Mampukah Kebenaran Mengalahkan Kelaliman?

JAKARTA, HR – Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Inilah pepatah hukum yang selalu dikumandangkan para penegak hukum.
Pasal 183 KUHAP, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Sedangkan yang dimaksud dengan barang bukti diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yakni: Keterangan Saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Dr. Johannes Aritonang didakwa melanggar Pasal 44 ayat (1), Jo Pasal 44 ayat (4) UU NO 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekeradan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atas laporan istrinya dr. Winda Olysia Panjaitan.
Johannes Aritonang dan Winda Olysia Panjaitan masih penganten baru, dan masih dalam tahapan proses menikmati bulan madu sebab perkawinan mereka baru menjalani 3 bulan 26 hari.
Winda Olysia Panjaitan membuat laporan ke Polsek Kelapa Gading, Jakarta Utara dengan tuduhan suaminya dr. Johanes Aritonang bersama mertuanya melakukan kekerasan fisik kepadanya di Rumah tinggalnya di Jl. Hijau, Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada tangga 7 Oktober 2015, pkl. 23.WIB.
Berdasakan Surat tanggal 8 Oktober 2015 yang diajukan oleh Ka SPKT B Polsek Kelapa Gading kepada Direktur RS Gading Pluit Nomor: 70/VER/2015/PMJ/Res JU/S GD Perihal Visum Et Repertum dalam perkara Penganiayaan Ringan Pasal 352 KUHP.
Dan akhirnya terdakwa dr. Johanes Aritonang dijatuhi tuntutan 4 bulan pidana penjara karena telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (4) UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Toto Roedianto, SH dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara.
Atas tuntutan 4 bulan tersebut Elisa Manurung, SH, Ombun Suryono Sidauruk, SH, Imelda Sihombing SH dan Ernida SH sebagai kuasa hukum terdakwa dr. Johannes Aritonang keberatan. Mereka tidak sepakat dengan JPU dan bahkan dalam surat pledoinya menuding bahwa JPU telah menzalimi kliennya dengan melakukan rekayasa hukum untuk melakukan penahanan, oleh karena itu mereka memohon kepada pimpinan sidang yang di Ketua Majelis Hakim Pinta Uli beru Tarigan, SH untuk membebaskan dan menyatakan Terdakwa dr Johannes Aritonang tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana KDRT sebagaimana dalam dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, dan memulihkan hak Terdakwa dalam segala kemampuan, kedudukan serta harkat martabatnya semula, serta membebankan biaya perkara kepada Negara, ucapnya di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Kamis (11/08/16).
Dua jam lima belas menit pembacaan pledoi itu dibacakan secara bergantian oleh kuasa hukum terdakwa tidak membuat pengunjung sidang beranjak dari tempat duduknya meskipun suhu udara diruang sidang cukup panas.
“Dua jam lima belas menit pembacaan pledoi, tapi kami paling menyoroti pledoi halaman 4. Sampai saat ini, detik ini, majelis tidak melenceng dari aturan dalam pemeriksaan perkara ini. target/pesanan/order dari pihak pihak tertentu yang menginginkan agar Terdakwa ditahan tidak ada sampai saat ini,” ucap Ketua Majelis Pinta Uli Taringan menanggapi pledoi yang berbunyi “Atau..memang ada target/pesanan/order dari pihak pihak tertentu yang menginginkan agar Terdakwa ditahan selama empat bulan agar SERUPA TAPI TAK SAMA dengan masa perkawinan yang entah kebetulan atau tidak juga baru berlangsung selama ± 4 bulan saja/masa pengantin baru”, yang kemudian langsung diklarifikasi kuasa hukum Ombun Sidauruk dan mengatakan; bahwa kata-kata itu tidak ditujukan kepada majelis tetapi kepada Polisi dan JPU.
Elisa Manurung mengatakan bahwa JPU tidak dapat membuktikan dakwaan Primeir maupun dakwaan subsider walupun pada akhirnya menyatakan bahwa unsur melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga (terhadap isteri) telah terpenuhi, namun karena cidera tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan/pencarian, maka unsur Pasal ini tidak terpenuhi dalam dakwaan primair Pasal 44 ayat (1), tetapi Terdakwa dituntut dengan Pasal 44 ayat (4) UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT dalam dakwaan subsidaer dengan pidana penjara selama 4 bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah agar Terdakwa tetap ditahan.
Advokat Revolusioner itu menegaskan bahwa mata JPU telah buta sehingga tidak dapat membaca hasil visum etrevertum yang menyatakan cidera tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan/pencarian dan hati nuraninya juga telah dibutakan karena tanpa adanya keterangan saksi yang menyaksikan terjadinya peristiwa tetapi JPU berani memenjarakan orang yang belum tentu bersalah dengan memaksakan Pasal 44 ayat (1) hanya untuk menjustifikasi tindakan penahanan terhadap terdakwa, tegas Elisa.
“Ini, kasus ini akan menjadi yurisprudensi untuk nanti memenjarakan suami-suami. Nanti penjara akan dipenuhi suami suami kasus KDRT, karena laporan istri-istri yang mau menyeleweng, karena polisi dapat menindak lanjuti laporan KDRT tanpa ada saksi mata,” pungkasnya.
Advokat Revolusiner Elisa Manurung, SH yang juga adalah Wasekjen DPP AAI (Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Advokat Indonesia) mengatakan bahwa JPU Toto Roedianto, SH dan Astrid, SH dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara tidak dapat membuktikan dakwaannya dipersidangan sebagaimana didakwakan dalam dakwaan Pasal 44 ayat (4) UU No23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.
Dia mengungkapkan bahwa fakta fakta persidangan membuktikan bahwa Kepolisian Sektor Kelapa Gading, Jakarta Utara telah melanjutkan penyidikan laporan atasnama tersangka dr Johanes Aritonang tanpa dukungan paling tidak dua alat bukti.
“Majelis, kami juga memohon agar majelis bersedia menjadi saksi dalam laporan kami di Polda Metro Jaya atas laporan palsu dan sumpah palsu dipersidangan yang mulia ini. Kami telah melaporkan Winda Olysia Panjaitan, ibunya dan dr. Henry,” pungkas sang advokat revolusioner.
Dan tudingan persekongkolan itu langsung dibantah oleh majelis dan menjawab; “Pengadilan tidak diperbolehkan menolak perkara yang dilimpahkan JPU. Justru berkas itulah yang kita uji dipersidangan ini. Tunggu saja nanti putusannya,” ucap Ketua Majelis Hakim Pinta Uli Tarigan menanggapi protes Elisa.
Terkait permohonan Pensehat Hukum Terdakwa untuk kesediaan Majelis menjadi saksi tidak ditolak tetapi jika di ijinkan pimpinan.
Keterangan saksi Pelapor Winda Olysia Panjaitan (istri terdakwa) dipersidangan mengatakan bahwa dia telah mengalami tindakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh suaminya Dr. Johannes Aritonang hingga pelipis, siku tangan dan dengkulnya memar memar. Luka memar itu katanya akibat ditampar terdakwa dan tubuhnya dilemparkan.
Oleh karena pernyataan saksi itu, Elisa Manurung meminta majelis agar dilakukan rekontruksi bagaimana caranya terdakwa melempar saksi. “Majelis, menurut kami saksi ini telah berbohong. Mohon dilakukan rekontruksi, karena tidak mungkin badan sebesar ini dilemparkan, tolong Majelis,” minta Elisa.
Permintaan itu tidak dikabulkan Majelis. Majelis mengatakan bahwa rekontruksi adalah wewenang polisi. Tapi Majelis menegaskan kepada saksi dan bertanya: saksi, kamu dilemparkan? Ia Majelis, jawab saksi Winda. Sehingga Majelis mencontohkan dan melemparkan palunya dan mengatakan: apakah seperti itu? Itu yang namanya dilemparkan! Ucap Majelis. Saksi Winda menjawab, tidak. Ya sudah, kesaksiannya sudah dicatat dan dinilai Majelis, katanya.
Kemudikan Elisa bertanya kepada Saksi Winda Olysia Panjaitan apa awal cikal bakal terjadinya peristiwa, kemudian Winda mengatakan, saat itu Rabu tanggal 7 Oktober 2015 sekitar pukul 23:00 WIB di rumah tempat kediaman bersama yang beralamat di Jl Janur hijau VIII Blok TC 1 No. 11 Kelapa Gading, Jakarta Utara, Terdakwa masuk kedalam kamar bersama Ibu Mertua Korban. Bahwa saat itu posisi korban sedang istirahat sambil tidur tiduran diatas tempat tidur.
Ibu Mertua Korban bertanya kepada Korban tentang AMPLOP berisi uang yang masih berada diatas meja didalam kamar. Ibu Mertua Korban meminta Korban untuk mengembalikan Amplop berisi uang kekurangan pembayaran di Marta Ulos, namun Korban tidak bersedia. Kemudian setelah berbicara tentang hal hal lain, antara lain mengapa sekarang Winda jarang mempersiapkan makanan si Jo (Terdakwa) Ibu Mertua Korban keluar kamar.
Atas kejadian tersebut, Korban menjadi sakit hati kepada Ibu Mertuanya. Dan kemudian Korban memesan Taksi melalui telepon genggamnya. Bahwa kemudian setelah kejadian tersebut, mulai timbul pertengkaran dengan Terdakwa mengenai Ibu Mertuanya.
Korban mengeluh kepada Terdakwa tentang Ibu mertuanya yang menurut korban selalu menghina keluarga korban. Namun Terdakwa tidak menanggapi perdebatan tersebut dan berkata: “sudah malam, mari kita tidur untuk beristirahat saja karena besok kerja”.
Ajakan tidur itu justru membuat Korban tamba emosi dan berkata kepada Terdakwa: “sudah lakukan saja apa yang diinginkan inang sama kau, aku mau keluar saja dari rumah ini”.
Emosi Korban bertambah dan berkata kepada Terdakwa: “selalu saja kau biarkan apa yang dilakukan Inang ( ibu mertua) terhadap aku, sudah kau ceraikan aku saja kalau begitu”. Saksi Korban berkata kepada Terdakwa: “percuma menjadi laki – laki kalau banci”. Oleh perkataan itu Terdakwa marah dan menampar pipi sebelah kiri Korban. Bahwa kemudian Korban berkemas kemas untuk menyiapkan barang untuk keluar rumah.
Namun terdakwa melarang Korban keluar dari kamar untuk pergi keluar dari rumah. Bahwa Korban tetap bertahan dan berkeras untuk keluar dari rumah pada malam itu. Bahwa kemudian Korban marah serta berteriak kepada Terdakwa, “sudah biarkan saja aku pergi dari rumah ini. Bahwa kemudian Korban berusaha untuk keluar pintu kamar, tetapi dihalangi oleh Terdakwa yang berada tepat didepan pintu kamar. Bahwa pada saat kejadian tersebut, Korban mendorong Terdakwa sementara Terdakwa tetap bertahan didepan pintu sehingga terjadi dorong dorongan sehingga Korban hampir terjatuh tetapi tidak jadi karena secara reflek memegang gordyn jendela dalam kamar sehingga miring.
Mendengar ribut tersebut, Ayah Mertua Korban mengetok pintu untuk masuk kedalam kamar sambil berkata: “ada apa lagi ini, sudahlah”. Bahwa pada saat Ayah Mertua Korban masuk kedalam kamar, Terdakwa berkata kepada Ayahnya: “lihat itu pi, gordyn dirusakin sama si Winda”. Bahwa saat Ayah Mertua Korban masuk kedalam kamar, Pintu kamar terbuka sedikit dan Korban segera lari keluar kamar dilantai 2 dari dalam rumah serta lari kelantai 1 kemudian membuka pintu serta bersembunyi digarasi dalam rumah.
Bahwa saat itu, Korban mendengar Ayah Mertua keuar dari kamar serta turun untuk mencari Korban sambil berkata: “Winda……Winda, namun Korban tidak menjawab serta tetap bersembunyi diluar. Bahwa setelah Korban yakin tidak ada yang mengejar, maka korban mempergunakan taksi yang sudah dipesan sebelumnya sambil mengadu kepada Ibunya.
Winda berkata sebelumnya Terdakwa tidak pernah melakukan kekerasan fisik kepada korban. Bahwa Korban setelah sampai dirumahnya di Bekasi, kemudian mengadukan permasalahan tersebut kepada Ibu dan Ayahnya.
Bahwa kemudian korban bersama Ibunya sekitar pukul 03:30 WIB berkonsultasi ke Polsek Kelapa Gading. Bahwa kemudian Korban berangkat ke IGD RS Gading Pluit sekitar pukul 04:55 WIB.
Bahwa kemudian setelah kejadian tersebut, Korban menuju Bandara Soekarno – Hatta untuk mengejar penerbangan ke Brunei Darussalam yang harus boarding pukul 08:35 WIB. Bahwa sekitar ± 2 minggu setelah kejadian, Korban kembali kerumah untuk mengambil barang – barang milik pribadi yang ada dalam kamar dirumah.
Atas keterangan itu Terdakwa keberatan dan memengatakan bahwa sebenarnya Terdakwa Tidak pernah menampar/Lakukan kekerasan Fisik terhadap Korban yang masih merupakan Isterinya. Bahwa Terdakwa telah berusaha meminta maaf secara pribadi dan secara kekeluargaan, tetapi Korban serta keluarga selalu menolaknya.
Keterangan Samsia Delima Hutabarat, sebagai Ibu kandung korban dibawah sumpah menerangkan pada pokoknya seperti yang dikatakan Winda. Yang berbeda adalah pengakuan saksi bahwa keluarga terdakwa tidak pernah berupaya datang untuk mencari solusi untuk berdamai.
Atas keterangan ini Terdakwa keberatan dengan alasan: Bahwa Terdakwa dan keluarga telah berusaha meminta maaf secara pribadi kepada saksi yang merupakan Ibu Mertua, tetapi saksi menolaknya. Bahkan dipersidangan Terdakwa mencoba menjabat tangan tangan hendak minta maaf atas permintaan Majelis tetapi saksi menolak. “ya, sudah kalau tidak mau,” ucap Majelis. Padahal sekedar bersalaman saja ibu mertuanya sudah menolak. Kuasa hukum terdakwa mengatakan bahwa keterangan yang disampaikan oleh saksi ditolak, karena hanya testimony.
Sumanto M Panjaitan sebagai ayah kandung korban dalam persidangan menerangka, bahwa sebenarnya saksi sangat berharap masalah ini dapat diselesaikan secara baik– baik. Sebab selama ini belum pernah Winda mengeluh. Bahwa saksi kecewa dengan kejadian tersebut, karena selama 7 bulan tidak selesai. Dan saksi sangat berharap adanya penyelesaian.
Roswitha Mutiara H, sebagai mertua korban dan ibu Kandung Terdakwa dibawah sumpah menerangkan pada pokoknya sebagai berikut: Bahwa Terdakwa adalah dokter yang sedang mengambil spesialis urologis. Bahwa Saksi menerangkan tidak mau diperiksa polisi pada tanggal 19 Januari 2016 dengan mempergunakan Pasal 168 (a) KUHAP karena mempunyai harapan kejadian yang terjadi dapat diselesaikan baik baik secara musyawarah dan kekeluargaan.
Bahwa saksi bersedia memberikan keterangan dibawah sumpah dalam persidangan, karena ingin menerangkan kejadian yang sebenar benarnya.
Bahwa kejadian tersebut bermula ketika Terdakwa pulang kerumah sekitar pukul 23:00 WIB dan saksi berkata kepada Terdakwa: “ada waktu mang, mami pengen ngobrol ngobrol”.
Bahwa kemudian Terdakwa menjawab “ada apa,mi ?” dan saksi bertanya “kenapa amplop yang terletak diatas meja masih ada dan belum dikembalikan” ? Bahwa saat saksi dan Terdakwa bersama sama masuk kedalam kamar, Korban masih tidur tiduran diatas tempat tidurnya.
Bahwa kemudian saksi bertanya, “bagaimana kabar dan bicara hal hal lain tentang kegiatan sehari harinya”. Bahwa saksi juga bertanya kepada korban ‘kenapa belakangan ini sepertinya tidak lagi melayani Terdakwa sebagai suaminya”.
Bahwa saat itu, Terdakwalah yang menjawab saksi dan berkata: “tidak ada apa – apa koq mi, Jo kan berangkat pagi pagi sekali karena kuliah sambil bekerja dan Winda juga berangkat kerja”.
Bahwa saat itu Korban hanya menjawab seperlunya saja dan kelihatan seperti tidak ingin berbicara kepada saksi. Dan melihat situasi itu Terdakwa berusaha untuk menetralisir suasana yang terjadi. Bahwa kemudian, setelah melihat serta merasakan suasana yang kurang baik tersebut saksi keluar kamar serta menuju kamarnya sendiri yang terletak agak jauh dari kamar Terdakwa.
Bahwa sebelum sampai kamar, saksi mendengar Korban berteriak: “Bangsat lo, tai lo” dari dalam kamar. Bahwa kemudian, saksi bersama Suami bergegas menuju kamar Terdakwa untuk mengetahui keadaan yang terjadi dalam kamar tersebut.
Bahwa saat Suami saksi membuka pintu kamar, saksi sempat melihat Korban lari dari dalam kamar melalui pintu kamar yang terbuka.
Bahwa pada saat itu, saksi melihat dengan mata kepala sendiri Korban dalam keadaan baik baik saja tanpa ada luka dan atau lecet sedikitpun juga. Bahwa menurut saksi, kejadian ini mungkin saja berasal dari uang yang berada dalam amplop untuk pembayaran kekurangan kepada Martha Ulos saat perkawinan.
Bahwa saksi menerangkan, agar Terdakwa mengembalikan uang dalam amplop kepada mertuanya karena sangat tidak etis apabila mertua Terdakwa mengembalikan uang kepada saksi melalui Terdakwa.
Bahwa saksi memang pernah bercerita kepada Terdakwa, bahwa Martha Ulos meminta kekurangan uang pembayaran sewa ulos pada saat pesta perkawinan Terdakwa.
Bahwa memang saksi juga pernah mengatakan bahwa ada kekurangan sewa pembayaran kepada Martha Ulos kepada korban. Bahwa saksi juga menerangkan, bahwa saksi telah membayar seluruh uang sewa ulos yang dipakai dalam pesta pernikahan namun ternyata ada kekurangan pembayaran terkait sewa ulos yang dipakai oleh keluarga korban menurut keterangan dari Martha Ulos.
Tonggo Aritong, sebagai Mertua korban/Ayah Kandung Terdakwa dalam persidangan dibawah sumpah menerangkan pada pokoknya sebagai berikut: Bahwa Saksi menerangkan hampir sama dengan yang dikatakan saksi Mutiara istrinya.
Korban sudah dianggap anaknya sendiri dan sangat menyayanginya karena Terdakwa adalah anak tunggal. Bahwa saksi menerangkan, saksi selalu berangkat bersama sama dengan Korban setiap hari apabila berangkat kerja.
Bahwa saksi juga menerangkan, selama dalam perjalanan tidak ada permasalahan antara Korban dengan Terdakwa.
Bahwa perkawinan antara Korban dan terdakwa dilaksanakan sebanyak 2 kali yaitu untuk pesta adat di Balai Samudera Kelapa Gading, dan Pesta Resepsi di Bidakara Hotel.
Bahwa saat saksi membuka pintu kamar, saksi melihat korban yang tidak berkata apapun juga kepada saksi serta saat itu tidak ada luka memar atau lecet pada tubuh Korban.
Bahwa saksi kemudian memanggil serta mencoba untuk mengejar Korban yang lari dari dalam kamar sambil berkata: “winda, winda”.
Bahwa saksi sampai turun kebawah untuk mencari korban, serta melihat keluar digarasi serta halaman namun karena gelap saksi tidak melihat korban. Bahwa saksi masih berhubungan dengan Korban melalui telepon dan sms serta bertanya; “apa yang sebenarnya terjadi ?”.
Bahwa saksi juga kecewa dengan keadaan yang terjadi, karena sudah menganggap Korban sebagai anak sendiri dan berharap Korban mau bercerita apa adanya kepada saksi.
Bahwa sekitar bulan Oktober 2015 yaitu 2 (dua) minggu setelah kejadian, saksi juga berusaha untuk melakukan perdamaian dengan keluarga Korban, serta pernah bertemu dengan Ayah korban (saksi Sumanto Panjaitan) di Starbuck Cafe TIS Tebet.
Bahwa saat pertemuan tersebut saksi mengatakan kepada Ayah Winda bahwa penyelesaian permasalah tersebut sangat sederhana yaitu Winda kembali saja kerumah Terdakwa, karena sudah terikat tali perkawinan.
Bahwa atas tawaran perdamaian saksi tersebut, Ayah Winda berkata agar Terdakwa meminta maaf dan keluarga Terdakwalah yang menjemput Winda dari Bekasi untuk pulang kerumah.
Bahwa saksi keberatan dengan pernyataan Ayah Winda karena merasa Terdakwa tidak melakukan kesalahan, dimana Winda sendirilah yang lari keluar dari rumah.
Ada falsafah Suku Batak: “Dalihan na Tolu”: Somba Marhulahula (Sembah dan Hormat kepada pihak Istri), Elek Marboru (Sayang dan membujuk kepada pihak boru), Manat Mardonga Tubu (Berhati-hati dan santun terhadap satu marga).
Dalam posisi ini, Panjaitanlah yang menjadi Hulahula, dan Aritonang lah yang menjadi Boru. Dan yang menjadi Dongan Tubu adalah marga Panjaitan dan marga Aritonang.
Jika fungsi masing-masing dilakukan maka damailah hidup ini. Karena kedudukan sosial suku Batak semua RAJA. Yaitu: Raja ni Hulahula, Raja ni Boru, dan Raja ni Dongan Tubu.
Dalam adat Batak seorang, wanita yang sudah di nikahkan bukan lagi hak pihak wanita, segala persoalan yang timbul dalam rumah Tangga itu dapat diselesaikan pihak keluarga pria/satu marga.
Dan apa bila seseorang wanita yang telah menjadi istri pergi/melarikan diri mengadu ke Rumah orang tuanya adalah merupakan aib besar bagi pihak wanita/suku batak, dalam hal ini marga Panjaitan.
Bahwa kemudian saksi Tonggo mengusulkan kepada Ayah Winda agar mencari orang yang dapat dipercaya/Ketua Adat untuk mencari jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak.
Bahwa suasana dalam pertemuan tersebut berlangsung akrab dan saksi bersama Ayah Winda saling berjanji untuk berhubungan kembali.
Bahwa setelah pertemuan tersebut, saksi juga masih sempat bertemu serta berbicara dengan Ketua Adat Marga Panjaitan yang bernama Darwis PaPanjaitan. Dan Darwis Panjaitan cukup optimis akan hasil pertemuan.
Saksi A-Decarge yang diajuka Oleh Penasehat hukum ialah Saksi ARNOLD LUMBANG Tobing mengatakan, Bahwa sekitar bulan Februari 2016, saksi datang kerumah Korban bersama sama Riris yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan Sumanto Panjaitan. Bahwa pada saat saksi datang kerumah Korban, bertemu dengan Ayah dan Ibu Korban serta keluarga yang sedang berkumpul.
Bahwa dalam pembicaraan itu, saksi bertanya kepada Korban tentang kejadian yang terjadi pada tanggal 7 Oktober 2015. Bahwa saat itu, Korban tidak menjawab dan yang menjawab adalah Ibu korban.
Bahwa saksi berusaha untuk mendamaikan secara kekeluargaan, namun usaha korban tidak berhasil. Karena pembicaraan didominasi ibu korban. Bahwa sekitar bulan Mei 2016 sewaktu saksi berkunjung ke Polsek Kelapa Gading dimana posisi Terdakwa sudah ditahan, saksi bertemu kembali dengan ibu Korban. Bahwa saksi bertanya kepada Ibu Korbana: mengapa permasalahan tidak diselesaikan secara kekeluargaan saja? namun saat itu Ibu Korban berkata: “BIAR DIRODAM” yang artinya biar direndam/disiksa/mengancam.
Saksi menyatakan bahwa keterangan Ayah dan Ibu korban yang menerangkan bahwa TIDAK ADA upaya perdamaian yang dilakukan oleh keluarga Terdakwa merupakan kebohongan.
Tjecep Soenaryo menerangkan Bahwa pada tanggal 20 Mei 2016 saksi berkunjung kerumah keluarga Korban di Bekasi, namun tidak bertemu karena sedang berlibur ke Bali.
Bahwa kemudian saksi menelepon Ayah Korban dan Ayah korban menyarankan agar datang kembali pada tanggal 23 Mei 2016. Bahwa pada tanggal 23 Mei 2016, akhirnya saksi bertemu dengan Ayah korban serta keluarga dirumah korban di bekasi.
Bahwa dalam pertemuan tersebut, saksi mengutarakan maksud kedatangannya yaitu sebagai mediator untuk mengatur pertemuan membicarakan perdamaian. Bahwa dalam pertemuan tersebut, Ibu Korban memberikan usul agar terdakwa dan Korban jangan tinggal bersama orangtua Terdakwa di Kelapa Gading.
Bahwa akhirnya timbul kesepakatan antara saksi dengan Ayah korban yang juga ingin bertemu dengan Ayah Terdakwa untuk membicarakan permasalahan secara kekeluargaan.
Bahwa pada tanggal 26 Mei 2016 di Hema Tebet Indah Square, terjadi pertemuan antara Ayah Terdakwa dengan Ayah Korban yang berlangsung secara akrab dan kekeluargaan.
Bahwa sepengetahuan saksi, dalam pertemuan tersebut Ayah Terdakwa ingin memyelesaikan secara kekeluargaan tanpa menempuh jalur hukum.
Bahwa saat itu, saksi mengetahui bahwa Ayah Korban berkata akan membicarakan permasalahan tersebut dengan Ketua Adat Marga Panjaitan. Bahwa pada tanggal 1 Juni 2016, atas saran dan permintaan Ayah korban maka Ayah dan Ibu Terdakwa bersama sama dengan saksi bertemu dengan Darwis Panjaitan Ketua Marga Panjaitan di Bakmi Toko Tiga Tebet.
Bahwa dalam pertemuan tersebut, Ayah dan Ibu Terdakwa kembali mengutarakan maksud dan tujuannya untuk melakukan perdamaian dengan keluarga Korban. Dan dalam pertemuan itu terlihat ada progres yang baik.
Bahwa kemudian pada tanggal 4 Juni 2016 saksi kembali berkunjung kerumah Korban di Bekasi, namun saat itu saksi melihat tidak ada keinginan keluarga korban untuk menyelesaikan permasalah secara kekeluargaan namun ingin menyelesaikan melalui jalur hukum.
Bahwa menurut keterangan Terdakwa kepada saksi, Terdakwa TIDAK melakukan kekerasan terhadap korban dan mungkin saja korban jatuh terpeleset sewaktu melarikan diri malam itu.
Bahwa keterangan Ayah dan Ibu korban yang menyatakan tidak ada upaya perdamaian yang dilakukan oleh keluarga Terdakwa terhadap permasalah merupakan kebohongan belaka.
Ahli yang diajukan OLEH JPU Dr HENRY RONO RUSTAN, dalam persidangan: bekerja sebagai dokter umum di RS Gading Pluit. Bahwa saat kejadian tanggal 8 Oktober 2015 sekitar pukul 04:00 WIB – 05:00 WIB Ahli sedang bertugas sebagai dokter jaga di IGD RS Gading Pluit. Bahwa permintaan Visum Et Repertum berdasarkan permintaan polisi. Bahwa benar Ahli memeriksa Korban sekitar 15 menit. Bahwa korban sewaktu diperiksa masih dapat melakukan aktifitas seperti biasa. Bahwa saat kejadian, sewaktu Korban akan diperiksa didampingi oleh polisi. Bahwa foto terhadap luka dilakukan oleh suster yang berjaga saat itu.
Bahwa kemudian hasil pemeriksaan dicatat dalam Rekam Medis Pasien. Bahwa benar Ahli tidak mempunyai Sertifikat Nasional Forensik. Bahwa Ahli tidak mengetahui tentang Peraturan Pemerintah tentang Visum Et Repertum.
Bahwa menurut Ahli, Visum Et Repertum berasal dari Rekam Medik. Bahwa benar menurut Ahli, yang membuat Visum Et Repertum adalah Ahli sedangkan dr Djaja Surya Atmaja SpF PhD SH DFM sebagai konsultan forensik klinik.
Bahwa menurut Ahli pada tanggal 14 Desember 2015 adalah produk jadi Visum Et Repertum berdasarkan Rekam Medis Pasien tanggal 8 Oktober 2015. Bahwa Ahli menerangkan bahwa dokter umum di Rumah Sakit Swata dapat membuat Visum Et Repertum. Bahwa Ahli menerangkan setelah melakukan pemeriksaan korban berdasarkan permintaan polisi dan pemeriksaan pada tanggal 8 Oktober 2015 maka Ahli membuat Visum Et Repertum No: 22/Visum-RSGP/XII/2015 tanggal 14 desember 2015 dengan KESIMPULAN: pada pemeriksaan terhadap perempuan yang berusia dua puluh tujuh tahun ini ditemukan adanya memar dan luka – luka lecet pada kelopak mata kanan, dan anggota gerak akibat kekerasan tumpul. Cidera tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan/pencaharian.
Bahwa benar Ahli diperiksa serta disumpah sebagai Ahli pada tanggal 11 Mei 2016 di RS Gading Pluit oleh polisi yang datang ketempat kerjanya.
keterangan ini Terdakwa keberatan dengan alasan sebagai berikut: Bahwa Ahli tidak mempunyai kualifikasi sebagai Ahli Kedokteran. Bahwa Penasehat Hukum juga keberatan atas keterangan Ahli, karena Ahli tidak mempunyai Sertifikasi Keahlian sebagai ahli forensik.
Bahwa Penasehat Hukum juga keberatan, karena Ahli tidak mengetahui perbedaan antara Rekam Medis dengan Visum Et Repertum. Bahwa Penasehat Hukum juga meminta agar Ahli ditangkap, karena mengaku dan disumpah sebagai Ahli padahal dalam kenyataan yang sebenarnya adalah dokter umum.
Ahli yang diajukan Penasehat hukum; Dr. DJAJA SURYA ATMAJA SPf, Phd, SH, DFM dalam persidangan mengatakan, bahwa Ahli sejak tahun 1990 merupakan Doktor Ahli Forensik. Bahwa Ahli bersedia diperiksa dan didengar keterangannya sebagai Ahli Forensik.
Bahwa Visum Et Repertum dibuat serta ditandatangani oleh dokter yang memeriksa serta harus bertanggungjawab penuh secara hukum atas pemeriksaan yang dilakukannya. Bahwa Ahli sebatas mengetahui Visum Et Repertum yang dibuat oleh Dokter Pemeriksa dan tanggung jawab hukum berada sepenuhnya pada dokter pemeriksa.
Bahwa Ahli menyatakan, dokter umum berbeda dengan dokter Forensik karena harus kuliah secara spesifik lagi selama 3 tahun untuk menjadi Ahli Forensik. Bahwa menurut Ahli ada beberapa prosedur yang harus dilakukan dalam pembuatan Visum Et Repertum, tergantung pembuatan VER itu sendiri apakah untuk VER Hidup, VER Jenazah.
Bahwa VER sangat bersinggungan erat dengan proses pembuktian dalam perkara pidana dan perkara lain yang membutuhkan VER yang akan dipergunakan sebagai bukti. Bahwa prosedur dalam pembuatan VER korban yang masih hidup adalah sebagai berikut: Ada korban yang mengalami luka. Korban didampingi oleh polisi. Ada surat permintaan dari kepolisian. Ada surat laporan/pengaduan korban kepada polisi. Dokter yang memeriksa dan merawat korban membuat catatan dalam rekam medis. Bahwa dokter pemeriksa yang membuat foto atas luka serta keterangan yang specifik atas luka yang dialami korban.
Bahwa kemudian dokter pemeriksa, memberikan hasil pemeriksaan kepada Dokter Forensik yang akan membuat VER berdasarkan pemeriksaan dokter yang memeriksa. Bahwa dokter pemeriksa hanya melihat hasil dan bukan proses terjadinya luka.
Bahwa dalam kedokteran forensik, luka harus dirincikan secara spesifik tentang luka, ukuran luka, tempat luka, warna luka, arah luka dan hal hal lain yang berhubungan dengan luka. Bahwa dokter forensik bukan saksi mata dalam tindak pidana.
Bahwa dokter pemeriksa tidak boleh menyebutkan jenis senjata/benda yang dipergunakan. Bahwa dokter pemeriksa, tidak boleh menyebutkan siapa pelaku yang mengakibatkan luka. Bahwa dokter harus menyebutkan klasifikasi luka yaitu ringan, sedang dan berat.
Visum Et Repertum yang dibuat oleh dokter umum BUKAN merupakan keterangan Ahli dan hanya bisa dipakai sebagai bukti petunjuk saja.
Bahwa menurut Ahli, tidak lazim apabila dokter pemeriksa menentukan/membuat keterangan siapa pelaku yang mengakibatkan timbulnya luka atas seorang korban.
Bahwa menurut Ahli, klasifikasi luka ringan sebagaimana disebut dalam Pasal 352 KUHP. Bahwa menurut Ahli, klasifikasi luka sebagaimana Visum Et Repertum tanggal 14 Desember 2015 terhadap korban Winda Olysia
Saksi Ahli AKBP (Purn) P. Sinambela, SH, MH yang bersaksi sebagai saksi ahli penyidikan. dibawah sumpah pada pokoknya menerangkan sebagai berikut; Bahwa Ahli telah mempunyai pengalaman sebagai Polisi/Penyidik selama 32 Tahun. Bahwa menurut pengalaman dan keahlian Ahli sebagai polisi, maka suatu peristiwa pidana harus diawali/dimulai dengan adanya suatu laporan atau pengaduan kecuali tertangkap tangan.
Bahwa kemudian berdasarkan laporan tersebut dibuatlah MINDIK, Administrasi Penyidikan yang menyangkut hal hal tentang dugaan tindak pidana.
Bahwa menurut Ahli, semua polisi sebagai penyidik harus tunduk dan taat kepada KUHAP, UU KEPOLISIAN serta PERKAP KAPOLRI tentang Penyidikan. Bahwa menurut Ahli, Visum Et repertum harus dan sudah seharusnya dibuat setelah adanya laporan polisi dari korban.
Bahwa Surat surat resmi yang diajukan oleh suatu kantor kepolisian kepada pihak/instansi lain diluar kantor kepolisian tersebut HARUS ditandatangani oleh Kepala Kantor tersebut atau yang mendapatkan wewenang secara hukum menurut hal itu.
Bahwa menurut Ahli, tidak lazim apabila ada permintaan Visum Et Repertum tanpa adanya suatu laporan polisi yang menjadi dasar hukum pembuatan Visum Et Repertum.
Bahwa menurut Ahli, tidak lazim apabila Visum Et Repertum ada sebelum laporan polisi dan Visum Et Repertum tersebut cacat hukum karena dibuat secara tidak sah secara hukum.
Bahwa menurut pengalaman Ahli, Visum Et Repertum yang dibuat Korban pada tanggal 8 Oktober 2015 sementara laporan polisi baru dibuat pada tanggal 25 Oktober 2015 TIDAK LAZIM dan tidak sah karena cacat serta melanggar hukum.
SURAT yang diajukan JPU. Visum Et Repertum dari Rumah Sakit Gading Pluit Nomor: 22/Visum/RSGP/XII/2015, tanggal 14 Desember 2015 yang ditandatangani oleh Dokter pemeriksa yaitu dr Henry Rono Rustan dan diketahui Konsultan Forensik Klinik yaitu dr Djaja Surya Atmaja SpF, PhD, SH DFM yang kesimpulannya: ditemukan adanya memar dan luka luka lecet pada kelopak mata kanan, dan anggota gerak akibat kekerasan tumpul. CIDERA tersebut TIDAK menimbulkan penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan/pencaharian.
Yang diajukan oleh Penasehat Hukum; Surat tanggal 8 Oktober 2015 yang diajukan oleh Ka SPKT B Polsek Kelapa Gading kepada Direktur RS Gading Pluit Nomor: 70/VER/2015/PMJ/Res JU/S GD Perihal Visum Et Repertum dalam perkara Penganiayaan Ringan Pasal 352 KUHP.
Surat Korban tanggal 25 Oktober 2015 diatas materai yang cukup yang ditujukan kepada Kapolsek Kelapa Gading perihal Pengaduan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Laporan Polisi tanggal 25 Oktober 2015 No. Pol: 552/K/X/2015/PMJ/Res JU/S GD. Surat Perintah Penyidikan tanggal 25 Oktober 2015 Nomor: Sp.Dik/552/X/2015/Sek. Gading. Visum Et Repertum tanggal 14 Desember 2015 Nomor: 22/Visum-RSGP/XII/2015. Surat Panggilan tanggal 25 Februari 2016 Nomor: SPGL/79/II/2016/Sek Gading. Surat Panggilan II tanggal 16 Februari 2016 Nomor: SPGL/90/II/2016/Sek. Gading. Surat Kapolsek Kelapa Gading tanggal 10 Mei 2016 Nomor: B/870/V/2016/Sek. Gading perihal Bantuan Penghadapan Ahli.
Berita Acara Pengambilan Sumpah tanggal 11 Mei 2016 terhadap dr Henry Rono Rustan sebagai AHLI KEDOKTERAN yang disumpah di RS Gading Pluit.
Berita Acara Penangkapan tanggal 10 Mei 2016 terhadap Terdakwa dr Johannes Aritonang. Berita Acara Penahanan tanggal 11 Mei 2016 terhadap dr Johannes Aritonang.
Surat Tanda Bukti Lapor Nomor: TBL/3763/VIII/2016/PMJ/Dit. Reskrimum tanggal 7 Agustus 2016 di POLDA METROJAYA tentang Laporan Roswitha Mutiara Hutagalung terhadap Winda Olysia Panjaitan dan Dr Henry Rono Rustan sebagai TERLAPOR.
Kemudian pada tanggal 16 FEBRUARI 2016 (sebelum panggilan pertama jatuh tempo/18 Februari 2016) Terdakwa dipanggil lagi untuk diperiksa dalam perkara tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagaimana dimaksud Pasal 44 ayat (1) UU NO. 23 Tahun 2004 UNTUK HADIR PADA TANGGAL 18 FEBRUARI 2016.
pada tanggal 10 Mei 2016 yang dipanggil untuk hadir diperiksa sebagai AHLI oleh Kapolsek Kelapa Gading adalah Dr Djaja Surya Atmaja SpF PhD SH DFM NAMUN YANG HADIR UNTUK DIPERIKSA ADALAH DR HENRY RONO RUSTAN yang diperiksa di RS Gading Pluit.
Pada tanggal 11 Mei 2016 DR HENRY RONO RUSTAN diperiksa serta disumpah sebagai AHLI KEDOKTERAN, padahal dr Henry Rono Rustan adalah Dokter Umum Pemeriksa di IGD Rumah Sakit Gading Pluit.
Pada tanggal 10 Mei 2016 Terdakwa ditangkap berdasarkan PASAL 18 ayat (2) KUHAP (TERTANGKAP TANGAN), padahal pasal 1 ayat (19) KUHAP menyatakan “Tertangkap Tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana.”
Pada tanggal 11 Mei 2016 Terdakwa ditahan karena diduga keras telah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) UU NO 23 Tahun 2004 Tentang PDKRT.
Sejak tanggal 11 Mei 2016 patut diduga keras Terdakwa telah ditahan dengan cara merekayasa dengan mempergunakan pasal 44 ayat (1) UU NO. 23 Tahun 2004 untuk melegitimasi/justifikasi penahanan karena pada kenyataan laporan tanggal 8 Oktober 2015 tentang penganiayaan ringan pasal 352 KUHP dan Visum Et Repertum menyatakan dalam kesimpulan CIDERA TERSEBUT TIDAK MENIMBULKAN PENYAKIT ATAU HALANGAN DALAM MENJALANKAN PEKERJAAN JABATAN/PENCAHARIAN.
Terdakwa TIDAK PERNAH melakukan kekerasan fisik kepada Korban, sebagaimana Laporan Polisi tanggal 25 Oktober 2015 yang diatur dalam pasal 44 ayat (1) UU RI NO. 23 Tahun 2004 tetapi terdakwa telah ditahan sejak 11 MEI 2016 berdasarkan laporan tersebut.
Apa yang didakwakan tidak Terbukti secara hukum menurut petunjuk dari keterangan saksi, ahli dan surat dari uraian diatas, maka Terdawalah yang sebenarnya menjadi KORBAN dalam perkara ini, pungkas Ombun Suryono Sidauruk mengakhiri pledoi.
Diluar sidang Ombun menegakkan bahwa mengajukan pledoi ini bukanlah asal bunyi tetapi didasarkan fakta fakta dan bukti yang terungkap dipersidangan dan telah membuktikan bahwa klien kami tidak terbukti melakukan KDRT kepada istrinya Winda Olysia Panjaitan. Karena menurutnya, pada dasarnya kasus ini bukanlah masalah tetapi dibuat menjadi bermasalah. Itu faktanya! pungkasnya.
“Kami juga mengungkapkan kesalahan, seperti Surat dakwaan JPU pada saat sidang pembacaan surat dakwaan disebutkan terdakwa didakwa PRIMAIR melanggar Pasal 44 ayat (1), Subsidair Pasal 44 ayat (4) UU RI NO 35 Tahun 2004 tentang Perubahan atas undang – undang Nomor 28 Tahun 2003 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2004. “.
Ombun juga menunjukkan bukti lain bau busuk yang menguap, yakni; Bahwa pada tanggal 25 Oktober 2015 Kapolsek Kelapa Gading membuat Surat Perintah tugas NOMOR: Sp. Gas/552/X/X/2015 Sek. Gading serta Surat Perintah Penyidikan NOMOR: Sp.Dik/552/X/2015/SEK. GADING untuk melakukan tugas serta penyidikan Tindak Pidana KDRT sebagaimana dimaksud Pasal 44 ayat 1 UU NO. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang berbunyi “Dana kampanye digunakan oleh Pasangan Calon, yang teknis pelaksanaannya dilakukan oleh Tim Kampanye”. “ Inilah Kesalahan demi kesalahan yang dibuat kedua institusi penegak hukum kita. Inilah orderan/pesanan/ yang disampaikan rekan saya tadi. tukas Ombun. thomson g









(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

[rss_custom_reader]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *