JAKARTA, HR – Tindak lanjut pemberitaan Surat Kabar Harapan Rakyat dan www.harapanrakyatonline.com sebelumnya, bahwa proyek paket Pembangunan Rumah Susun 1 (RSN.10) yang bersumber APBN 2017 dilingkungan Satuan Kerja Penyediaan Perumahan Provinsi Lampung, Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan, Kementerian PUPR RI, diduga diarahkan kepada perusahaan yang diusung rekanan binaan yang bekerjasama dengan oknum, padahal perusahaan sebelumnya selalu bermasalah bahkan terancam blacklist.
Sesuai detail aplikasi pengadaan Kementerian PUPR, paket Pembangunan Rumah Susun 1 (RSN.10) dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) senilai Rp 22.195.619.000, dimenangkan oleh PT Karuniaguna Intisemesta dengan penawaran Rp 20.927.760.000 atau 94,28 persen.
Dari 44 peserta yang mendaftar, dimana ada empat peserta yang memasukkan penawaran harga. Salah satu peserta yang menawar terendah senilai Rp 15.000.000.000 digugurkan dengan alasan, “Tidak menyerahkan Jaminan Penawaran Asli”. Peserta yang digugurkan tersebut memiliki selisih sangat jauh dari pemenang, yakni sekitar Rp 5,9 miliar.
PT Karuniaguna Intisemesta (PT KI) selaku perusahaan pemenang tender diduga kuat adalah “perusahan rental” atau “pinjaman”, yang diusung oleh rekanan binaan dilingkungan Ditjen Penyediaan Perumahan.
Perusahaan PT KI, selama ini ketika mengerjakan proyek dilingkungan Kementerian PUPR tidak profesional dan selalu bermasalah. Bahkan, bukan hanya dilingkungan Kementerian PUPR, di instansi lainnya pun seperti pemerintah daerah juga perusahaan ini tidak cakap mengerjakan proyek.
Sebagai catatan Harapan Rakyat (HR), PT Karuniaguna Intisemesta pernah masuk daftar hitam di LKPP atau diblacklist sejak 24 Des 2013 – 24 Des 2015 dengan sebagai Direktur: Rini Yulianthie Fatmah, dengan Alasan Terdaftar: Pasal 3 Ayat 2: Lalai/Cidera Janji berdasarkan SK: KPA SNVT Pengembangan PLP Sulawesi Tengah No.: HK0203/C1-PLP Sulteng/165.
Bahkan Direktur PT KI berinisial R pernah sebagai tersangka di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta terkait kasus dugaan korupsi di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, terkait proyek pengadaan lift tahun anggaran 2012 senilai Rp 23,2 miliar, dengan perkiraan kerugian negara sekitar Rp 16 miliar.
Karena raport merah track record PT KI, maka sangat diragukan kualitas pekerjaan pada paket Pembangunan Rumah Susun 1 (RSN.10).
Selain itu, juga menjadi pertanyaan, yakni syarat lelang yang diminta oleh Pokja Ditjen Penyediaan Perumahan yakni “telah melunasi kewajiban pajak tahun terakhir”. Pajak tahun terakhir yang diminta yakni salah satunya tahun 2015. Padahal, di tahun 2015 status PT KI masih blacklist, dan layak dipertanyakan dokumen yang dipersyaratkan tersebut.
Bahkan diduga dengan adanya perubahan akta pendirian PT KI karena direkturnya bermasalah, namun ada dokumen pengadaan yang sengaja dilanggar dengan menetapkan pemenang PT KI, dan juga tidak mengedepankan prinsip dan kaidah bisnis yang baik, karena perusahaan pemenang meng-upload dukungan dokumen atas nama PT BA dan PT AMR, yang diketahui bahwa kedua perusahaan itu merupakan “satu atap” yang dikendalikan oleh Pak Y.
Hal lainnya, seperti Pokja Satker Penyediaan Perumahan Provinsi Lampung, Ditjen Penyediaan Perumahan diduga menggolkan perusahaan PT KI yang tidak porsinya mengerjakan paket dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) senilai Rp22.195.619.000.
Pasalnya, PT KI tergolong perusahaan berkualifikasi Usaha Besar (B1)-sesuai data yang tertayang di Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK NET). Pada paket tersebut, Pokja/PPK meminta syarat utama perusahaan peserta lelang adalah memiliki Subbidang/Klasifikasi kode: BG002 – Jasa Pelaksana Konstruksi Bangunan Multi atau Banyak Hunian, berkualifikasi usaha menengah (M).
PT KI seharusnya gugur, karena paket itu bukan lingkup kerjanya, sebab yang dibutuhkan Pokja/PPK adalah perusahaan yang mengantongi SBU berkualifikasi M, bukan B. Karena hal ini telah terjadi, maka Pokja/PPK telah melanggar Peraturan Menteri PUPR No. 31/PRT/M/2015 pasal 6c point 5 (5), bahwa paket pekerjaan konstruksi dengan nilai diatas Rp 2,5 miliar sampai Rp 50 miliar untuk badan usaha Menengah yang memenuhi kemampuan dasar, dan Perpres No 54/2010 dan serta perubahannya Perpres No 70/2012 dan Perpres 4/2015.
Surat Kabar Harapan Rakyat telah mengajukan surat klarifikasi dan konfirmasi yang disampaikan kepada Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan, dengan nomor surat: 40/HR/VI/2017, tanggal 05 Juni 2017, namun sampai saat ini belum ada tanggapan dari Dirjen maupun yang mewakilinya, Pokja atau Satker, dan PPKnya.
Menanggapi itu, Ketua Umum Lembaga Pemantau Aparatur Negara (LAPAN), Gintar Hasugian menilai, paket yang dilelang dilingkungan Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan dari tahun ke tahun sudah menjadi kebiasaan tidak mengedepankan prosedur, dan terkesan sebagai lelang “arisan”, dan walaupun perusahaan pemenangnya berganti, namun yang pemenang adalah orang tertentu yang telah menjadi pemain lama di lingkungan Ditjen Penyediaan Perumahaan Kemen PUPR.
“Yang namanya proses lelang, harus memenuhi prosedur. Ini adalah salah satu kelemahan proses lelang melalui online. KKN juga masih sangat kental,” ujarnya, sembari menambahkan bahwa publikasi pemenang lelang melalui website tidak menjamin tender itu fair.
Oleh karena itu, bila paket Pembangunan Rumah Susun 1 (RSN.10) yang dimenangkan oleh perusahaan yang bermasalah, hal itu harus diusut tuntas.
“Periksa yang terkait dalam mendapatkan paket yang satu ini, tidak hanya pokja atau satker, termasuk perusahaan pemenang dan dari situ nantinya ketahuan siapa yang mengusung perusahaan,” ujarnya kepada HR. tim
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});