Tangisan Jasmin Menanti Sang Ayah Hadir Dipersidangan

oleh -430 views
oleh
JAKARTA, HR – Jasmin seorang anak perempuan berusia 6 tahun menangis bergulingan dilantai karena setelah mengetahu ayahnya tidak dibawa pengawal tahanan kepersidangan. Padahal hari itu dia sudah membawa 5 irisan roti bolu dari rumah berharap dapat diberikan kepada ayahtirinya dan dapat melampiaskan kerinduannya, di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rabu (12/10/16).
“ayah….Aaahh, aayah, ayah….!” itu saja tangisan yang keluar dari mulut Jasmin Ramadhani, sembari mengusap airmatanya yang membuat pengunjung sidang terharu.
Jasmin diketahui sangat dekat dengan ayah tirinya Poltje yang didakwa melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap Pandhu Hans Pranata (anak tiri Poltje) yang merupakan kakak kandung Jasmin. Sementara Ibu kandungnya (Rosita Burhan) sedang bekerja sebagai TKI di Taiwan. Saat ini Jasmin diasuh oleh Bibinya (Vonny) yang merupakan adek kandung terdakwa Poltje.
Menurut Vonny bahwa tuduhan kekerasan dalam rumahtangga yang didakwakan kepada terdakwa Poltje terlalu berlebihan. Bahkan dia menuduh bahwa yang melakukan pelaporan telah melakukan penculikan terhadap Pandhu sehingga Pandhu saat ini tidak dapat bersekolah. “Sampai saat ini saya masih bingung dan bertanya, apa sebenarnya motivasi pelapor? Jika seorang orang tua marah dan melakukan seperti mencubit adalah hal yang wajar jika anak itu nakal. Hal itu adalah upaya orang tua memberikan peringatan dan tanda keperdulian agar tidak mengulagi perbuatan nakalnya. Tetapi hal ini menjadi masalah dan didramatisir oleh gurunya. Padahal hasil visum juga tidak jelas, karena luka bekas jatuh karena bermain juga dibuat jaksa menjadi hal yang memberatkat,” katanya.
Agenda persidangan pada hari itu adalah agenda pembacaan surat pembelaan (Pledoi) dari Penasehat Hukum terdakwa Dominggus, SH. Tetapi karena terdakwa tidak dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Theodora Marpaung, SH, akhirnya Ketua Majelis Hakim IBN Oka Diputra, SH mengundur persidangan dan sidang dilajut pada hari Kamis (13/10/16).
Penasehat Hukum terdakwa Dominggus, SH dalam surat Pledoi yang dibacakan pada persidangan Kamis (13/10/16), pada intinya memohon kepada majelis hakim agar membebaskan kliennya dari segala tututan hukum, sebagaimana dalam dakwaan dan tuntutan JPU Pasal 44 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDR), “Setiap orang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun”.
Karena sesuai dengan hasil yang terungkap dipersidangan dari keterangan saksi korban dan terdakwa dipersidangan bahwa terdakwa hanya melakukan cubitan dipaha kanan sekali dan menampar pipi sekali yang tidak mengakibatkan terhalangnya korban dalam melakukan aktifitasnya. Sehingga kesaksian tersebut telah mematahkan dakwaan JPU dalam tuntutan Pasal 44 ayat (1).
“Jikapun hakim menilai bahwa cubitan dan tamparan yang dilakukan terdakwa terhadap anaknya Pandhu maka kami selaku kuasa hukum terdakwa setuju jika terdakwa dijatuhi hukuman sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 44 ayat (4) UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT,” ungkap Dominggus.
Sesuai dengan hasil yang terungakap dipersidangan dari keterangan saksi saksi yang dihadirklan JPU dipersidangan tidaklah bersesuaian. Dimana saksi yang memberikan keterangan dipersidangan tidak melihat dan tidak mengalami sendiri peristiwa perbuatan terdakwa dan kesaksian tersebut sangat bertolak belakang dan tidak ada persesuaian keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain, sehingga tidak dapat di jadikan dasar untuk menghukum terdakwa, ujarnya.
Selain itu kata Dominggus, Terdakwa mengakui terus terang bahwa terdakwa melakukan pencubitan dipaha dan menampar di pipi, namun cubitan itu bukanlah beniat untuk menganiaya atau menyakiti tetapi hanya sebagai teguran dan memberikan peringatan agar korban Pandhu sebagai anak agar tidak mengulangi lagi telat pulang sekolah.
Sedangkan luka dibibir menurut keterangan korban dan terdakwa adalah sakit sariawan mulut, oleh karena itu keterangan saksi tidaklah menjadi bukti yang sah, tambah Dominmggus.
“JPU telah menciptakan suasana yang mencekam dan membuat seolah-olah terdakwa telah melakukan penganiayaan berat yang mengakibatkan anak Pandhu Hans Pranata mengalami siksaan berat yang mengakibatkan ketakutan dan trauma terhadap bapaknya sendiri. Padahal kenyataannya Pandhu sangat merindukan ayahtirinya. Tetapi JPU sengaja menjauhkan Pandhu dari keluarganya dengan melakukan penculikan terhadap Pandhu saat Pandhu menyaksikan pemotongan sapi kurban saat Maulit Nabi. Mana ada orang tua yang tidak pernah memarahi anaknya kalau anaknya nakal? Marah itu adalah bagaian dari bentuk kasih sayang orang tua kepada anak dalam ranggka pencegahan. Tetapi jaksa dalam hal ini mendramatisir perbuatan terdakwa karena kebetulan terdakwa seorang ayah tiri,” ucap Dominggus dalam Pledoinya
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Theodora Marpaung, SH menjatuhkan tuntutan 1 tahun dan 6 bulan terhadap terdakwa Poltje W. Jocom Bin Simon Jacom (58) karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakuan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 44 ayat (1) UURI No.23 Tahun 2004 tentang Pengahpusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, di Pengeadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Rabu (5/10/16).
Surat tuntutannya itu dibacakan dihadapan Ketua Majelis Hakim IBN Oka Diputra, SH, JPU juga menuntut dan menyatakan agar dalam putusan terdakwa Poltje dengan anak korban Pandu Hans Pranata dalam jarak dan waktu tertentu dengan cara mengamankan anak korban sebagaimana dimaksud Pasal 50 UURI No 23 Tahun 2004 tentang Pengahapusan KDRT. thomson g


(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Tinggalkan Balasan