopi Deli, Sarinah, Kamis siang (8/12/2016).
Kemudian Fadli Ramadhanil (Perludem), mengemukakan terkait dengan perkembangan JR di MK bahwa permohonan yang diajukan CSS-UI. Menurut Fadli, jika dilihat dari permohonannya dapat dilihat dibagian petitum bahwa sama sekali didalam petitum pemohon tidak terlihat bahwa pemohon meminta masa jabatan hakim seumur hidup seperti apa yang diklarifikasikan pemohon. Sehingga ada kesimpang siuran dalam klarifikasi dengan apa yang dimohonkan pemohon tersebut.
“Nah, kekhawatiran kami adalah jika MK kemudian mengabulkan permohonan ini, maka akan berdampak pada masa jabatan hakim MK yang tidak ada pengaturannya lagi. Kemudian, soal pengujian norma terkait masa jabatan hakim MK, ini bukanlah soal konstitusionalitas norma. Mestinya tidak jadi kewenangan MK, namun ranahnya pembentuk UU. Sehingga ini akan dekat dengan konflik kepentingan jika MK tetap melanjutkan permohonannya. Idelanya adalah MK tidak menerima putusan ini,” terangnya.
Selanjutnya Feri Amsari menyampaikan, bahwa dalam perkembangan RUU masa jabatan hakim MK, diusulkan MK kepada kemenkumham terkait dengan model masa jabatan hakim. Pilihan model tersebut terdiri dari, yaitu masa jabatan 1 x 5 tahun dapat dipilih 2 periode, jabatan 8 tahun hanya 1 kali periode, jabatan 9 tahun hanya satu kali periode, jabatan sampai usia 70 tahun seperti Hakim Mahkamah Agung dan jabatan seumur hidup. Ini 5 model masa jabatan yang diusulkan. Dan uniknya, menurut Feri, ini sangat mirip dengan permohonan yang diajukan ada kemiripan, dengan pengujian tersebut.
“Sehingga kami melihat ada keinginan MK, dan ada kepentingan yang sama antara MK dan pemohon. Padahal semestinya MK harus lepas dari konfilk kepentingan diri sendiri, seperti asas nemo judex in causa sua,” sebutnya.
“Jika kita flashback kebelakang, dari perkara- perkara sebelumnya. MK tidak pernah terlibat dalam pengujian UU yang terlibat jauh dalam personal sendiri, seperti permohonan perkara hari ini. Sebelumnya adalah permohonan terkait dengan kewenangannya, seperti kewenangan terkait pengujian UU (pasal 50 A UU MK) , atau kewenangan KY dalam mengawasi hakim MK. Semuanya itu adalah terkait dengan kewenangan MK. Namun dalam perkara hari ini, permohonan pemohon adalah terkait dengan personal hakim MK. Sangat personal sekali,” pungkas Feri.
Maka hal ini menurutnya akan sangat aneh jadinya, jika ruang pengaturan dalam UU yang semestinya dilakukan oleh para pembentuk UU ini, kemudian dipotong MK melalui putusannya yang bersifat final dan binding, serta bersifat erga omnes (mengikat semua pihak).
“Ini menjadi kecurigaan kita, bahwa MK sedang menggiring pembentuk UU menuju kesana. Dan di MK dunia pun, tidak ada masa jabatan hakimnya seumur hidup. Maka untuk menjaga marwah MK, mestinya MK mendorong untuk para pemohon mencabut permohonanya atau tidak menerima dalam putusannya,” kata Feri mengingatkan.
Sedangkan Veri Junaidi mengatakan, bahwa komparasi antara masa jabatan hakim MK dan masa jabatan hakim MA di Indonesia tidak bisa disamakan, karena MA sifatnya adalah judex juris, hanya terkait dengan penerapan hukum dari peradilan sebelumnya. Sementara MK bisa melihat dari segi penerapan hukumnya, dan bisa melihat dari segi regulasinya. Sehingga tidak kompatibel untuk membandingkan keduanya.
Refli Harun menyoal, bahwa peran MK hari ini sebagai champion dari reformasi tidak lagi dirasakan, karena banyak masyarakat hari ini yang pesimistis terhadap MK, banyak permohonan yang masuk ke MK justru diputus pada saat gonjang ganjing isu telah selesai. Sehingga harapan kepada MK bisa memberikan kepastian hukum justru terpinggirkan akibat tidak tanggapnya MK dalam perkembangan isu sosial-politik yang berkembang.
“Mestinya kan MK hadir sebagai lembaga yang bisa menunjukkan kenegarawanannya yang barangkali tidak terselesaikan oleh lembaga lain. Terkait isu masa jabatan ini pun, tidak ada isu konstitusionalitasnya. Tidak ada constitutional important-nya, pun jika memang MK akan mengabulkan dan menganggap isu masa jabatan hakim ini penting, maka tidak bisa diberlakukan untuk hakim yang menjabat pada masa sekarang,” paparnya.
Sementara itu Maruarar Siahaan mengutarakan, MK sebagai pengawal ideologi negara, mestinya tampil memecah masalah bukan justru menjadi masalah. MK harus tampil sebagai penegak utama konstitusionalisme. Terkait masa jabatan ini sangat rentan jika diputus, sangat tidak layak MK memutus dari sisi manapun, karena berkaitan dengan pribadi.
“Saya kira lebih elok jika dikembalikan saja kepada pembentuk UU (open legal policy), karena ini tidak terkait dengan konstitusionalisme norma,” ujarnya.
Maruarar menegaskan, koalisi selamatkan MK mendorong agar menghindari conflict of interest (konflik kepentingan) yang sangat potensial, mestinya MK memutus tidak dapat menerima permohonan tersebut demi terselamatkannya MK sebagai The guardian of Constitution. amigo/nel
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});