Terkait Tender di Satker Waduk Jatigede
JAKARTA, HR – PT Wijaya Karya Tbk (Wika) memenangkan paket pembangunan Penahan Beban (Counterweight) Waduk Jatigede yang dibiayai APBN 2017 dengan nilai kontrak Rp 65.946.718.000 (97%) dari nilai perkiraan sendiri (HPS) Rp 67.950.000.000. Ada dugaan Wika menang karena ada pengaruh Dirjen SDA Kemen PUPR yang merangkap Komisaris Utama di BUMN tersebut.
Paket Pembangunan Penahan Beban (Counterweight) Waduk Jatigede di Satuan Kerja SNVT Pembangunan Waduk Jatigede, BBWS Cimanuk-Cisanggarung, Direktorat Jenderal SDA ditenderkan mulai 18 Mei 2017, dan penandatanganan kontrak antara 14 – 28 Juli 2017, diikuti oleh enam peserta yang memasukan dokumen penawaran harga. Keenam perusahaan itu yakni PT Taruna Putra Pertiwi Rp 54.681.996.000 (80 %), PT Rosa Lisca Rp 57.755.363.000 (84,9 %), PT Waskita Karya Purnama Rp 59.124.526.000 (87%), PT Haka Utama Rp 60.135.750.000 (88,5 %), PT Karuniaguna I Rp 60.716.454.000 (98,3%) dan PT Wijaya Karya Tbk senilai Rp 65.946.718.000.
BUMN tersebut tercatat sebagai penawaran tertinggi dari lima peserta lainnya, dan penawaran tersebut berpotensi sangat merugikan keuangan negara karena bersifat pemborosan. Selisih antara penawaran rendah dengan penawaran PT Wika pun sangat jauh.
Kecurigaan lainnya terlihat dari penilaian evaluasi terhadap dua peserta yang memasukan dokumen panawaran, dan dinyatakan gugur dengan keterangan “KD tidak memenuhi” serta “Tidak mencantumkan nama sub penyedia jasa lokasi setempat untuk penawaran diatas 50 m”.
Keterangan tersebut diduga telah diskenariokan agar seakan-akan benar-benar kalah akibat dokumen yang tidak lengkap. Namun, bila diteliti lebih dalam, ada dugaan pengaturan proyek yang mengarah ke Wika, dan perusahaan-perusahaan yang memasukan penawaran adalah perusahaan pendampingnya.
Fakta itu terlihat bahwa perusahaan yang digugurkan dengan keterangan “KD tidak memenuhi” ternyata tidak melampirkan KD perusahaan yang mencukupi pada saat memasukan penawarannya. Hal ini patut dipertanyakan, apakah ada unsur kesengajaan atau kebodohan pengurusnya?
Demikian juga terhadap perusahaan yang digugurkan dengan keterangan “Tidak mencantumkan nama sub penyedia jasa lokasi setempat untuk penawaran diatas 50 m”. Sehingga keterangan gugur tersebut sangat tidak masuk akal, apalagi nilai evaluasi peserta yang telah gugur juga sama, seakan-akan keduanya hanya ikut-ikutan tender dan tidak serius untuk mendapatkan kontrak kerja.
Dengan adanya dugaan scenario ini, maka muluslah langkah Wika sebagai penawar tertinggi. Celakanya, ambisi Wika terbentur dengan Peraturan Menteri PUPR No. 31/PRT/M/2015 pasal 6d (5 dan 6) tentang Standard dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi dan Jasa Konsultansi yang berlaku kepada seluruh instansi pemerintah pusat maupun daerah/kota, yakni paket pekerjaan konstruksi dengan nilai Rp 2,5 miliar sampai Rp 50 miliar dipersyaratkan hanya untuk pelaksana konstruksi dengan KUALIFIKASI USAHA MENENGAH yang memenuhi syarat Kemampuan Dasar, dan di ayat 6 juga disebutkan didalam dokumen pengadaan pemilihan harus dituangkan/dicantumkan kualifikasinya, yang artinya dicantumkan kualifikasi M1 atau M2, dan soal di pengumuman lelang hanya Non Kecil disebutkan tak soal.
Wika dinilai tidak layak mengerjakan proyek tersebut karena kualifikasi adalah Besar (B2) untuk SBU –Jasa Pelaksana Untuk Konstruksi Saluran Air, Pelabuhan, Dam dan Prasarana Sumber Daya Air lainnya (S1001), sesuai yang disyaratkan oleh pokja. Lalu mengapa Pokja dan PPK memaksakan Wika sebagai pemenang? Apakah Pokja dan PPK tidak dapat menafsirkan Peraturan Menteri PUPR No. 31/PRT/M/2015? Atau mungkin Wika menang akibat pengaruh Dirjen SDA yang juga merangkap sebagai Komisaris Utama di BUMN tersebut?
Surat Kabar Harapan Rakyat (HR) dan harapanrakyatonline.com telah mengajukan surat konfirmasi dan klarifikasi dengan Nomor: 62/HR/IX/2017 tanggal 18 September 2017 yang disampaikan kepada Kepala Satker Pembangunan Waduk Jatigede, BBWS Cimanuk-Cisanggarung, Direktorat Jenderal SDA dan tembusannya disampaikan kepada Dirjen Sumber Daya Air, namun sampai saat ini belum ada tanggapan baik dari Kasatker, PPK maupun Pokjanya.
Rawan Konflik Kepentingan
Ketua Umum Lembaga Pemantau Aparatur Negara (LSM Lapan), GR Hasugian menilai, dengan penetapan yang dimenangkan penawar tertinggi sangat merugikan negara, dan selisih dengan penawaran terendah mencapai Rp 11,2 miliar.
“Wah, itu angka yang fantastis. Kalau selisihnya itu digunakan untuk pembangunan infrastruktur lainnya, tentu makin bermanfaat. Ini termasuk penawaran gila!” ujar GR Hasugian kepada HR di Jakarta.
“Tender melalui website semakin rawan. Karena jauh dari pantuan publik atas proses penentuan pemenang. Terpenting, pokja sudah mempublish di website, agar terkesan ada transparansi, namun itu sebelum proses lelang sudah diplot siapa pemenangnya. Artinya, proses lelang itu hanya formalitas,” tegas Gintar lagi, serta mempertanyakan apakah kemenangan perusahaan plat merah itu ada pengaruhnya dengan jabatan rangkap yang diduduki Dirjen Sumber Daya Air, Imam Santoso sebagai Komisaris Utama PT Wika yang ditetapkan 17 Maret 2017 itu.
Gintar menilai, bahwa menurut Undang-undang Nomor 25 tahun 2009, pasal 17 tentang Pelayanan Publik melarang rangkap jabatan, sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah, yang mana pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.
Hal ini, jelas Gintar, sangat berpengaruh bahwa jabatan ganda Komisaris rawan konflik kepentingan.
“Pejabat publik tersebut bisa kongkalingkong dan bahkan juga main mata dengan direksi,” ujarnya.
Bahkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agus Rahardjo, pernah menegaskan, bahwa pihaknya termasuk yang tak setuju dengan rangkap jabatan pejabat pemerintah. Pasalnya, konflik kepentingan saat mereka menjalankan tugas sangat besar.
Seharusnya rangkap jabatan itu, menurut Agus, dihapuskan dan mulai dipilih orang-orang yang memiliki kemampuan serta waktu luang, sehingga bisa kerja fokus menjalankan tugasnya sebagai Komisaris BUMN.
“Harusnya tidak boleh rangkap jabatan. Dipilih orang yang full time, ahli dan menguasai masalah,” ujar Ketua KPK, namun sayangnya pemerintah belum konsisten terkait regulasi tersebut. tim
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});