Hakim Tidak Profesional akan Dilaporkan ke KY dan MA

JAKARTA, HR – “Hakim Sadis dan tidak profesional. Dia hanya mementingkan diri sendiri, tetapi mengabaikan tanggungjawab nya,” ucap Ombun Suryono Sidauruk, SH menyebutkan Ketua Majelis Hakim Pinta Uli Beru Tarigan, SH karena sudah 8 hari sejak putusan dibacakan Selasa (16/8) tetapi sampai Selasa (23/8) surat putusan belum juga ditandatangani. Padahal, begitu Putusan selesai dibacakan, Penasehat Hukum terdakwa Johanes Aritonang langsung menyatakan banding.
Pinta Uli Tarigan
“Kita mau laporkan hakim Pinta Uli Beru Tarigan, SH ke Badan Pengawasan Hakim dan Komisi Yudisial. Dia tidak netral dalam memimpin persidangan. Dia telah melakukan pelanggaran Kode Etik Hakim,” pungkas Ombun.
Sebelumnya Pinta Uli disebutkan Hakim Sadis. Pasalnya dalam Amar putusan nya mengatakan “Tidak ditemukan hal hal yang meringankan terhadap diri terdakwa oleh karena itu harus dijatuhkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya” katanya pada Saat pembacaan putusan perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atas nama dr Johannes Aritonang, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta, Selasa (16/08/16).
Amar putusan itu kontra produktif dengan pakta persidangan, seolah olah bahwa perbuatan terdakwa dalam kasus KDRT itu sesuatu perbuatan yang sangat sadis, yang tidak dapat dimaafkan.
“Sebelum Majelis menjatuhkan putusan maka majelis akan mempertimbangkan hal hal yang memberatkan dan hal hal yang meringankan. Bahwa hal hal yang memberatkan: terdakwa membantah keras tidak mengakui perbuatannya dan berbelit-belit dalam persidangan sehingga mempersulit jalannya persidangan. Hal hal yang meringankan: bahwa kami tidak menemukan hal hal yang meringankan kan pada dirimu. Oleh karena itu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dijatuhkan hukuman maximal 4 bulan pidana penjara. Oleh karena selama ini terdakwa ditahan maka seluruh masa penahanan dipotong kepada Putusan yang dijatuhkan kepadanya dan menyatakan terdakwa tetap ditahan,” kata Pinta Uli Beru Tarigan.
Ombun Sidauruk dan Elisa Manurung
Atas putusan tersebut kuasa hukum terdakwa Advokat Revolusiner Elisa Manurung, SH langsung menyatakan sikap, banding. “Sesuai KUHAP dan KUHP kami akan menyampaikan hak kami: Bahwa benteng keadilan tidak berakhir di pengadilan Jakarta Utara ini, oleh karena itu kami akan banding dan bila perlu kasasi.” Ucapnya menegaskan pernyataannya.
Elisa menilai bahwa hakimnya tidak netral alias tendensius. “Coba, pasal yang dibuktikan oleh JPU saja hanya pasal Abal Abal tetapi Hakim mengatakan tidak ada hal hal yang meringankan, kan ga sehat itu Hakim. Kasus pembunuhan muntilasi 13 potong saja masih ada hal hal yang meringankan. Dari sini ketahuan bahwa dari awal perkara ini terkondisikan. Hakimnya akan kami laporkan ke KY dan Ketua MA,” tegas sang Advokat Revolusioner.
Coba bayangkan! Tambah Elisa: “Terdakwa seorang dokter dengan usia 27 tahun, bekerja sebagai doktervdi RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, dan sedang mengambil program studi S2 Urologi di Universitas Indonesia, terdakwa sopan di persidangan dan memberikan keterangan dengan jelas dan tegas dipersidangan. Apa yang memberatkan?” pungkas Elisa dengan heran.
Terkait terdakwa membantah dakwaan JPU tidak melakukan KDRT kepada istrinya itu bukannya berarti terdakwa membantah atas perbuatan nya, tetapi terdakwa menyatakan kejadian yang sebenarnya bahwa laporan KDRT adalah laporan palsu, tegas Elisa.
“Semoga saja Hakim itu tidak pernah mendengar ‘Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah’”, ungkap Elisa.
Intonasi kata kata Majelis yang meletup letup saat membacakan putusan terlihat seperti memuaskan pelapor tetapi itu sudah melukai Rasa keadilan masyarakat. Hakim Tidak boleh berpihak, tidak boleh menunjukan rasa antipati dipersidangan, tambah Elisa.
“Coba bayangkan, keterangan dua Saksi pakta (ibu dan bapa) terdakwa tidak masuk dalamp pertimbangkan majelis, sementara dua saksi testimoni (ibu dan bapa) korban dinyatakan yang melihat langsung penderitaan anaknya, itu yang diakui majelis, kan aneh, kalau majelis sudah punya kesimpulan sendiri hanya berdasar dakwaan, ngapain harus pake Penasehat Hukum? Hapus sajalah undang undang Advokat,” pungkas Wasekjen DPP Assosiasi Advokat Indonesia itu.
Keterangann terdakwa yang mengatakan tidak pernah melakukan kekerasan terhadap istri nya Winda Olysia dan terkait katanya ada luka memar bisa saja saat berlari di kegelapan tersandung dan jatuh, sebab karakter korban yang egois dan temperamental, memang susah dinasehati.
Terkait katanya mentalnya terganggu setelah pulang dari luar negeri itu pasti. Sebab jangankan seorang Istri yang meninggal kan suami stress, suami istri bertengkar saja bisa depresi, apalagi hal yang pertama kali dialami. Jadi kejadian didramatisir ibunya Winda.
Bagaimana mungkin baru sekali bertengkar langsung melakukan KDRT? Winda sendiri mengakui bahwa sejauh pernikahan mereka selama 3 bulan 26 hari tidak pernah disakiti terdakwa. Dan keterangan terdakwa itu didukung dua Saksi fakta yang melihat dan mendengar langsung kejadian, bahwa saksi korban sakit hati kepada mertuanya hanya masalah omongan sipele, yang bersumber dari amplop.
Dan karena ocehan korban kurang mendapat respon dari terdakwa dan malah disuruh tidur saksi korban teriak teriak “kalau begini lebih baik cerai kan aku saja, orang tuamu selalu menghina keluarga saya,” itulah sumber malapetaka. Winda seperti kata anak muda sekarang ‘baperan’ (bawa perasaan).
Selain keterangan dua saksi fakta yang mendengar teriakan korban dan melihat korban lari dari rumah bahwa korban tidak mengalami luka atau memar yang tidak dipertimbangkan Majelis juga keterangan dua saksi A-Decarge dan dua saksi ahli, yang diajukan Penasehat Hukum terdakwa.
Sementara kesaksian dua Saksi testimony dan satu saksi ahli yang tidak punya keahlian diterima seluruhnya, oleh sang hakim. thomson g



(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

[rss_custom_reader]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *