JAKARTA, HR – Tender paket Pelebaran Jembatan Parung (Jawa Barat) dan Jembatan Cirarab (Banten) dilingkungan Pelaksanaan Jalan Nasional (PJN) Metropolitan II Jakarta yang bersumber dana APBN 2017 senilai HPS Rp 5.638.798.000 diduga rekanan binaan dengan sengaja memasukan penawaran tertinggi dan dimenangkan.
Sesuai pengumuman aplikasi di LPSE Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), paket pekerjaan jembatan dimenangkan PT Telaga Pasar Kuta dengan penawaran Rp 5.469.151.000 atau hasil koreksi Rp 5.469.280.000 atau 96,99 persen.
Dari 85 peserta yang mengikuti lelang paket jembatan Parung dan Jembatan Cirarab itu, hanya empat (4) yang memasukkan surat penawaran harga (SPH). Dimana penawaran tertinggi dari PT Telaga Pasar Kuta (PT TPK) sebagai pemenang tender, yakni Rp 5.469.280.000 atau 96, 99 persen.
Sedangkan tiga peserta lainnya adalah penawar terendah yakni PT BBU senilai Rp 4.634.387.000, PT EBM dengan penawaran Rp 4.820.759.000 dan PT SASM senilai Rp 5.226.824.000. Dan bahkan dari urutan terendah sangat jauh atau selisihnya dengan penawaran pemenang, yakni sekitar Rp 834 juta.
Dan anehnya, Satker Pokja PJN Metropolitan dalam mengevaluasi peserta yang memasukkan penawaran terhadap ketiga peserta yang digugurkan dengan alasan, “pokja sepakat bahwa penawaran tidak memenuhi” seperti gugur administrasi kepada dua peserta dan satu peserta lainnya gugur teknis. Artinya, pokja menyebutkan kepada peserta yang gugur dengan kata ‘sepakat’, yang terkesan dibuat-buat terhadap penawar terendah.
Begitu pula, bahwa diduga perusahaan pemenang (PT TPK) dalam persyaratan yang diminta Satker Pokja yakni personil inti atau tenaga ahli yang sejenis pada paket Pelebaran Jembatan Parung (Jawa Barat) dan Jembatan Cirarab (Banten) sesuai didalam dokumen pengadaan, atau bahkan overlapping “pada waktu bersamaan.
Pasalnya, personil yang disampaikan dalam penawaran hanya untuk 1 (satu) paket pekerjaan yang dilelangkan. Apabila penawar mengikuti beberapa paket pekerjaan, maka personil inti dan peralatan untuk paket pekerjaan lain harus dari personil dan peralatan yang berbeda, karena seperti itulah aturan mainnya di dalam Perpres No 54/2010 dan perubahannya Perpres No 70/2012 dan Perpres No 4/2015, dan Permen PUPR No.31/PRT/M/2015 pasal 6d (3) tentang Standard dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi dan Jasa Konsultansi.
Dan diketahui, pada “waktu bersamaan” bahwa perusahaan pemenang mengerjakan paket yang juga masih dilingkungan Kementerian PUPR, yakni Paket Rehabilitasi D.I Maloso Kiri, Kab. Polewali Mandar (SNVT PJPA Pompengan – Jeneberang) dan paket Rehabilitasi Saluran Sekunder Batu Rijal D.I Batanghari Kabupaten Dharmasraya (Satker PJPA Sumatera VI Sumatera Barat) dan belum termasuk diluar instansi Kementerian PUPR yang dikerjakan oleh PT TPK.
Surat Kabar Harapan Rakyat telah mengajukan surat konfirmasi yang disampaikan kepada Kepala Satker SNVT Pelaksanaan Jalan Nasional Metropolitan II Jakarta, BBPJN BBPJN VI (DKI Jawa Barat dan Banten) pada tanggal 5 Juni 2017, bernomor: 39/HR/VI/2017, namun sampai saat ini belum ada tanggapan dari Kasatker maupun PPK atau Pokjanya, sehingga berita ini cetak.
Menanggapi hal itu, Ketua Umum Lembaga Pemantau Aparatur Negara (Lapan), Gintar Hasugian menilai, bahwa memang hasil lelang proyek Pelebaran Jembatan Parung (Jawa Barat) dan Jembatan Cirarab (Banten) telah diumumkan secara terbuka melalui situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kementerian PUPR, hal tersebut bukanlah berarti prosesnya jauh dari unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Bahwa disinyalir adanya “pengaturan” lelang dalam proyek tersebut. Indikatornya, panitia lelang memutuskan perusahaan pemenang dengan penawaran tertinggi, padahal masih ada penawar terendah. Dari empat peserta yang memasukkan penawaran, dimana perusahaan penawaran tertinggi ditetapkan sebagai pemenang yang sangat jauh selisihnya.
Pertanyaannya, kata Gintar, mengapa Satker Pokja tidak mempertimbangkan peserta pemenang urutan kesatu, kedua dan ketiga yang nilainya lebih rendah?” tanya Gintar, yang kemudian mengkritisi soal kelemahan dari proses lelang melalui online.
Menurut Gintar, publikasi pemenang lelang melalui situs tidak menjamin tender itu fair. “Proses lelang melalui website, semakin rawan. Karena jauh dari pantauan publik atas proses penentuan pemenang,” ujarnya kepada HR, belum lama ini di Jakarta.
Ditambahkannya, bahwa proses lelang di website menurut panitia sudah transparan, namun segala tidak diberi tahu proses lelang itu, seperti apa dan bagaimana dan yang terpenting, pokja atau panitia sudah merasa dipublikasi di website, agar terkesan ada transparansi. Namun itu semua adalah sebelum lelang sudah ada jagoanya untuk rekanan tertentu dengan istilah binaan, dan tinggal menuggu pengumuman lelang dan semua peserta lelang diundang untuk mengikuti prosesi, tapi dibaliknya itu semua sudah diarahkan sedemikian rupa.
Bahkan, kata Gintar, bila digabungkan dengan pernyataan Basuki Hadimuljono, sejak awal sebagai Menteri PUPR pernah menegaskan, paket di Balai yang merupakan bagian didalamnya Satker, bila mendapatkan paket harus ada uang pelicin, sehingga diduga tradisi itu belum menghilang, dan patut diduga lelang dilingkungan PJN Metropolitan II Jakarta itu dikondisikan kepada rekanan tertentu.
Untuk itu, pihaknya meminta lelang paket Pelebaran Jembatan Parung (Jawa Barat) dan Jembatan Cirarab (Banten) agar diawasi aparat terkait seperti Kejaksaan, Polri dan maupun KPK. “Ya diharapkan turun untuk mengawasi termasuk pekerjaan fisiknya dilapangan,” ujarnya. tim
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});