JAKARTA, HR – Hari ini, Senin (29/5) Sidang lanjutan perkara megakorupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan enam saksi. Salah satu yang menarik perhatian adalah Andi Agustinus alias Andi Narogong (AN).
Lima saksi lainnya, Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh, ketua panitia pemeriksa dan penerima pengadaan Ruddy Indrato Raden, PNS Kemendagri Bambang Supriyanto, PNS Kemendagri Kusmihardi, dan PNS Kemendagri Sukoco.
Andi merupakan tersangka ketiga di kasus e-KTP setelah Irman (I) dan Sugiharto (S). Irman dan Sugiharto kini telah berstatus terdakwa. Dalam dakwaan Irman dan Sugiharto dan sepanjang jalannya persidangan, Andi disebut-sebut cukup aktif di proyek e-KTP senilai Rp 5,6 triliun tersebut.
Jelang memasuki persidangan Tipikor, beberapa hari lalu Andi Narogong (AN) mengungkapkan merasa dijadikan tempat cuci tangan terdakwa Irman. Pasalnya, dalam persidangan perkara korupsi e-KTP, tertera di surat dakwaan terdakwa I dan S, disebut AA dan atau alias AN dianggap ‘otak’ mengatur proses perencanaan dan anggaran.
AN notabene pengusaha muda, lulusan SMP dituding mengatur Menteri GF serta menteri AM, para petinggi Depdagri dan Depkeu, bahkan ditambah kepada anggota wakil rakyat, hampir semua fraksi pula.
Mengulas kembali ‘flash back’ proyek pengadaan e-KTP pada tahun 2011/2012, adalah prioritas Pemerintah saat itu, dalam ranah Kemendagri RI era Presiden SBY kala itu. Proyek andalan dan prioritas utama untukk perbaikan data administrasi kependudukan saat itu ditangani Gamawan Fauzi, selaku Mendagri.
Sejalan dengan projek ambisius itu, KPK mengendus ikhwal adanya ‘mark up’ luar biasa, sebagaimana disebut dalam surat dakwan, dana projek itu dijadikan bancakan. Pasalnya, disinyalir elite politik dalam lingkaran tersebut dianggap berupaya meluluskan anggaran projek e-KTP, sekalian menentukan konsorsium PNRI sebagai pemenang lelangnya. Namun dakwah persidangan, dengan fakta yang diutarakan AN.
AN memaparkan dari awal upayanya merintis usaha “mati-matian” semenjak tahun 1995, dimulai dari alat listrik, garmen, atribut partai maupun kampanye, dan karoseri. Perolehan sub pekerjaan ‘cawe-cawe’an pihak pemenang tender di instansi Polri / TNI / Pemerintahan maupun swasta, diputar kembali, baik dalam bentuk transaksi jual beli valuta asing, serta tanah/bangunan.
AN lebih mengandalkan mencari pekerjaan dengan mendatangi langsung instansi atau perusahaan yang dikabarkan memburuhkan barang. Itupun pekerjaan bukan sebagai pemenang tender, melainkan sebagai sub kontraktor dari pemenang lelang agar mereka tidak kewalahan menangani penyediaan barang yang ditenderkan.
Dalam kesaksiannya dalam sidang di Tipikor hari ini, Andi memberkan awalnya terlibat proyek e-KTP, AN mengutarakan mendengar kabar di Depdagri mengadakan tender pengadaan e-KTP pada 2010. Dirinya mendatangi Sekjen Kemendagri, Diah Anggraeni yang mengatakan proyek pengadaan e-KTP tidak ada di Sekjen Depdagri, namun di Ditjen Adminduk Depdagri. Kemudian AN mencoba menemui Irwan (I) di kantornya untuk mencari informasi lelang e-KTP.
Saudara I di saat itu menyampaikan untuk ikut tender harus tergabung dalam Konsorsium, dan menyarankan AN bergabung ke pemenang Uji Petik e-KTP, yakni PT Karatama, Kepunyaan Winata Cahyadi, dan menurut I akan dimenangkan. Setelah beberapa kali bertemu, ternyata PT Karatama menegaskan tidak akan mengajak AN, karena sudah punya kesepakatan dengan perusahaan lain untuk membentuk konsorsium sendiri.
AN sendiri kemudian mencari pemenang di uji petik e-KTP, yakni PNRI. Gayung pun bersambut, PNRI bersedia menjajaki kemungkinan mengikutkannya dalam konsorsiuim PNRI, hinggalah terbentuk konsorsoum PNRI, PT. LEN, PT Quadra, PT Sucofindo, dan PT Sandipala. Bergabungnya perusahaan-perusahaan itu ke Konsorsium PNRI umumnya dikarenakan PNRI sudah memiliki jaringan luas dan mengenal serta dikenal perusahaan perusahaan itu, mengingat PNRI adalah pemenang kedua uji petik e-KTP.
PT Sandipala, kata AN merupakan perusahaan kepunyaan Paulus Tanos (P)T, yang pernah secara kebetulan saat berkunjung ke kantor I, dan dikenalkan dengan PT, dan dalam kesempatan itu pula lah, I mengatakan PT adalah ‘orangnya’ Menteri Gamawan Fauzi (GF).
Selanjutnya AN saat bertemu I berkata bahwa PT sempat mengatakan mempunyai dana siap sebesar 1 triliun mendanai pekerjaan e-KTP, dan akan bergabung dengan PNRI. Lalu setelah bertemu dengan Dirut PNRI, Isnu Edhi Wijaya, akhirnya PT Sandipala kepunyaaan PT diterima bergabung dengan PNRI.
AN menyampaikan bahwa dalam satu kesempatan, sekitar akhir tahun 2010 atau awal tahun 2011, PT pernah mengajaknya bertemu di salah satu Coffe Shop, lantai 8 Hotel Ritz Carlton. Dalam kesempatan itulah dia dikenalkan oleh PT pada seseorang bernama Asmin Aulia (AA), yang dikatakan sebagai adiknya Mendagri GF.
Dan pernah juga dia disuruh ke rumah PT, sekitar jam 7 malam, disitulah sudah ada AA, lalu datang I dan S. AA sempat mengatakan bahwa I akan dia jadikan Dirjen Adminduk, dan S diangkat menjadi Direktur. AN hanya menjadi ‘pendengar’ saat pertemuan tersebut, tanpa tahu maksud PT mengundangnya ke pertemuan tersebut.
Menurut AN, dalam pertemuan inilah peristiwa yang paling penting ‘DIGALI KPK’ untuk mengetahui siapa sebenarnya yang punya peran paling besar dalam proyek e-KTP ini.
Dalam konsorsium PNRI, memang tidak ada nama perusahaan AN. Sebenarnya, AN hendak mengikutsertakan CV Wijaya Kusuma yang dirinya sudah merubahnya menjadi PT. Wijaya Kusuma, agar masuk ke dalam Konsorsium PNRI. Namun berhubung perusahaan baru, maka gagal dan tidak memperoleh bagian konsorsium PNRI, dan hanya bisa berharap mendapatkan pekerjaan dari para anggota konsorsium.
Untuk menarik simpati PNRI, AN menyediakan tempat rapat di Ruko Fatmawati, maupun tempat lainnya untuk keperluan konsorsium, termasuk akomodasi yang diperlukan tim teknis, sampai selesainya pekerjaan mengintegrasikan SIAK dengan L-1.
AN menegaskan bahwa tidak ada jaminan pasti konsorsium PNRI bakal memenangkan lelang e-KTP tersebut termasuk konsorsium lainnya, lalu ia menambahkan bahwa terdakwa I sempat pernah meminta untuk membantu keuangannya, selalu disanggupi olehnya dengan uangnya sendiri diambil dari Pabrik Garmen miliknya, Yakni (1) Februari 2011,sebesar 500.000 US Dollar, dan 400.000 US Doillar (2) .Maret 2011 sebesar 400.00 US Dollar, dan (3) April 2011 sebesar 200.000 US Dollar. Dengan tujuan agar siapapun Konsorsium yang akan keluar sebagai pemenang nantinya, AN akan dibantu oleh terdakwa I untuk mendapatkan pekerjaan.
Kemudian, pada tahun 2011, dalam satu kesempatan setelah pengumuman 8 besar konsorsium yang lolos Prakualifikasi, terdakwa I melalui terdakwa S, memanggil AN ke Ruko Galaxy. Disitulah AN dikenalkan dengan orang bernama Didik dari PT Optima, perwakilan dari konsorsium Mega Global Jaya, sekaligus keponakannya I.
Disaat itulah S bilang bahwa I mengatakan akan memenangkan konsorsium Mega Globa Jaya dalam lelang proyek eKTP, dan I meminta AN menjadi subkon Mega Global Jaya nantinya, serta dilarang untuk memberitahukan hal itu pada PT. Tanpa pertimbangan apapun. Tapi AN tetap memberitahukan perkataan terdakwa I pada PT, yang akhirnya mengadu pada AA adik Menteri GF, selanjutnya AN maupun PT dipanggil AA di sebuah restoran Jepang di Hotel Hyatt. Di tempat tersebut sudah menunggu AA, I, dan S. Lalu AN ‘dimaki-maki’ karena membocorkan omongoan I pada PT, bahkan sampai ‘lempar piring’ yang ada di meja mereka bertemu.
Dengan kejadian itulah, AN merasa yakin bahwa orang-orang di restoran Jepang itulah sebenarnya yang berkuasa dalam kaitannya dengan proses pengadaan proyek e-KTP. Bukan dirinya, AN juga semakin yakin bahwa memang tidak ada jaminan pasti bahwa konsorsium PNRI bakal keluar sebagai pemenangnya, sebagaimana dakwaan KPK.
Namun, nyatanya berkata lain, pemenangnya adalah konsorsium PNRI, kemenangan yang tidak diinginkan oleh terdakwa I. Salah satu faktornya adalah konsorsium Mega Global Jaya ditimpa kemalangan, terjadi kecelakaan pesawat/heli yang disupplai oleh Mega Global Jaya, yang selanjutnya ramai diperbincangkan, lalu MGJ gagal dan tidak lulus evalusasi teknis pengujian perangkat (POC/Proof Of Concept).
Terdakwa I sempat menyuruh Konsorsium PNRI untuk membagi pekerjaan e-KTP yang dimenanginya pada seluruh peserta konsorsium yang kalah, namun hal itu tidak dituruti oleh PNRI, hingga I marah dan mempersulit PNRI dalam menjalankan pekerjaan, diantaranya dengan cara tidak meluluskan permintaan Down Payment (DP) untuk pelaksanaan pekerjaan.
Walau pemenangnya konsorsium PNRI, tapi AN ternyata tidak memperoleh bagian pekerjaan sama sekali sebagai sub kon dari anggota konsorsium PNRI, meski sudah mencoba mendapatkan dari PT. Quadra namun gagal, karena dia hanya bisa menyediakan kebutuhan dana sekitar 35 miliar rupiah dari total 200 miliar rupiah yang dibutuhkan PT.Quadra
Dirinya merasa bersalah serta menyesal telah memberi uang pada pejabat negara untuk keperluan mendapatkan pekerjaan sub-kon.
“Ada kekeliruan sangat fatal, bila orang menganggap dirinya adalah otak dan mengatur mark up dana projek e-KTP,” tandas Andi Narogong.
Apalagi tuduhan dirinya pernah membagikan uang, totalnya hampir sampai ratusan miliar pada menteri GF, menteri Agus, para petinggi Depdagri, para petinggi Depkeu, maupun anggota DPR. Menurut AN, ia hanya memenuhi permintaan uang dari terdakwa Irman itu, yang totalnya sekitar kurang lebih miliar rupiah.
Dirinya merasa dijadikan ‘Kambing Hitam’ dalam proyek e-KTP ini, pekerjaan tidak didapat, uangnya pun melayang tidak dikembalikan oleh Irman. Bahkan uang dalam rekening- rekening bank serta properti tanah dan bangunan yang diperoleh AN dari kumulasi usahanya selama puluhan tahun dijalaninya, disita KPK.
Kini dirinya hanya bisa pasrah mengikuti proses penegakkan hukum dengan harapan akan muncul kebenaran dan keadilan.
“Kebenaran maupun keadilan tidak pernah muncul jika ditunggu, harus diperjuangkan dengan mengatakan yang sebenarnya di persidangan,” tuturnya. igo
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});