JAKARTA, HR – “Saya merasakan program restrukturisasi Permata justru memiskinkan saya. Restrukturisasi yang disajikan bank Permata tidak membuat saya bangkit, namun justru membuat terpuruk. Kami dikenakan bunga komersial dan denda pada saat kondisi perusahaan sedang berjuang keras untuk bangkit, akibatnya justru assetnya tersita dan bukan berkembang. Apalagi kredit kami di konversi dari Rupiah ke USD oleh bank Universal setelah terjadinya krisis moneter tahun 1998,” ungkap Rachmat Tarunadjaja Direktur Utama Mandira Prima Perkasa (PT MPP), terkait restrukturisasi Bank Permata tahun 2004 terhadap perusahaannya selaku debitur.
Rachmat mempertanyakan model restrukturisasi yang disajikan oleh bank Permata yang berakibat dilelangnya salah satu assetnya, diketahui saat bertemu dengan pihak Bank Permata yang diwakili oleh Candra Tjong dan Agus selaku divisi Special Asset Management.
“Maka dari itu saya beserta team telah mendapatkan dan terus mengumpulkan fakta serta data model restrukturisasi tersebut, apakah selaras dengan kode etik perbankan dan berbau rekayasa atau tidak,” katanya kepada media ini, Jumat (22/12/2017) di Jakarta Pusat.
Rachmat menduga setelah dilakukan investigasi dan pengkajian oleh timnya, ada salah prosedur dalam penguasaan asetnya.
“Saya ingin aset saya segera dikembalikan, masak pembayaran yang kami lakukan lebih besar dari pinjamannya, tapi masih juga ingin menyita aset kami. Dan pada putusan Kasasi No.2705 K/Pdt/2009 pihak Bank Permata dihukum untuk mengembalikan kelebihan bayar dari pihak kami sebesar 3,5 Juta US Dollar. Ini merupakan putusan yang fair, sebab antara dana yang telah dicairkan oleh pihak Bank Permata dengan angsuran pembayaran kami, jelas lebih besar angsuran pembayaran yang kami lakukan,” tandas Rachmat yang 15 tahun menderita stroke ini
Sementara itu Adhika Wishnu Prabowo, SH, selaku Kuasa Hukum Permata Bank dari Gani Djemat & Partners mengatakan, Bapak Rachmat Tarunadjaja adalah pemilik sekaligus pengurus PT Mandira Prima Perkasa yang merupakan debitur Bank Permata berdasarkan Perjanjian Kredit yang terakhir kali direstrukturisasi pada tahun 2004. Namun demikian, PT Mandira Prima Perkasa tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk mengembalikan kredit yang diterimanya tersebut hingga saat ini.
“Setelah dilakukan restrukturisasi, MPP tidak dapat memenuhi kewajibannya, sehingga Permata Bank melakukan proses eksekusi jaminan tanah dan bangunan,” katanya.
Terkait eksekusi atas tanggungan debitur, praktisi hukum Bob Hasan SH, MH mengutarakan, biasanya Pasal 6 UUHT No.4 Tahun 1999 di pakai si Kreditur sebagai senjata Pamungkas untuk pelunasan hutang.
“Padahal Undang-Undang Hak Tanggungan itu terdiri dari 31 Pasal lho.. lihat juga dong Pasal-Pasal lainnya, misalnya Pasal 14,20,26,” ujarnya.
Ia mempertanyakan, apakah ini salah satu kejahatan suatu Bank yang tersistem, ataukah hanya kejahatan yang dilakukan segelintir oknum Kreditur saja, tanpa mempedulikan Hak Asasi Manusia.
Menurutnya pengertian Restrukturisasi dalam arti luas (menurut Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia atau PAPI, revisi 2001), mencakup perubahan struktur organisasi, manajemen, operasional, sistem dan prosedur, keuangan, aset, utang, pemegang saham, legal dan sebagainya.
“Restrukturisasi Kredit menurut PBI (Peraturan Bank Indonesia) adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya pada Bank. Restrukturisasi dapat dilakukan dalam berbagai cara, serta dapat dilakukan pada saat kredit belum termasuk kriteria Non Performing Loan,” jelas Bob yang juga Ketum Advokasi Rakyat Untuk Nusantara.
“Restrukturisasi kredit bertujuan untuk penyelamatan kredit sekaligus menyelamatkan usaha debitur agar kembali sehat. Restrukturisasi kredit dapat dilakukan apabila Bank mempunyai keyakinan bahwa debitur masih mempunyai prospek usaha yang baik, dan mampu memenuhi kewajibannya setelah kreditnya direstrukturisasi,” tambah aktivis hukum juga Ketum GPAN (Generasi Peduli Anti Narkoba). tim
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});