JAKARTA, HR – Tanah yang dipersengketakan sesungguhnya bersumber hibah dari saksi H Mohamad Rawi kepada Mohamad Kalibi (terdakwa) dan saksi Siti Muthmainah. Namun dalam berkas JPU yang menghibahkan seolah H. Mohamad Rawi dan Moh Kalibi kepada Siti. Akibatnya, seolah terjadi perkeliruan. Padahal, kenyataannya tidak. Penghibahan terjadi dan berlangsung apa adanya.
Atas kekeliruan itu, tim pembela terdakwa Mohamad Kalibi, Yayat Surya Purnadi SH MH, Drs Misrad SH MH, Santuso SH MH, Indra Kasyanto SH MSi CPL, Nourwandy SH menilai surat dakwaan JPU cacat formil dan materil. Maka pembela meminta majelis hakim pimpinan Tumpanuli Marbun SH MH agar menolak dakwaan JPU tersebut pada putusan selanya. Sebaliknya, menerima seluruh eksepsi atau nota keberatan terdakwa.
Menurut pembela, jika terdakwa diadili dengan surat dakwaan yang cacat formil atau kekeliruan dalam melaksanakan hukum acara (error in procedure) maka tentulah dapat berakibat terhadap batalnya surat dakwaan itu sendiri.
Sesuai KUHAP dan juga dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI serta pendapat ahli hukum (doktrin) diisyaratkan surat dakwaan memegang peranan penting dan merupakan dasar hukum bagi hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara pidana di pengadilan.
Hakim tidak dapat menjatuhkan pidana di luar batas-batas dakwaan. Hukum acara pidana mewajibkan agar penyidik berlandaskan aturan dan peraturan, dan surat dakwaan haruslah berdasar dan bersumber dari penyidikan yang sah/lengkap, atau tidak kabur. “Seandainya dalam berkas penyidikan terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan atau bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum acara apakah surat dakwaan itu tetap dipertahankan sebagai dasar untuk mengadili terdakwa? “Jawabannya, tidak, harus dinyatakan batal demi hukum atau dinyatakan tidak dapat diterima,” ujar Yayat di Jakarta, Jum’at (4/12/2020).
Surat dakwaan yang dibuat dan disusun berdasarkan dan bersumber dari hasil pemeriksaan atau penyidikan yang cacat formil atau kekeliruan dalam melaksanakan hukum acara (eror in procedure) dan tidak sah, maka dakwaan tersebut batal demi hukum.
Menurut Pasal 1 angka 14 UU No. 8 tahun 1981 (KUHAP), tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Bukti permulaan yang cukup sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014: “Frasa “bukti permulaan, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan, permulaan yang cukup” dan bukti yang cukup adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Itu berarti untuk menjadikan seseorang menjadi tersangka minimal dua alat bukti menurut Pasal 184 KUHAP. Hal itu tidak terdapat dalam kasus ini.
Atas pertimbangan itu penasihat hukum terdakwa menyatakan sesuai dengan ketentuan pasal 143 ayat 3 surat dakwaan JPU tepat jika dikatagorikan sebagai dakwaan batal demi hukum. Oleh karena itu, Yayat meminta majelis hakim agar menjatuhkan putusan sebagai berikut: menerima dan mengabulkan seluruh eksepsi terdakwa, menyatakan peradilan pidana Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Tidak itu saja, majelis hakim diminta agar menyatakan surat dakwaan No. Reg. Perkara: PDM-225/JKTUT/2020 tanggal 09 No 2020 batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima, melepaskan terdakwa dari tahanan Kota dan membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini kepada negara. nen