JAKARTA, HR – Sidang kasus e-KTP kembali digelar hari ini, Senin (5/6/2017). Dalam sidang ke-19 ini dengan terdakwa Irman dan sugiharto, jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan saksi ahli untuk membuat pengadaan e-KTP semakin terang.
Dari kelima saksi ahli yang rencana dihadirkan, hanya tiga aksi yang bisa hadir, yaitu Harnawan Kaeni selaku ahli bidang pengadaan barang dan jasa, Eko Fajar Nurprasetyo pakar chipset, dan Bob Hardiansah Syahbuddin.
Sidang kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP) ini banyak menyedot perhatian publik, karena diduga kuat menyeret sejumlah tokoh dan pejabat penting di negeri ini. Namun dalam persidangan, meski nama-nama “besar” disebut oleh beberapa saksi dalam persidangan, tapi tampaknya yang disasar hanya sebagai “yang dikorbankan” saja.
Andi Agustinus alias Andi Narogong seorang wiraswasta yang tamatan SMP, yang kini sebagai tersangka dituduh berperan sentral dalam pembagian uang ke sejumlah pihak. Andi disebut sebagai pengusaha rekanan Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) dalam proyek itu. Tapi dalam pengakuan Andi, perusahaannya tidak bisa ikut dalam lelang proyek e-KTP tersebut, karena dianggap tidak memenuhi syarat.
Dalam kesaksiannya, untuk terdakwa Irman dan Sugiharto, Senin (29/5), Andi mengutarakan Irman berniat menimpakan semua kesalahan dalam korupsi e-KTP ke bawahannya, yakni mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Ditjen Dukcapil Kemendagri, Sugiharto.
Menurut Andi, Irman meminta agar dia mengaku kepada penyidik KPK bahwa pemberian uang suap ke para pejabat Kemendagri dan anggota DPR atas permintaan Sugiharto. Dirinya merasa dijadikan ‘Kambing Hitam’ dalam proyek e-KTP ini, pekerjaan tidak didapat, uangnya pun melayang tidak dikembalikan oleh Irman.
“BAP-nya Pak Sugiharto saya yang buat semua, hati saya tidak terima kalau semua kesalahan dilemparkan ke Pak Sugiharto. Saya tidak rela Pak Sugiharto dimanfaatkan, jadi saya sebagai manusia biasa saja tidak ikhlas hal itu terjadi, saya katakan tadi kebenaran semua,” ungkap Andi, usai mendengar 10 butir bantahan dari Irman terhadap isi kesaksiannya di persidangan. Irman menuding Andi menutupi sejumlah fakta dan malah mengarang cerita saat bersaksi.
Andi juga bercerita Irman dalam hal ini melibatkan ponakannya Dedi Apriadi. Sebab pada Maret 2011 bertemu dengan Sugiharto dan Direktur PT Optima Infocitra Universal yang juga keponakan Irman, Dedi Apriadi. Pertemuan digelar di sebuah ruko di Ruko Galaxy di Bekasi. Dan Dedi menyampaikan kepadanya “Pak Andi, perintah Pak Irman yang akan menang adalah PT Mega Global. Pak Andi silakan meng-sub ke Pak Dedi Apriadi dari PT Optima, nanti dia akan mengatur semuanya,” kata Dedi.
Terkait kasus e-KTP ini, mantan Komisioner KPK Busyro Muqoddas saat diwawancarai menyadari akan ada banyak tekanan yang diterima KPK dari mana pun, termasuk lingkar kekuasaan saat membuka kasus yang merugikan keuangan negara tahun anggaran 2011-2012 pada Kemendagri. sebesar Rp2,3 triliun ini.
Seperti halnya mantan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, menerima aliran dana proyek KTP elektronik (e-KTP) senilai 4,5 juta dolar AS dan Rp50 juta. Dana diberikan agar proyek lancar dan tak dibatalkan.
Hal itu disampaikan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Irene Putrie, di Pengadilan Tipikor, Kamis (9/3). Dikatakannya dana 4,5 juta dolar AS diberikan dua kali pada Gamawan, yakni pada Maret 2011 oleh pengusaha Andi Narogong melalui pihak swasta dan Juni 2011 oleh Afdal Noverman sebesar 2 juta dolar AS. Dengan maksud agar pelelangan pekerjaan penerapan KTP berbasis BIK secara nasional tidak dibatalkan oleh Gamawan Fauzi,
Pada pemberian kedua yang dilakukan Andi Narogong melalui adiknya, Azmin Aulia, Juni 2011, diserahkan 2,5 juta dolar AS. Pemberian ini diduga untuk melancarkan proses penetapan pemenangan lelang. Adik Gamawan Fauzi, Azmin Aulia ini, disebut-sebut ikut berperan dalam proyek ini.
Untuk nominal Rp50 juta, didapatkan dari mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Irman yang sekarang merupakan terdakwa I. Pemberian ini dilakukan ketika saat kunjungan kerja ke luar kota.
“Diberikan kepada beberapa orang di antaranya Gamawan Fauzi seluruhnya berjumlah Rp 50 juta yang diberikan pada saat kunjungan kerja di Balikpapan, Batam, Kendari, Papua, dan Sulawesi Selatan,” ungkap Irene.
Sebenarnya, KPK sudah sejak lama memantau dugaan kasus korupsi megaproyek e-KTP, yang sejak proses tendernya diwarnai kisruh hingga ditangani Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sehingga, menurut sumber di KPK, pemantauan tersebut mulai dilakukan ketika Kejaksaan Agung memeriksa sejumlah saksi, termasuk Irman, selaku pelaksana tugas Dirjen Dukcapil kala itu, namun berujung terbitnya surat perintah penghentian penyidikan (SP3) pada tahun 2012.
Komisi anti korupsi makin serius mencermati kasus itu setelah terpidana kasus korupsi Wisma Atlet, Muhammad Nazaruddin, “bernyanyi” menyangkut permainan proyek e-KTP tersebut. Bahkan Nazaruddin pada Juli 2013 sudah menyebut sejumlah nama lain yang terlibat dalam skandal ini. Mulai para pejabat di Kementerian Dalam Negeri, hingga politisi Senayan.
Nazaruddin terang-terangan menuding Gamawan dan adiknya, Azmin Aulia, menerima fee dari proyek tersebut. ”Ada yang ditransfer, ada yang ke sekjennya (Sekretaris Jenderal Kemendagri), ada yang ke PPK (pejabat pembuat komitmen),” ungkap Nazaruddin kala itu.
Terpidana kasus suap Wisma Atlet ini pernah menyebutkan bahwa Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menerima fee yang diserahkan melalui sejumlah pejabat Kementerian Dalam Negeri.
Meski Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyangkal tuduhan itu. “Silakan cek ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, ada enggakrekaman transfer,” katanya. Gamawan juga membantah tuduhan soal keterlibatan adiknya
Demikian pula dugaan keterlibatan Ketua DPR RI Setya Novanto yang juga melibatkan ponakannya Irvanto, disebut ikut mendorong persetujuan anggaran, mendapat bagian 7 persen dalam proyek pengadaan e-KTP. Hal itu dikatakan oleh Johanes Richard Tanjaya, yang merupakan salah satu tim IT dalam konsorsium pelaksana proyek e-KTP, saat kesaksiannya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/4/2017) waktu itu.
Dan dalam dakwaan, Setya disebut menerima Rp574 miliar atau 11 persen dari total nilai kerugian negara sebesar Rp2,3 triliun. Ketua Umum Partai Golkar ini juga disebut ikut mengarahkan dan memenangkan perusahaan dalam proyek pengadaan e-KTP.
Sementara itu, Pengacara Hotma Sitompul membenarkan bahwa Ketua DPR Setya Novanto merupakan pihak ‘pemegang’ proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP). Ia mengetahuinya dari salah satu bos anggota konsorsium Paulus Tannos.
Hal ini diungkapkan Hotma saat menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi proyek e-KTP dengan terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (8/5).
Paulus Tannos sendiri sebelumnya mengaku diajak oleh pengusaha lainnya, Andi Narogong bertemu Novanto di rumahnya di Jalan Wijaya 13 Jakarta Selatan pada November 2011. Paulus menyebut, dikenalkan oleh Andi sebagai anggota konsorsium kepada Novanto.
Paulus mengaku berbincang berlangsung kurang lebih selama 15 menit masalah e-KTP. Kata dia, Novanto menanyakan apa yang sudah dikerjakan PT Sandipala dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam proyek itu.
Bahkan, ungkap Paulus, dalam pertemuan yang singkat itu, Novanto lewat Andi Narogong seolah-olah meminta bayaran kepada dirinya maupun PT Sandipala, yang mengerjakan proyek e-KTP.
“Pertemuan itu seolah-olah menunjukan kepada saya bahwa Setya Novanto mempunyai pengaruh di dalam proyek e-KTP, seolah-olah meminta komitmen (sesuatu) kepada saya atau PT Sandipala Arthaputra,”sebut Paulus.
Walaupun dalam persidangan, Setya Novanto berkilah tidak terlibat dalam kasus e-KTP. igo/nel
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});