JAKARTA, HR – Sejarah baru dalam perkara tindak pidana korupsi Indonesia, bahwa seorang terdakwa tidak ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) dan kerugian keuangan negara dikembalikan kepada terdakwa.
Suradi SH SSos MHum |
Hal ini dilakukan Ketua Majelis Hakim Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Suradi SH didampingi Hakim Anggota Sutarjo, SH dan Joko Subagyo, SH didampingi Suswanti, SH atas terdakwa Ir Ali Patta DP MM, Rabu (24/2).
Atas Putusan tersebut LSM-Aliansi Pemerhati Pengguna Anggaran (ALPPA) melaporkan hakim tersebut ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan laporan No. 010/LSM-ALPPA/III/2016.Jkt. Laporan itu juga sebagai extra banding atas upaya hukum banding yang akan dilakukan Kejaksaan Negeri Jakarta Utara terhadap Putusan No.125/Pid.Sus/Tpk/2015/PN.Jkt.Pst.
Direktur Eksekutif LSM-ALPPA, Thom Gultom, mengatakan, bahwa putusan pengembalian uang kerugian negara kepada terdakwa adalah putusan yang keliru. Menurutnya, bahwa majelis hakim tipikor Suradi, SH sudah mencederai rasa keadilan masyarakat dalam mencari keadilan dalam pengembalian kerugian negara kepada terdakwa.
Sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia terkait penanganan kasus tindak pidana korupsi, tidak ada sejarah atau yurisprudensi mengenai putusan pengadilan tipikor yang menyebutkan uang kerugian keuangan negara dikembalikan kepada terdakwa. Malahan masih ditambahkan lagi undang-undang yang memberatkan dengan dakwaan Pasal dari UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Bahkan lebih dari itu masih ada lagi wacana pasal-pasal pemiskinan bagi terpidana korupsi.
Suradi SH, Sutarjo SH dan Joko Subagyo SH sebagai hakim tipikor seharus lebih professional dan memahami betul bahwa tindak pidana korupsi bukanlah tindak pidana biasa, tetapi adalah tindak pidana luar biasa (extraordinary crime) yang sudah menjadi musuh dunia.
Mengadili perkara korupsi tidaklah sesederhana memeriksa perkara umum biasa. Karena itu hakim dituntut profesionalitas, totalitas sebagai penyelenggara negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab sebagai Aparatur Sipil Negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan melalui putusan yang dibuatnya berperan sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
LSM-ALPPA Melaporkan Hakim Tipikor Suradi, SH., S.Sos., MH (Hakim Ketua), Sutarjo, SH, MH (Hakim Anggota), Joko Subagyo, SH, MT (Hakim Anggota), Suswanti, SH, MH (PP), yang memeriksa/mengadili perkara No.125/Pid.Sus/Tpk/2015/PN.Jkt.pst, Atas nama terdakwa Ir. R.M. Ali Patta DP, MM (mantan Kasudin Perumahan dan Gedung Pemkot Adm Jakarta Utara), yang telah menjatuhkan putusan 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan pidana penjara, denda Rp50 juta, subsidaer 1 (satu) bulan dan dengan mengembalikan kerugian keuangan negara sebesar Rp513.548.887, yang dititipkan terdakwa di rekening Kejaksaan Negeri Jakarta Utara.
Hakim dalam pertimbangannya, menimbang, bahwa dalam persidangan perkara ini, tidak ditemukan adanya fakta hukum yang menunjukkan bahwa terdakwa telah menerima uang dari hasil pengadaan Perbaikan Jalan Lingkungan dan Saluran di RW 010 Gg I Jalan Mangga Blok D Kelurahan Lagoa, Kecamatan Koja, Jakarta Utara dan perbaikan Jl Lingkungan dan Saluran Gg Melati Tugu VIII dan Gg Melati Tugu IX, RW 09, Tugu Utara, Koja, Jakarta Utara di Suku Dinas Perumahan dan Gedung Pemda Jakarta Utara Tahun 2013, sehingga kepada terdakwa tidak dibebani kewajiban untuk mengembalikan uang kerugian negara yang tidak pernah dinikmati terdakwa. Untuk itu, terhadap barang bukti berupa uang sebesar Rp513.548.887, majelis berpendapat agar barang bukti tersebut dikembalikan kepada terdakwa.
“Sederhana sekali kasus ini. Jika hanya begitu saja kemampuan hakim tipikor, untuk apa hakim Tipikor harus memiliki sertifikat?” ujar Thom Gultom.
Berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), disebutkan bahwa jaksa menjatuhkan tuntutan pidana kurungan selama 4 (empat) tahun dikurangi selama terdakwa dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan dan pidana denda sebesar Rp50 juta, dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayarnya, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan, dan juga uang kerugian keuangan negara sebesar Rp513.548.887, yang dititipkan terdakwa di rekening Kejaksaan Negeri Jakarta Utara; dirampas untuk negara, sebagai pengganti kerugian keuangan negara terhadap terdakwa Ir. RM. Ali Patta DP, MM, umur 54 tahun, Laki-laki, Indonesia, PNS, tinggal di Jl. Kali Baru Barat IV Rt.09/07, Kel. Kali Baru, Kec. Cilincing, Jakarta Utara; karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 UU No.31 tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidanan Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.
Dan demikian juga halnya terkait status tahanan seorang terdakwa korupsi masih belum pernah ada tahanan rutan dialihkan menjadi tahanan kota. Bahkan berita baru-baru ini membuat berang KPK ketika mendapat informasi bahwa Surya Darma Alia (mantan Menteri Agama) melakukan hubungan telepon di Rutan KPK Guntur.
“Patut dicurigai adanya ‘permainan uang’ sehingga Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan fasilitas istimewa tersebut kepada terdakwa Ir. R.M Ali Patta DP, MM,” ungkap Thom Gultom.
Menurut pendapat LSM-ALPPA bahwa pertimbangan-pertimbangan yang dibuat majelis hakim dalam perkara tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Ir. RM. Ali Patta DP, MM ini seolah-olah adalah perkara pidana umum/biasa, bukan lagi merupakan perbuatan pidana luar biasa (extraordinary crime) sebagaimana tertuang dalam UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak Pidana korupsi.
Undang-undang menegaskan; Pasal 4 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Pengembalian Kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara tidak menghapus pidana pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
LSM-ALPPA mengutip dari Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Tindak Pidana Korupsi telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga memerlukan penanganan yang luar biasa. Selain itu, upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan serta perlu didukung oleh berbagai sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya lainnya seperti peningkatan kapasitas kelembagaan serta peningkatan penegakan hukum guna menumbuh kesadaran dan sikap tindak masyarakat yang anti korupsi.
Fungsi kekuasaan kehakiman diatur dalam pasal 1 (satu) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 yang berbunyi “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara Hukum Republik Indonesia.”
Selanjutnya dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 menyebutkan “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Agar supaya putusan hakim diambil secara adil dan obyektif berdasarkan hukum, kebenaran dan keadilan, maka hakim wajib membuat pertimbangan-pertimbangan hukum yang dipergunakan untuk memutus perkaranya. Demi mencegah subyektivitas seorang hakim, maka pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 menentukan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Namun tentu saja menggali dan menemukan nilai-nilai hukum yang baik dan benar yang sesuai dengan Pancasila dan “According to the law of civilizied nations.”
Dengan mempertimbangkan nilai-nilai hukum yang baik dalam masyarakat untuk kemudian disaringnya menurut rasa keadilan dan kesadaran hukumnya sendiri, maka hakim berarti telah memutus perkara berdasarkan hukum dan rasa keadilan dalam kasus yang dihadapinya. tim