JAKARTA, HR – Preseden buruk terjadi lagi bagi dunia kenotarisan. Imunitas sebagai seorang notaris terabaikan dan dilanggar. Pasalnya tuduhan penggelapan sertipikiat tanah terhadap notaris terulang lagi, dikuatirkan sebagai trend menjadikan notaris sebagai pihak yang “dikorban” dalam persoalan pertanahaan. Sebelumnya notaris Theresia Pontoh (46) dijebloskan ke penjara dalam kondisi sakit atas tuduhan penggelapan sertipikat tanah dengan menggunakan Pasal 372 KUHP, pada Oktober 2014 lalu. Kasus Theresia Pontoh mencuat karena berita sekitar 500 notaris/PPAT menggeruduk Istana Negara dan Mahkamah Agung (MA) mencari keadilan.
Kali ini kasus serupa menimpa notaris Elfita Achtar,SH (49), kelahiran Bukittinggi 2 November 1968, Sumatera Barat. Dugaan adanya rekayasa dan mengkriminalisasi terhadap Elfita, yang semula dalam kasus Perdata “dipaksakan” ke ranah kasus Pidana dengan tuntutan penjara 4 tahun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam persidangan, dugaan tindakan pidana penggelapan sesuai Pasal 374 jo 372 KUHP, didakwakan kepada Notaris Elfita Akhtar, memasuki acara requisitor (penuntutan).
“Tindakan menyimpan SHGB dijadikan alasan oleh Mustafa Gani Tamin untuk melaporkan Elfita Akhtar sebagai Notaris melakukan tindakan penggelapan sertipikat milik PT Rahman Tain,” kata Sam Maulana Akbar selaku juru bicara Elfita kepada wartawan, Rabu (14/6) siang, di Kebon Kacang, Jakarta Pusat.
Terkait hal ini, Martry Gilang Rosadi SH dari Raya Law Firm selaku Kuasa Hukum Elfita Achtar akan melakukan banding. Dan akan melaporkan kasus ini ke Presiden RI, Jaksa Agung, Mahkamah Agung, Komisi Yudicial, Komisi Kejaksaan, Kemenkumham dan Kapolri. Karena ada dugaan keganjilan dalam menetapkan Elfita menjadi tersangka kasus Pidana.
Dikatakannya kasus Elfita bermula dari adanya kesepakatan jual beli terhadap aset milik PT Rahman Tamin (dalam likuidasi) berupa 4 bidang tanah di Kelurahan Tarok Dipo, Bukittinggi, Sumatera Barat.
“Pada tanggal 30 Januari 2014 pemegang saham serta wakil pemegang saham, yakni Mustafa Gani Tamin, Amar Ma’ruf, Hendarmin dan Hidayat serta tim likuidator, Mahyunis dan Akhmad Fajrin datang ke kantor Notaris Elfita Achtar di Bukittinggi dan menyerahkan 4 buah SHGB di Kelurahan Tarok Dipo Bukit Tinggi milik PT Rahman Tamin (dalam likuidasi) untuk dilakukan proses jual beli dengan PT Starvi Property Indonesia yang diwakili oleh Edi Yosfi sebagai direkturnya,” terang Martry.
Saat itu, lanjut Martry, Mustafa Gani Tamin meminta Elfita Achtar untuk membuatkan tanda terima penyerahan SHGB dengan syarat bila sampai tanggal 28 Februari 2014 tidak terjadi jual beli (transaksi), maka keempat SHGB milik PT Rahman Tamin yang bernomor 134, 135, 136 dan 137 yang masih dalam likuidasi dikembalikan ke Mustafa Gani Tamin selaku direktur PT Rahman Tamin sebagai pihak yang menyerahkan.
Saat itu Mustafa Gani Tamin berpesan pada notaris Elfita Achtar, bahwa jual beli yang diinginkan ialah secara tunai dan as/is. Untuk memenuhi persyaratan jual beli, selaku notaris, Elfita Achtar melakukan pengecekan terhadap keempat SHGB tersebut ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bukittinggi pada tanggal 21 Februari 2015. Hasilnya, BPN menyatakan bahwa kondisi tanah seperti yang tertera dalam SHGB clear and clean, sehingga bisa sudah bisa dilakukan proses jual beli.
Singkat cerita, pada 24 Fabruari 2014, likuidator PT Rahman Tamin yang masih berstatus likuidasi membuat Pengikatan Jual Beli dengan PT Starvi Property Indonesia yang diwakili Edi Yosfi selaku direkturnya. Dan menurut hukum, sebut Martry, otomatis saat itu telah terjadi jual beli. Namun proses transaksi tersebut belum selesai. Karena saat Akta Pengikatan Jual Beli dibuat dan dirancang, Elfita Achtar selaku notaris telah mengingatkan kepada likuidator selaku wakil sah PT Rahman Tamin bahwa Mustafa Gani Tamin menginginkan jual beli secara tunai as/is.
Akan tetapi likuidator tetap melakukan pengikatan jual beli dengan PT Starvi Property Indonesia dengan pembayaran secara bertahap, beralasan bahwa keinginan Mustafa Gani Tamin tersebut belum dapat dilaksanakan karena ada cagar budaya di atas tanah milik PT Rahman Tamin dan AJB belum dapat dilakukan, dan atas ketidaksesuaian pelaksanaan proses jual beli seperti keinginan Mustafa Gani Tamin tersebut. Dan nantinya likuidator yang akan menjelaskan karena itu tanggung jawab likuidator selaku wakil sah PT Rahman Tamin (likuidasi).
“Diluar dugaan pada tanggal 28 Februari 2014, Amar Ma’ruf, Miranda Tamin, dan Hendarmin selaku pemegang saham mendatangi Elfita Achta. Mereka menanyakan tentang proses jual beli terhadap aset PT Rahman Tamin (dalam likuidasi) yang di Tarok Dipo Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Selaku notaris, Elfita menjelaskan bahwa telah ada pengikatan jual beli antara likuidator PT Rahman Tamin (dalam likuidasi) dengan PT Starvi Property Indonesia sebagaimana tertuang dalam Akta Pengikatan Jual Beli No. 06, tertanggal 24 Februari 2014 yang dibuat dihadapan notaris Elfita Achtar. Pada awalnya mereka tidak setuju, tapi setelah dijelaskan kondisinya, akhirnya mereka setuju dan berpesan agar proses jual tersebut dipercepat,” jelas Martry.
Tetapi ketika Elfita akan melanjutkan proses jual beli dengan meningkatkan PJB menjadi AJB (jual beli lunas), dilakukan lagi checking terhadap keempat SHGB tersebut, ternyata suda ada blokir dari Efri Jonli terhadap keempat SHGB tersebut yang berujung gugatan perdata di Pengadilan Jakarta Selatan yang dikenal dengan Perkara Perdata No. 660/PDT.G/2014 PN Jakarta Selatan. Dan proses AJB belum dapat dilakukan sampai blokir tersebut dibuka atau dicabut,”tambahnya.
Masalah tidak berhenti sampai disitu, proses blokir terhadap keempat SHGB ternyata terus dengan dalih adanya gugatan pergantian likuidator. Dan dilanjutkan dengan adanya gugatan dari Hasti Sukarno di Pengadilan Jakarta Barat yang hingga masih dalam proses banding di Pengadilan Tinggi Jakarta. Dengan keadaan masih terblokir, sehingga proses AJB antara PT Starvi Property Indonesia dengan PT Rahman Tamin (dalam likuidasi) tidak dapat dilaksanakan sampai blokir terhadap SHGB dibuka.
Dalam keadaan sudah adanya pengikatan jual beli antara PT Rahman Tamin dengan PT Starvi Property Indonesia, Elfita Achtar selaku notaris yang membuat akta pengikatan jual beli tentu harus mengakomodir dan menjaga kepentingan pihak penjual dan pembeli dengan tetap menyimpan keempat SHGB tersebut, karena masih terikat dalam PJB yang dibuatnya. Ternyata tindakan menyimpan SHGB inilah yang dijadikan alasan Mustafa Gani Tamin melaporkan Elfita Achtar sebagai notaris telah melakukan dugaan tindakan penggelapan sertipikat PT Rahman Tamin.
Sebagai penasehat hukum Elfita, Achtar, Marty berpendapat bahwa tindakan yang dilakukan kliennya dengan masih menyimpan SHGB tersebut karena masih terikat oleh PJB yang dibuat likuidator selaku wakil sah PT Rahman Tamin, menurut hukum sudah benar dan bukan merupakan tindak pidana. Disamping kewajibannya sebagai notaris untuk tetap melanjutkan sampai pada proses jual beli (AJB), karena AJB itu belum pernah batal atau dibatalkan.
“Hal itu merupakan kewajibannya untuk menjaga kepentingan pihak penjual dan pihak pembeli sebagaimana diamanatkan Undang-udang jabatan Notaris, apalagi dalam hal ini pihak pembeli sudah melakukan pembayaran sebesar sepuluh miliar rupiah. Seharusnya pihak kepolisian arif dalam menindaklanjuti laporan Mustafa Gani Tamin tersebut,” tandas Martry, seraya mengatakan, bahwa kasus ini adalah masalah perdata murni, kenapa harus dipaksakan masuk ranah pidana.
Menurut Martry, seharusnya bila Mustafa Gani Tamin memang tidak lagi menginginkan jual beli dilanjutkan dengan PT Starvi Properti Indonesia, lembaga yang harus ditempuh adalah melalui gugatan perdata dengan meminta pembatalan jual beli dengan PT Starvi Property Indonesia dan memerintahkan notaris yang menyimpan SHGB tersebut untuk tunduk dan patuh agar mengembalikan SHGB tersebut pada PT Rahman Tamin. Bukannya melaporkan Elfita Achtar dalam dugaan tindak pidana penggelapan sertipikat.
Jika ditelaah secara komprehensif, dapat diketahui bahwa sebenarnya permasalahan ini muncul akibat adanya masalah internal dalam PT Rahman Tamin itu sendiri, yaitu adanya komunikasi yang terputus antara likuidator selaku pihak yang mewakili PT Rahman Tamin dengan para pemegang saham PT Rahman Tamin (dalam likuidasi). Dan seharusnya masalah internal pada PT Rahman Tamin diselesaikan terlebih dahulu, bukannya membawa-bawa Elfita Achtar selaku notaris yang hanya bersifat pasif dan hanya menuangkan keinginan para pihak dalam akta yang dibuatnya.
“Ini sama saja dengan melakukan kriminalisasi terhadap jabatan notaris yang merupakan pejabat publik,”tegasnya.
Kasus dugaan penggelapan sertipikat yang disematkan terhadap notaris Elfita Achtar memang telah beberapa kali digelar di Pengadilan Negeri Kota Bukittinggi. Namun jalannya persidangan itu sendiri memunculkan praduga kurang sedap, terutama terkait dugaan penggelapan yang disematkan atas diri Elfita dalam persidangan.
Bila merujuk Pasal 50 KUHP, Elfita Achtar,SH tidak bisa dipidanakan karena sedang menjalankan tugas profesi berdasarkan Undang-undang, dalam hal ini UU Jabatan Notaris. Sehingga pasal 50 KUHP, notaris menjalankan perintah Undang-undang seharusnya tidak dipidana. igo/kornel
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});