Oleh: Bungas T. Fernando Duling *)
JAKARTA, HR – Perang Strategi telah menjadi situasi faktual paska berakhirnya Perang Dingin pada tahun 1991. Proxy War menempatkan perang dingin menjadi tidak berujung pada perang konvensional antara Uni Soviet dan Amerika Serikat (AS). Menjadi catatan penting bahwa proxy war di Amerika Latin dan Asia Tenggara di era perang dingin telah menjadi cikal bakal perang berkelanjutan di era pasca runtuhnya Uni Soviet.
Alur Perang Dingin Sebagai Cikal Bakal Perang Strategy (Duling)
Perang Grand Design AS cs versus RRC cs adalah bentuk nyata dari Perang Strategi. Menjadi babak baru terhitung pasca Yeltsin dan George W Bush tergelorakan di tahun 2000-an. Dimulai keberhasilan konsolidasi Rusia pasca Boris Yeltsin, penguasa-penguasa Rusia maju melesat secara cepat dengan stratagi baru Rusia. Mereka mengambil pelajaran dari badai krisis ekonomi 1998 dan dari serangan-serangan atas nama demokrasi dan hak asasi manusia.
Keberhasilan kebangkitan Rusia dan manuver-manuver yang dilakukannya telah menghantarkan perubahan geopolitik dan geostrategi, dalam arti peran penting Rusia menghadapkan RRC dan AS. Hal ini menempatkan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia menjadi strategis, sehingga mendorong Blok Barat yang dimotori AS memperketat kekuasaan wilayahnya di Pasifik Basin.
Di sela-sela situasi ini, sebagian Eropa dalam MEE/Uni Eropa, diantaranya Jerman dan Prancis, merintis jalan “bersekutu” dengan Rusia. Membuat AS terpaksa menahan diri untuk berperilaku sebagai “polisi dunia” atau akan menghadapi konsekuensi Afganistan, Kasmir dan Irak Besar akan turut “bersekutu” dalam manuver Rusia. Palestina dan Israel harus cepat-cepat didamaikan oleh AS Cs dan ini membuka peluang bagi etnis kurdi untuk muncul kembali selaku faktor penentu stabilitas di Timur Tengah dan Asia kecil.
Gejala-gejala konjungtur ekonomi dalam perdagangan bebas serta globalisasi menjadi “pelemahan” nyata bagi manuver Rusia dan tentu berdampak pada RRC. Hal ini menuju pelemahan beberapa sektor ekonomi yang berkaitan dengan teknologi tinggi, sehingga sektor Energi, Pangan dan Air sebagai bahan dasar alami menjadi lebih strategis dan menjadikan Asia sebagai wilayah strategis dalam Perang Grand Design AS cs versus RRC cs.
Maka weltanschauung mesti diperlebar sebagai faktor baru/security factor dalam konsep pertahanan negara-negara barat untuk mengantisipasi ancaman yang timbul pasca Rusia, dan proses disintegrasi di daratan China. Arus pengungsi dan operasi bandit-bandit Internasional yang memiliki senjata nuklir sangat menghawatirkan pemimpin-pemimpin militer negara-negara barat.
Fakta-fakta yang telah menyertai situasi di atas menjadi faktor objektif dan subjektif bergesernya “konflik” Timur Tengah ke Asia Kecil menuju Samudra Pasifik dan Samudra Hindia dengan istilah bergesernya Perang darat menuju Perang Laut.
Rasanya ini “menjadi” alasan teori potensial Vietnam mengambil jalan untuk tidak berspekulasi dan avonturisasi Rusia-RRC, jalan netral terhadap move Rusia yang dibungkus dengan semangat nasionalisme Vietnam telah menghantarkan Vietnam “mendekati” koordinasi Asia Tenggara.
Faktor Spratly
Kepulauan Spratly adalah hasil nyata sikap Vietnam terhadap “klaim” RRC di Laut Cina Selatan. Sikap ini mendorong RRC dan AS berlomba untuk melunakkan Vietnam. RRC pernah memberikan bantuan yang sangat menguntungkan bagi Vietnam di tahun 2005. Presiden AS Goege W Bush pada tahun 2006 mengunjungi Vietnam dan di tahun yang sama, pada bulan Desember, Lembaga bikameral Amerika Serikat mengesahkan status hubungan perdagangan normal abadi (PNTR) untuk Vietnam.
Sikap nasionalisme dan ketahanan nasional terhadap isu Spratly telah menempatkan Vietnam menjadi salah satu Pemain Kunci di kawasan Asia Tenggara, selain Indonesia, dengan didukung oleh kekayaan sumber daya alaminya (Pangan, energy dan air). Sikap dan langkah Vietnam dalam isu-isu Laut Cina Selatan lahir dari kemampuan Vietnam dalam memahami letak strategis Laut Cina Selatan bagi kepentingan RRC dan AS. Spratly dan Terusan Kra adalah ‘bom waktu’ Laut Cina Selatan dan Samudra Hindia, pada saat semua mata dunia terfokus kepada Amerika Latin dengan pertumbuhan Brazil, Timur Tengah dengan konflik Palastina-Israel, Terorisme dan Bajak Laut Selat Malaka.
Kemandirian bersikap telah menempatkan Vietnam menjadi anggota TPP (Trans Pan Pasific) yang paling menonjol. Dari 12 negara anggota TPP, Vietnam merupakan negara yang paling optimal memperoleh manfaat ekonomi. Misalnya, seacar luas memperoleh akses ekspor tekstil dan garmen ke pasar AS. Dalam perjanjian TPP dan Uni Eropa, Vietnam menjadi favorit tujuan investasi, di saat RRC yang menurun akibat meningkatnya upah tenaga kerja (2015). Di dalam ASEAN, Vietnam menjadi salah satu negara yang berkeberatan diberlakukannya percepatan MEA dari 2020 menjadi 2015.
Tahun 2016 adalah momen penting bagi kawasan Laut Cina Selatan dimana klaim RRC terhadap Laut Cina Selatan ditolak oleh pengadilan abritase internasional. Dalam tahun yang sama Donald Trump memenangkan Pilpres AS, dan tak lama kemudian TPP berada dalam kondisi ditinggalkan AS akibat kebijakan Proteksionis yang diterapkan Donald Trump.
Vietnam yang secara ekonomi menuai manfaat besar dari TPP akan terpengaruh (secara negatif) dengan keluarnya AS. Pada waktu yang bersamaan, pilihan proteksionis AS berhadapan dengan semakin masifnya RRC mewujudkan jalur sutra modern, walau sedikit terhambat akibat putusan arbitrase di atas.
Di tahun 2016 Vietnam ditunjuk menjadi tuan rumah dan sebagai ketua KTT APEC 2017. Pada tahun 2017, Indonesia menjadi tuan rumah KTT IORA dan juga sebagai ketua KTT IORA. Di tahun yang sama, dunia dikejutkan oleh peristiwa Rohingya dan Referendum Kurdi serta ketegangan AS dan Korea Utara. Maka dapat dipastikan ada hal yang strategis dalam pertemuan-pertemuan KTT APEC di Vietnam, yang disepakati sebagai Deklarasi Da Nang.
Indonesia dan Vietnam secara teori potensial tentunya menjadi “Juru Kunci” dalam pertemuan KTT APEC. Ini bila melihat kesamaan pandangan keduanya dalam isu UMKM pada Deklarasi Da Nang.
Juga kesamaan situasi masa depan seperti isu terusan kra dan Spratly LCS. Selanjutnya kita dapat melihat wajah baru Indonesia-Vietnam dalam menuju 2020.
Dalam “Perang Grand Design” yang mirip seperti Perang Modern, Perang Asimetris, Proxy War dan Invisible Hand, maka menuju Global Free Trade Area di tahun 2020, RRC dan AS dipastikan akan melobi Singapura, Hongkong, Taiwan, Thailand, Filipina, Malaysia (via Inggris), Australia (sudah terbukti manuver Timor-Timur), Selandia Baru, Irian-Timur, Negara-negara Eropa Barat, dan Rusia. RRC melibatkan para Hoa Kiau di seluruh dunia termasuk Hoa Kiau yang hidup di negara-negara AS, Kanada, Amerika Latin, Eropa, Asia Tenggara, khususnya Indonesia. AS melibatkan negara-negara kapitalis kaya yang masih menjadi satelitnya. ***
*) Penulis adalah Sekjen ARUN, dan Pemerhati Geopolitik
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});