NATUNA, HR – Soal Transmigrasi, Presiden RI pertama, Ir Soekarno, pernah dengan lantang mengatakan.
“Maka soal transmigrasi adalah soal mati-hidup kita. Oleh karena itu , aku setuju sekali bahwa musyawarah ini membuat transmigrasi itu satu persoalan nasional. Bukan soal kecil-kecil Saudara-Saudara, tapi soal nasional, “.
Ha tersebut diutarakan Presiden RI pertama, dengam panggilan Bung Karno, dalam acara Musyawarah Gerakan Transmigrasi di Istora Senayan, 28 Desember 1964 silam, bertepatan 14 tahun program transmigrasi dimulai.
Akan tetapi, seiring bergantinya kepemimpinan dan kebijakan, dalam beberapa kasus program transmigrasi gagal meningkatkan taraf hidup transmigran. Salah satu faktornya, proyeksi pengembangan daerah tujuan transmigrasi belum jelas arahnya.
Masalah ini pun terjadi di Kabupaten Natuna, tahun 1995 silam ratusan keluarga dari Pulau Jawa, di berangkatkan ke Kepulauan Natuna, saat itu Natuna masih menjadi bagian dari Kabupaten Kepulauan Riau.
Dengan “janji manis” dibawah rezim Presiden ke 2 RI, Soeharto, transmigran “diimingi” lahan dan dipekerjakan pada Perusahaan pengolah komoditas kelapa sawit yang diberi izin pemerintah dengan pola perkebunan PIR-TRANS KKPA.
Kini sudah 23 tahun lamanya, sejak 1995 hingga 2018, dari semula para transmigran hanya keluarga kecil, hingga sudah memiliki cucu dan cicit. Namun tetap saja, hasil perkebunan sawit di Kecamatan Bunguran Batubi, tak juga dirasakan hasilnya.
Kini pepohonan kelapa sawit dibiarkan berdiri gagah, menjadi ikon resmi ” kegagalan” Program Transmigrasi di Kecamatan Batubi.
Sebagai gantinya, warga Transmigran mulai berharap dari hasil pertanian dan perkebunan.
“Andai saja kalau proyek sawit benar-benar berjalan, sekarang masyarakat transmigran batubi pasti hidupnya lega,” ujar Sarbini, salah satu transmigran di Desa Gunung Puteri, Kecamatan Bunguran Batubi, Natuna.
Mbah Bini, panggilan akrabnya ditemui HR minggu (11/11) sore, tengah duduk di teras rumah. menikmati secangkir kopi, melepas lelah usai mencari rumput untuk pakan ternak. Pria kelahiran Ponorogo, 61 tahun silam tersebut yang juga ikut transmigrasi, katanya sedang menekuni diri sebagai petani padi. Usaha yang dilakukannya, tak lepas dari sulitnya hidup di tanah transmigrasi.
Melihat pria dan wanita sudah berusia senja, namun masih bekerja di sawah dan ladang, menjadi pemandangan biasa di wilayah transmigrasi ini.
” Ya kalau ga kerja begini, ga bisa hidup disini, ” tutur Mbah Bini.
Ia bercerita, bertani di Batubi tak semudah di Pulau Jawa, apalagi tanah di kecamatan yang belum lama terbentuk ini, kurang subur dan perlu kesabaran untuk mengolahnya menjadi lahan produktif.
“Kondisi tanah dan iklim disini (natuna), kan ga sama dengan di jawa. Wong tanam kangkung aja bisa ga jadi,” cetus Mbah Bini.
Masalahnya bukan itu saja, Mbah Bini dan petani lainnya, mengaku kesulitan dalam membeli pupuk tanaman. Jika menggunakan modal sendiri, hasil panen hanya cukup menutup modal, selebihnya untuk konsumsi pribadi.
“Karena lahan tak produktif, dari 1 hektar sawah, menghasilkan 2 ton gabah kering, itu masih rugi, belum dihitung tanaga orang nyangkul, ” terang Mbah Bini coba mengkalkulasi.
Dirinya pun berharap, pemerintah kembali menyalurkan pupuk subsidi dan bibit unggul. Bukan secara terus menerus, cukup hingga lahan tani di batubi, sudah produktif untuk digarap mandiri.
Selain pupuk dan bibit, tenaga penyuluh pertanian juga sangat diperlukan, untuk memberikan pengetahuan kepada petani.
Mbah Bini pun berkeyakinan, jika petani berwawasan dan lahan sudah produktif, kebutuhan pangan untuk masyarakat ranai akan terpenuhi . Bahkan, tak menutup kemungkinan kebutuhan di Natuna juga tercukupi.
“Hanya saja, perlu komitmen dari Pemerintah Daerah Natuna, untuk memprioritaskan hasil panen lokal sebagai konsumsi masyarakat. Sehingga hasil panen yang melimpah nantinya tidak menimbulkan masalah baru, karena tidak tahu harus dipasarkan kemana, ” harap Mbah Bini.
Dibalik masalah yang dihadapi, Mbah Bini juga menyelipkan rasa syukurnya. Berkat penguatan Pertahanan dan Keamanan di Natuna, yang dibarengi dengan Transmigrasi Prajurit ke Natuna, hasil panen masyarakat seperti sayuran, buah dan beras tidak ada yang mubazir lagi.
“Dulu sebelum banyak TNI, saat panen melimpah, harga murah, itupun terbuang-buang karena ga ada pembeli, ” kenang Mbah Bini.
Meninggalkan tanah kelahiran, dan pergi ke tanah rantau, memang sudah dipikirkan secara matang oleh para transmigran. Berharap mendapati kehidupan yang lebih baik dari sisi ekonomi, menjadi alasan utama mereka tinggalkan sanak saudara di kampung halaman.
Namun, hidup tak semudah membalik telapak tangan, terperdaya janji yang tak kunjung terealisasi, hanya usaha yang bisa menyelamatkan diri.
“Semoga jeritan hati kami di dengar petinggi negeri, ” harap Mbah Bini.fian