JAKARTA, HR – Jika Pancasila sebagai kounter ideologi transnasional perlu pemantapan Pancasila sebagai ideologi negara, yang dikuatkan dalam Undang-undang dengan point penting (1) Pancasila adalah ideologi Negara, dan point (2) Dasar dari ideologi Negara. Sedangkan lainnya yang bertentangan dengan Undang-umdang dilarang oleh Negara. Hal ini ditegaskan Ketua Bidang Pengkajian Aliansi Kebangsaan, Dr.Saafroedin Bahar dalam diskusi bulanan Aliansi Kebangsaan, Jumat (9/6) sore di Senayan Room The Sultan Residence. Hadir juga sebagai pembicara H.Pontjo Sutowo, Dr.udi Latif, Prof.M.Dawam Rahardjo, dan lainnya.
Saafroedin mengingatkan, keberhasilan Pancasila sebagai counter ideology terhadap berbagai bentuk ideologi trans nasional ini bergantung pada keberhasilan kita semua untuk memelihara kekuatan Pancasila, dan membenahi berbagai bentuk kelemahannya.
Lebih lanjut dikatakan Saafroedin pada dasarnya, ideologi transnasional adalah berbagai bentuk ideologi yang bertujuan penguasaan seluruh umat manusia di seluruh dunia oleh sekelompok orang atau golongan. Landasan ideologi transnasional ini beraneka ragam, seperti sekedar nafsu untuk berkuasa atau untuk menjarah wilayah lain; keyakinan akan superioritas ras sendiri dan inferioritas ras lainnya; ambisi untuk menguasai wilayah dan sumber daya alam di negara lain; atau adanya keyakinan akan adanya missi suci untuk meyebarkan agama atau ideologi yang dianutnya ke seluruh pelosok dunia. Sudah barang tentu, agar bisa mencapai tujuannya, ideologi transnasional ini memerlukan dukungan kekuatan, baik kekuatan militer, kekuatan politik, maupun kekuatan ekonomi, dan kekuatan sosial budaya.
“Ideologi transnasional ini telah berusia amat tua, dan telah menjadi faktor pendorong terjadinya berbagai bentuk konflik antar bangsa dan antar negara. Dalam konflik antar bangsa dan antar negara ini berlaku suatu “hukum besi”, bahwa yang kuat akan mampu bertahan hidup, sedangkan yang lemah akan hancur dan lenyap, survival of the fittest,” ujarnya.
Menurutnya berbagai suku bangsa Indonesia telah menjadi korban dari berbagai variasi ideologi transnasional ini, baik yang berasal dari Timur maupun yang berasal dari Barat. Oleh karena tidak berada di bawah satu pimpinan perlawanan suku-suku bangsa ini, maka telah dapat dipatahkan satu demi satu, dan dalam waktu yang cukup lama. Suku-suku bangsa Indonesia ini bukan saja berada di bawah kekuasaan asing, tetapi juga telah kehilangan martabat dan harga dirinya.
Namun secara lambat laun, sejak awal abad ke 20 telah timbul kesadaran di kalangan para pemimpin suku-suku bangsa Indonesia ini, bahwa hanya melalui persatuan dan kesatuanlah dapat penindasan asing itu dipatahkan dan kemerdekaan bisa dicapai. Peluang emas untuk merdeka terbuka pada tahun 1944-1945 di akhir Perang Dunia Kedua, yaitu sewaktu balatentara Jepang yang menduduki kepulauan Indonesia mulai mengalami kekalahan dalam pertempurannya melawan balatentara Sekutu, dan memerlukan dukungan bangsa Indonesia. Untuk itu, balatentara Jepang memberi kesempatan kepada para pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia untuk mempersiapkan sebuah negara Indonesia yang merdeka.
Saafroedin juga memaparkan, bahwa selama kurang lebih tiga bulan, antara bulan Mei sampai dengan Agustus 1945, dalam dua buah badan, yaitu Badan Peyelidik Usaha-usaha Persiapan Kmedekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemedekaan Indonesia (PPPKI), sekitar sekitar seratus orang tokoh-tokoh pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesa secara mendalam dan mendasar membahas persiapan pembentukan sebuah negara Indonesia yang merdeka. Dengan semangat kenegarawanan yang tinggi, para pemimpin perkerakan kemerdekaan Indonesia ini bukan saja berhasil menyusun dan menyepakati sebuah Undang-Undang Dasar yang terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan , tetapi juga mengumunkan Proklamasi Kemerdekaan, yang mendapatkan dukungan yang luas dari seluruh Rakyat Indonesia.
Walaupun istilahnya sendiri tidak terdapat secara eksplisit dalam Undang-Undang Dasar 1945, namun Pancasila, baik sebagai Dasar maupun sebagai Ideologi Negara, tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang keterangan otentiknya terdapat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945. Seperti dapat diduga, Pancasila sebagai Ideologi Negara merupakan antithesis dari ideologi transnasional yang pernah ada. Pancasila tidak dimaksudkan untuk menguasai wilayah, bangsa, atau negara lain. Pada dasarnya Pancasila bertujuan untuk mempersatukan berbagai suku dan golongan di Indonesia, untuk membangun masa depan yang lebih sejahtera dan lebih adil.
Sudah barang tentu Pancasila sebagai ideologi nasional ini harus menghadapi berbagai bentuk ideologi transnasional yang ada, baik berwujud ideologi transnasional lama maupun berbagai bentuk ideologi transanasional baru, seperti ideologi neo-liberalisme yang menguasai negara-negara lain dalam wujud penguasaan jejaring ekonomi dan keuangan, yang ternyata tidak kalah bahayanya.
“Bagaimanakah peluang Pancasila dalam menghadapi ancaman berbagai bentuk ideologi transnasional tersebut ?. Yaitu begini. Pancasila mempunyai dua kekuatan yang bisa kita andalkan, yaitu : 1) sistem nilai Pancasila merupakan kristalisasi sistem nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, sehingga Pancasila mempunyai legitimasi kultural yang tinggi. 2) Sehubungan dengan itu, rumusan formal Pancasila seperti terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mendapat dukungan formal dari sebagian besar rakyat Indonesia,” jelasnya.
Walaupun demikian, sambung Ketua Bidang Pengkajian ini, Pancasila sebagai ideologi juga mempunyai kelemahannya sendir, yaitu : Masih ada berbagai tafsiran terhadap Pancasila sebagai ideologi, sehingga perlu ada penegasan formal konstitusional apa yang dimaksud dengan Pancasila sebagai Ideologi; Bersisian dengan Pancasila masih dibiarkan berkembang berbagai ideologi tandingan, yang seyogyanya tidak boleh terjadi; untuk satu negara cukup hanya satu ideologi, yang merupakan norma dasar yang paling fundamental; Selama hampir dua dasawarsa sejak tahun 1999 Pancasila sebagai Ideologi telah hampir dilupakan, padahal setiap ideologi harus dibina, dikembang, dan ditindaklanjuti secara terus menerus; Dan Pancasila sebagai Ideologi Negara belum berhasil mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Yang terlihat nyata adalah kesenjangan sosial yang sangat menyolok antara golongan super kaya dengan golongan super miskin, yang harus dikoreksi dalam waktu yang tida terlalu.
“Akan tetapi kita bersyukur bahwa dalam bulan ini Pemerintah telah membentuk Unit Kerja Presiden untuk Pembinaan Ideologi Pancasila, ( UKP PIP ) yang harus bekerja keras untuk memposisikan Pancasila sebagai Ideologi Negara. Last but not least,” pungkas Saafroedin Bahar. igo
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});