Sudirman Kadir: Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi

oleh -10 Dilihat
oleh
JAKARTA, HR – Marhaenisme (Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi) memberi jalan bagi kaum marhaenis untuk menghadapi dunia yang semakin menyatu, sesuatu yang telah mengglobal, khususnya di lapangan ekonomi dan lapangan sosial. Hal ini dikatakan Sudirman Kadir, Minggu (1/1/2017) di Jakarta kepada HR.
Lebih lanjut dijelaskannya, pertama wajib dipahami terlebih dahulu, bahwa marhaenisme itu sudah menjadi paham dunia yang berjuang menuntut kesetaraan sosial-politik-ekonomi. Seluruh dunia yang menuntut terciptanya atau berlakunya kesetaraan adalah marhaenisme. Mengapa demikian. Apakah dunia tidak setara?
Kesetaraan itu bukan berarti persamaan, bukan kesederajatan atau kesamarataan. Dunia di segala lapisan dan lapangan sosial-politik-ekonomi itu dipersepsikan tidak ada persamaan, tidak ada kesederajatan dan tidak ada kesamarataan. Memang faktanya, segala aktifitas manusia di lapangan sosial-politik-ekonomi ada ketidak samaan, ketidak sederajatan dan ketidak samarataan adalah sebagai kodrati, dan sesuatu yang normal dalam kehidupan manusia, juga sebagai persepsi manusia sepanjang sejarah.
“Manusia dilahirkan berbeda, tidak ada yang sama, apakah waktu kelahirnya atau tempat dilahirkan. Di dalam semua hal yang sama, pasti ada satu faktor ketidak samaannya. Itulah ketentuan alam, ketentuan yang bersifat given tak terbantahkan. Orang yang lahir atau dilahirkan dari darah biru tidak sama dengan mereka yang lahir dari kalangan awam. Orang yang lahir atau dilahirkan dari keluarga yang berkecukupan tidak bisa menuntut sama seperti orang yang dilahirkan dari keluarga yang kekurangan, demikian juga sebaliknya. Kalau pun ada tuntutan semacam itu, keberadaannya hanya ada dalam karya sastra merupakan imajinasi seseorang atau sekelompok orang,”jelas Sudirman Kadir, adalah penggagas berdirinya Partai Kerja Rakyat Indonesia (PAKAR).

Lebih lanjut ia menguraikan, apa yang dinamakan kesetaraan ? Kesetaraan dan ketidak setaraan itu ada dalam persepsi seseorang, dan akhirnya persepsi suatu bangsa. Ketidak setaraan itu dipersepsikan orang karena latar belakang ketidak samaan, ketidak sederajatan dan ketidaksamarataan. Dari lingkungan keluarga, family, sosial dan akhirnya komunitas bangsa, persepsi ini ditanamkan oleh kesadaran. Karena ia merupaan persepsi berarti bisa diubah (dengan rekayasa) atau berubah (dengan keteladanan). Dicontohkannya, jika seseorang beraktifitas ekonomi, semakin lama semakin menumpuk materi yang diperolehnya, maka semakin kuat tertanam dalam persepsinya bahwa manusia itu tidak setara. Belum lagi, jika sistem ekonomi yang berlaku berbasiskan individualisme, maka semakin lengkaplah persepsi itu tertanam dalam kesadaran, dan akhirnya memasuki jiwanya bahwa manusia itu tidak setara. Ketidaksetaraan ini lahir dan berakumulasi dalam kesadaran manusia yang latar belakangnya berasal dari keluarga berpunya.

Lalu, bagaimana dengan manusia yang dilahirkan dari kalangan keluarga tidak berpunya? Menurutnya apabila manusia tersebut menerimanya sebagai ketentuan alam, ketentuan yang Maha Agung, lama kelamaan persepsi itu akan memasuki jiwanya bahwa manusia tidak setara. Ketidaksetaraan ini lahir dan berakumulasi dari kondisi sosialnya, kondisi lingkungan yang membesarkannya dan kondisi kehidupan dan pengalaman sehari-hari yang dipersepsikan. Kesadaran manusia-manusia tersebut adalah kesadaran yang menerima apa yang seharusnya, tanpa berpikir dan berkontemplasi, mengalir begitu saja dalam alam kesadaran manusia. Kesadaran semacam ini disebut kesadaran involutif, kesadaran yang tidak bertambah secara dialektis, kesadaran normatif yang tidak bertambah secara akumulatif. Berderet dan berjajar sedemikian rupa, tanpa ada implus serentak bahwa masih ada kesadaran yang lebih lengkap dan lebih sempurna yang diberikan oleh yang Maha Agung. “Marhaenisme memberikan alat bantu, alat untuk menganalisis, apakah kesadaran normatif dan involutif itu kodrat manusia sejak dilahirkan atau tidak. Serentak bahwa nasionalisme lah yang menyebabkan ketidaksamaan, ketidak sederajatan dan ketidak samarataan menjadi ajeg (tetap dianut) dalam diri setiap persepsi komunitas bangsa,”ungkapnya.
Nasionalisme yang merasa diri lebih tinggi dari nasionalisme lainnya, lanjutnya, adalah bangsa yang menganggap diri tidak setara dengan bangsa lainnya merupakan Nasionalisme Persepsi. Nasionalisme macam ini adalah hasil dari akumulasi kesadaran involutif dan normatif belaka. Tidak ada kelebihahnya, tidak ada keunggulannya, semua masih searah dan sejalan dengan kesadaran individu yang mengganggap diri lebih unggul dari individul lainnya. Sudirman mempertanyakan bagaimana mungkin manusia akan berlaku adil, apabila persepsinya menyatakan bahwa manusia tidak sederajat dan tidak sama ? Jelas tidak mungkin!
Diutarakannya Socio-Nasionalisme memberikan impuls kesetaraan, dan karenanya mengubah kesadaran manusia untuk berlaku adil bagi sesamanya. Untuk berbuat dan bertindak adil, persepsi manusia itu harus meletakkan tiap-tiap manusia adalah setara. Setara secara sosial-politik-ekonomi ! Socio-Nasionalisme membebaskan manusia dari perbudakan materi yang mengekang untuk berlaku adil, karena kesetaraan diukur dari persepsi persaudaraan dan kekeluargaan, dan bukan dari persepsi ketidaksetaraan. Kesetaraan sosial-politik-ekonomi adalah tujuan dan arah Sosio-Nasionalime. “Sebagai bangsa, sebagai komunitas bangsa setara dengan bangsa-bangsa lainnya. Tidak ada bangsa yang ditakdirkan (kecuali dalam persepsi) lebih unggul dari bangsa lain. Apa yang tampak di permukaan karena faktor-faktor keuletan dan ketekunan belaka, sebaliknya semua bangsa adalah setara. Setara dalam mengarungi kehidupan sosial-politik-ekonomi. Sosio-Nasionalisme memberikan makna lain daripada Nasionalime Eropah pada abad 17. Dengan Sosio-Nasionalisme, ruang dunia tidak sekadar dihuni oleh persepsi bahwa sebuah bangsa lebih unggul (tidak sederajat) dengan bangsa lainnya,”ujar Sudirman.
Apakah kesetaraan antar bangsa-bangsa itu bersifat given, sesuatu yang diberikan alam ? Ya! Namun, kesetaraan perlu diperjuangkan. Yang diberikan alam adalah persepsi, manusia dan komunitas bangsa itu mempersepsi sesuatu yang bersifat material. Apa yang dilihat, didengar dan diraba secara kasat mata, bahwa manusia tidak sama, tidak setara dan tidak samarata. Perubahan persepsi itu perlu perjuangan, dan membutuhkan keuletan dan ketekunan, suatu kesabaran yang revolusioner untuk mencapainya,”sambungnya.
Sudirman menyadari mengubah persepsi manusia tentang suatu hal itu tidak mudah, itulah yang diperjuangkan oleh Socio-Nasionalisme. Yang Maha Agung, Tuhan Yang Maha Esa memberikan persepsi, dan karena persepsi itulah manusia berinteraksi, bersosialisasi dan bergaul dengan sesamanya. Dan berharapa hendak lah dengan Socio-Nasionalisme, Indonesia sanggup dan mampu berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa lainnya. Akan tetapi apakah ini sudah realita ? ia meyakini belum! Karena apa?.
Karena bangsa Indonesia merasa rendah diri, rendah derajat, dan tidak setera dengan bangsa lainnya. Seolah, bangsa Indonesia sudah tahu, sudah meramalkan diri dan ditakdirkan Tuhan Yang Maha Esa sebagai keturunan budak di dunia.
Berikutnya Sudirman memaparkan Socio-Demokrasi adalah kesetaraan politik adalah persepsi manusia tentang kesetaraan politik dimulai dari Revolusi Perancis. Itupun baru pada tahapan kesetaraan politik antara elite bangsa dengan kaum ningrat, belum menyentuh kesetaraan politik ummat manusia. Antara mereka yang mampu dan berhasil menumpuk kapital dengan kaum bangsawan, bukan antara kaum berpunya dengan kaum yang tiada apa-apa, bukan antara kaum berpunya dengan kaum Marhaen. Adakah persepsi kesetaraan politik secara menyeluruh menjadi realita ?. Bisa dan mungkin saja.
Kesadaran manusia yang mempersepsikan kepemilikan sebagai patokan tentang hak dan kewajiban politik, tak ada bedanya dengan persepsi bahwa latar belakang kelahiran menentukan perjalanan nasib manusia. Artinya, Tuhan Yang Maha Esa tidak berlaku adil dengan takdir kelahiran manusia yang berlatar belakang keluarga tidak berpunya. Ini jelas tidak mungkin!
Ia menegaskan, jika percaya bahwa Tuhan Maha Adil, maka persepsi bahwa hidup dan kehidupan manusia ditentukan sejak kelahirannya harus ditolak! Hanya orang-orang atheis, memuja kebendaan dan menomorsatukan kapital saja yang mempersepsikan demikian. Manusia yang beriman kepada Tuhan Maha Adil niscaya menolak persepsi, bahwa nasib kehidupan manusia dikelak kemudian hari ditentukan oleh kondisi kelahirannya. “Akan tetapi acap ditemukan ditengah masyarakat, manusia yang mengaku beriman bersikap dan bertingkah laku seperti manusia atheis, memenuju kebendaan dan menomorsatukan kapital. Mengapa ini bisa terjadi? Karena apa yang dilakukannya hanya rutintas, seperti makan minum dan mandi. Meresapi makna tidak sanggup dan tidak mampu, kalau pun sanggup dan mampu hanya sampai pada tingkatan kesadaran kontradiktif, kesadaran yang terpotong-potong dan kesadaran sigmentalis,”urai pria yang punya rasa kebangsaan yang tinggi ini.
Di dalam perjalanan kesadaran manusia, biasanya diketagorikan belum beradab.
Selanjutnya Socio-Demokrasi diutarakannya berbeda dengan demokrasi, yang dilahirkan dari asas keseteraan sebagian. Kesetaraan diantara para pemilik modal dengan kaum bangsawan. Demokrasi hanya mampu mengupas kulitnya saja dari demos dan cratos, tetapi tak sanggup menukik ke dalam jantungnya demokrasi sejati. Socio-Demokrasi hendak menelanjangi demokrasi, bahwa apa yang dilakukannya hanya sebagian saja, tidak tuntas dan tidak final. Oleh karena demokrasi sekadar kesetaran diantara pemilik modal dengan kaum bangsawan, maka latar belakang kelahiran demokrasi yang warnai saling curiga diantara mereka harus diselesaikan dengan setengah plus satu. Sudirman memprediksi kesalingcurigaan itu tidak akan pernah sirna dalam manifestasi demokrasinya. Demokrasi yang dibangun diatas fondasi kesalingcurigaan, akan melahirkan persaingan, dan persaingan adalah manifestasi dari adab manusia pra sejarah. Walaupun wajah humanisme telah mampu mengubah warna kebiadaban tersebut, akan tetapi memelihara kesalingcurigaan menjadikan manusia tidak akan pernah merasa aman. Dan, perasaan aman (untuk sementara) mereka selesaikan dengan voting setengah plus satu. Demokrasi telah menjadi lingkaran setan yang tak berujung pangkal, tentang perebutan kapital dan harga diri. “Selamanya, ya selama-lamanya manusia dijajah oleh persepsinya sendiri, bahwa kesetaraan diantara mereka tak berbuah kebahagiaan, melainkan bertunas dan berdaun persaingan. Namanya saja persaingan, dapat dipastikan ada yang menang dan ada yang kalah. Kebahagiaan yang dicapai pun bersifat semu, sementara dan fatamorgana,”katanya.
Ia meyakini Socio-Demokrasi menawarkan hal yang berbeda dengan demokrasi. Berbeda nuansa dan makna. Socio-Demokrasi bukan menghitung, apakah kepuasan itu harus dicapai dengan setengah plus satu. Tidak! Socio-Demorasi menyelenggarakan musyawarah mufakat. Antara kaum tak berpunya dan kaum berpunya, antara pemilik kapital dengan kaum bangsawan, semua orang adalah satu keluarga. Menurutnya bila manusia sudah mencapai tingkatan yang lebih tinggi, mencapai tingkatan satu keluarga, maka tak ada cara yang tepat tanpa curiga mencurigai mencapai mufakat. Inilah artikulasi kesataraan dalam Socio-Demokrasi. Kesetaraan yang tidak dikemas oleh kepemilikan, kesataraan yang tidak dibungkus oleh nafsu-kapital. “Hak dan kewajiban tidak berbanding lurus dengan kepemilikan kapital. Politik tidak berbanding lurus dengan ekonomi. Itulah kehendak Socio-Demokrasi. Semua itu diperoleh dari proses yang sama, yaitu Socio-Demokrasi. Prosesnya adalah Socio-Demokrasi, hasilnya dikemas dan dimaknai oleh Socio-Demokasi. Bahwa apapun dan siapapun pilihan rakyat, pada ujungnya dan pada akhirnya harus bermuara pada Socio-Demorasi. Socio-Demokrasi, dimana demokrasi dimaknai lebih bermartabat dan lebih mulia daripada demokrasi yang searah dan sejalan dengan keutamaan kapital, modal, kepemilikan dan asal usul,”pungkas Sudirman Kadir. amigo


(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.