JAKARTA, HR – Memang perlu direnungi ada sekalimat kata bijak “Katakan yang benar, bila itu benar. Dan katakan yang salah bila itu adalah salah”. Kata bijak ini patut direnungi bagi mereka yang selalu menyampaikan kebohongan berulang ulang dan disampaikan kemana-mana, sehingga kebohongan itu dianggap benar. Apalagi tidak mengetahui kronologis dan masalah substansi sebenarnya.
Sepertinya hal ini yang terjadi dalam kasus Pulau Pari. Opini yang dikembang oleh pihak -pihak yang tidak tahu atau tidak mau tahu bagaimana sebenarnya status tanah Pulau Pari tersebut. Mirisnya atasnama masyarakat yang mengklaim sebagai ahli waris tanah tersebut. Bahkan mempropaganda dengan membuat opini seakan ada yang terzholimi. Padahal dia yang zholim.
“Kalau mereka punya HAK tempuh jalur hukum bukan opini. Ia bahas saja digunakan opini, memposisikan didzolimi padahal mereka dzolim. Mereka menempati tanah tidak pernah bayar PBB, diajak kerjasama, kok malah membuat opini yang tidak benar, dengan dalih memperjuangkan hak rakyat dengan mengangkangi hak orang lain. Apa ini sifat kesatria para pahlawan kesiangan?” tandas Endang Sofyan, selaku penasehat dan juru bicara PT Bumi Pari Asri, awal pekan ini.
Adanya pihak yang membuat kisruh di Pulau Pari. Padahal akan dilakukan privatisasi yang menguntungkan banyak pihak, menjadi keprihatinan bekas warga asli Pulau Pari yang tanahnya telah dijual. “Kasihan warga pulau pari yang dijerumuskan dalam masalah hukum, yang mereka tidak mengenal hukum, sehingga berani melawan RT, Lurah, Camat, Bupati dan aparat. Sehingga ada yang terkena masalah hukum. Saya meyakini warga Pulau Pari tidak seperti itu. Menuntut hak padahal bukan haknya, hanya karena digiring dengan opini,” ungkap Mashud, seorang ahli waris yang telah menjual tanahnya, belum lama ini.
“Ya, bila LBH dan Walhi seperti itu, membela tidak punya bukti keakuratan, berarti mau menjerumuskan. Nyatanya sudah ada yang ditahan melalui keputusan pengadilan, bahwa mereka bersalah. Mereka pada posisi yang lemah, karena tidak memiliki bukti kepemilikan apa pun. Hanya mengandalkan kronologis yang sudah dipelintir oleh sebagian orang untuk kepentingan pribadi dan kelompok,” ujar Mashud.
Jika mereka mengaku ahli waris yang telah turun-temurun, dipertanyakan oleh Slamet yang benar asli keturunan ahli waris tanah Pulau Pari dari kakeknya yang bernama Harun Arrasyid, yang mengakui tanah yang dimiliki konsorsium PT Bumi Pari Asri (dulu Bumi Raya) dibeli dari masyarakat pemilik asli tanah di Pulau Pari di tahun 1990-an. Dan saat itu masyarakat yang berkeinginan menjualnya.
“Saya asli punya leluhur di Pulau Pari, kakek saya bernama Harun Arrasyid asli pemilik tanah saat itu. Mereka yang mengaku hanya pendatang-pendatang yang numpang hidup di Pulau Pari, berawal dari masa jayanya hasil rumput laut di Pulau Pari. Mereka hanya mengaku-mengaku tanah nenek moyangnya, tetapi ketika diminta menuliskan silsilah keturunan, tidak ada hubungannya dengan kepemilikan lahan di Pulau Pari,” bebernya kepada HR, akhir pekan ini.

“Ada hal lain yang menggelitik buat saya, mereka selalu menggembar-gemborkan bahwa mereka sudah mendiami Pulau Pari selama empat generasi. Oke saya minta bukti silsilah keturunan nasab mereka. Paling hanya 1 atau 2 orang saja, itupun saya yakin betul tidak sampai 4 generasi, karena asumsi saya bahwa saat ini saya saja adalah cucu dari pemilik tanah. Artinya saya generasi ketiga (mulai dari kakek, bapak, kemudian saya) yang saat ini usia saya hampir 1/2 abad. Jadi pertanyaan besarnya yang harus dijawab adalah siapa generasi pertama mereka? Apakah benar merupakan pemilik lahan di Pulau Pari? Seberapa luaskah lahan yang dimiliki?” sambung Slamet.
Slamet meyakini selebihnya (mayoritas) adalah penumpang gelap alias pendatang yang entah dari mana mengaku-ngaku sebagai pewaris tanah. “Contoh kongkret adalah Edi Priadi, berdasarkan hasil investigasi saya, orang ini lahir di Jambi, istrinya lahir di Jawa Timur. So…, yang mana nenek moyang, yang katanya punya tanah di Pulau Pari? Tunjukkan kepada saya bukti-bukti dari pengakuan mereka! So…, It’s something wrong! Ada sesuatu yang salah dalam cara berfikir sebagian masyarakat Pulau Pari,” paparnya.
Ia berharap masih bisa diselesaikan tanpa harus masuk ke ranah hukum. Karena kasihan masyarakat Pulau Pari hanya akan jadi korban. “Cukup Pak Edi saja yang terlanjur dikasuskan, yang lain klo bisa jangan,” pintanya.
“Pesan saya kepada pihak-pihak yang memperkeruh situasi, janganlah warga Pulau Pari dijadikan korban untuk tujuan-tujuan tertentu. Saat ini mereka berhasil memprovokasi warga bahwa tanah Pulau Pari adalah tanah tidak bertuan. Sehingga mereka tergiur untuk mendapatkan tanah gratisan. Sangat tidak masuk akal pemerintah akan membagikan-bagikan tanah di Pulau Pari secara cuma-cuma. Kata siapa tanah tidak bertuan? Kalau mau sombong, saya salah satu tuan tanah di Pulau Pari, sebelum dijual kapada PT Bumiraya,” tegas Slamet.
Ditanya tentang Sulaeman alias Khatur apakah termasuk ahli waris, baik Pak Slamet maupun Pak Mashud tidak mengenalnya, dan tahu namanya juga baru-baru kemarin. Keduanya meyakini Kathur adalah termasuk warga pendatang bukan asli keturunan leluhur Pulau Pari, namun sudah ber-KTP Pulau Pari.
Nama Sulaeman alias Kathur menurut warga di Pulau Pari, katanya memiliki 7 homestay, mulai mencuat memasuki tahun 2017, setelah dirinya dipilih menjadi Ketua RT 04 Pulau Pari. Pria ini lahir di Palembang, Sumsel adalah pendatang ke Pulau Pari sekitar tahun 1997. Tanahnya di Pulau Pari sudah dibeli oleh perseorangan yang tergabung dalam konsorsium PT. Bumi Pari Asri. Terindikasi gencar membentuk opini dan memprovokasi bahwa warga Pulau Pari akan digusur oleh PT Bumi Pari Asri. Tetapi faktanya dari beberapa kesepakatan tidak ada penggusuran, yang ada kerjasama yang saling menguntungkan. Bahkan akan membawa manfaat bagi warga.
Status tanah Pulau Pari
Perlu diketahui kepemilikan hak tanah di Pulau Pari oleh konsorsium Bumi Pari Asri (dulu Bumi Raya) sudah sesuai dengan proses dan ketentuan yang berlaku. Masyarakat asli dan pemilik sah tanah Pulau Pari di tahun 1990 berniat menjual tanahnya. Maka sejak tahun 1990 konsorsium melakukan jual beli lahan memiliki hak tanah lewat proses mekanisme jual-beli tanah yang dikukuhkan dengan Akte PPAT/Camat Kepulauan Seribu dari masyarakat.
Saat itu penduduk Pulau Pari yang tanahnya dijual hanya bersifat menumpang. Maka masyarakat mengajukan permintaan untuk dipindahkan ke Pulau Tidung, dengan mengharapkan imbalan rumah dan tanah secara gratis di Pulau Tidung. Berdasarkan permintaan itu, maka disediakan anggaran sebesar Rp1.300.000 per KK untuk membangun sendiri rumah di Pulau Tidung dengan luas tanah hibah sekitar 200 m2, dan juga diberikan uang pengganti pohon produktif masyarakat,” ungkap Endang Sofyan.
Endang menjelaskan, kemudian tahun 1995 pemindahan masyarakat Pulau Pari ke Pulau Tidung dimulai di Kampung Baru Pulau Tidung yang telah dikavling dan dibangun fasilitas sosial. Akan tetapi di tahun 1998 masyarakat yang telah dipindah ke Pulau Tidung mulai kembali lagi ke Pulau Pari. Hal itu diakibatkan, yang katanya akibat krisis moneter, dimana BBM dan biaya hidup sangat mahal saat itu. Dan tahun 2008, masyarakat mengajukan instalasi listrik ke PLN, tapi tidak disetujui PLN, karena lahan yang dipakai adalah milik PT Bumi Pari Asri.
“Akhirnya masyarakat pada 1 Juni 2008 diketahui RT/RW, Lurah dan Camat Pulau Pari membuat surat pernyataan, bahwa masyarakat benar telah menempati tanah milik PT Bumi Pari Asri, dan bersedia segera meninggalkan tanah yang dipergunakan tersebut tanpa tuntutan dalam bentuk apapun, apabila tanah yang ditempati tersebut akan dimanfaatkan oleh PT Bumi Pari Asri,” paparnya.

Sudah dijualnya tanah oleh masyarakat asli Pulau Pari, dibenarkan oleh Pak Slamet. Dikatakan dia, awalnya lahan di Pulau Pari sebagian besar pemiliknya adalah warga Pulau Tidung, Pulau Panggang, dan lainnya, yang pada saat itu Pulau Pari masih termasuk Kelurahan Pulau Tidung. “Yang menjual jumlah pastinya saya kurang tahu, yang jelas penjualan waktu itu bertahap, tidak sekaligus, dan masih ada beberapa orang yang belum sempat menjual tanahnya, anatara lain Mat Lebar dan ada 1 atau 2 orang lagi. Perusahaan juga mengakui bahwa ada tanah-tanah yang belum dibeli. Kalau penjualan tanah waktu itu kepada perorangan yang kemudian tergabung dalam perusahaan PT. Bumi Pari Asri. Intinya tanah yang ada di Pulau Pari sebagian besar sudah dijual kepada PT. Bumiraya waktu itu,” ujarnya.
Yang jelas tanah Pulau Pari dulunya sudah dijual. Dan pemilik aslinya orang Pulo Tidung. Sekarang yang mengaku pemilik mendirikan bangunan tanpa izin pemilik, dan mereka tidak ada hubungan waris dengan pihak penjual awal,” timpal Mashud.
Slamet menceritakan, yang jelas ketika saya kecil, orang tua saya seringkali mengajak saya memanen hasil kelapa (Ngunduh) buah kelapa di Pulau Pari, dan setiap tahun bayar pajak yang pada waktu itu disebut Ireda/Ipeda, luasnya 14.000m2. “Itu yang saya sering lihat di surat Pajaknya,” ujarnya.
Menurutnya, asal mula pendatang di Pulau Pari karena pada waktu dulu sering orang luar datang menumpang dan meminta minta izin kepada orang tuanya menumpang mendirikan gubuk untuk rumah tinggal mereka sementara sambil ikut menjaga kebon jangan sampe buahnya dipetik orang.
Seiring dengan berjalannya waktu, banyak pendatang yang membuat gubuk sementara di lahan-lahan Pulau Pari. “Saya tidak punya kepentingan apa-apa. Hanya ingin meluruskan dan merasa prihatin. Karena ternyata ada juga tanah leluhur yang sudah dijual oleh orang-orang yang sama sekali tidak ada hubungan dengan pemilik lahan yang dulu dan sekarang. Ternyata para ahli waris yang lainpun berpendapat sama dengan saya. Hanya mereka tidak pernah dimintakan bantuannya untuk klarifikasi dan diikut sertakan dalam menyelesaikan permasalahan tanah Pulau Pari,” terangnya.
Lebih lanjut Slamet mengutarakan, ketidak mengertian ada tuntutan tentang pembagian 50%, 40% dan 10%. Apakah mereka tidak mengerti atau mau mengerti, bahwa tanah yang mereka diami saat ini adalah milik orang lain. Bagaimana bisa tahu bahwa itu 40% dari berapa luasnya? Karena kalau setiap kali ada pengukuran lahan selalu dihalangi warga. Bahkan ketika perusahaan mau melakukan pengukuran seberapa luas lahan yang belum dibeli, juga dihalangi.
“Ini aneh menurut saya. Kalau tidak ada yang memprovokasi warga dengan dalih setiap kali ada pengukuran selalu dihembuskan akan digusur, diintimidasi. Ini lebih aneh lagi bahkan mungkin bin ajaib, jika tanah seluas 40% dari yang dimiliki perusahaan itu harus dihibahkan kepada pemerintah, kemudian diserahkan kepada warga, tanpa ada prosedur dan proses peralihan yang harus dilakukan. Ini hukum apa yang digunakan? Di zaman sekarang ini, buang hajat saja harus bayar. Ini masalah tanah, yang sebagian orang beranggapan lebih mahal dari emas. Mau didapat dengan cara gratis atau kalau kata orang Malaysia “percuma”. Logika berfikirnya dimana?” ucapnya.
Masih ada hal yang belum bisa diterima logika saya, kalau sudah mendiami lahan sekian tahun, maka lahan tersebut bisa menjadi hak milik yang mendiami, karena dianggap lahan terlantar atau lahan tidur. Kalau lahannya ada di pedalaman Kalimantan atau Papua saya masih bisa terima. Lah, ini di Pulau Pari yang notabene masih bagian dari ibu kota negara, kok dibilang tanah diterlantarkan, padahal pajaknya tiap tahun dibayar,” ujar Slamet.
Pak Slamet yang paham tentang ketentuan hak atas barang menjelaskan, perlu diketahui cara atau sebab memperoleh sebuah benda itu secara hukum dan ketentuan, yaitu Beli, Warisan, Hibah atau pemberian. Maka diluar dari 3 cara tersebut adalah Ilegal atau melanggar hukum.
Kalau diperoleh dengan cara membeli, maka keabsahan atau legalitas kepemilikannya Akte Jual Beli yamg kemudian diatasnya ada sertipikat. Kalau diperoleh dari waris, maka keabsahan kepemilikannya disebut Akte Hak Bersama atas sebidang tanah selanjutnya bisa ditingkatkan menjadi sertipikat. Kalau diperoleh dengan cara pemberian atau hibah, maka bukti kepemilikannya berbentuk Akte Hibah.
Dan hibah ini pun harus ada sebabnya. Contoh karena seseorang berstatus anak angkat, maka dia tidak berhak mendapatkan hak warisan, tetapi boleh orang tua angkatnya menghibahkan tanah atau benda lainnya, tetapi tidak boleh lebih dari sepertiga (jika merujuk kepada hukum Islam) atau seorang boss menghibahkan tanah kepada seorang karyawannya, karena si karyawan prestasi atau jasa-jasanya, atau karena rasa kasihan/iba. “Kemudian minta dihibahkan kepada warga. Istimewa sekali warga di sana, yah! Bagaimana dengan masyarakat lain yang tinggal di daerah lain?” tuturnya. igo/nel
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
Post Views: 114
[rss_custom_reader]