Dinas PUPR Kota Bekasi Nyaman Tarik Fee Proyek?

oleh -15 Dilihat
oleh
Polri, KPK, TP4P/D dan Satgas Saber Pungli Kecolongan

BEKASI, HR – Sejak kepemimpinan Kepala Negara Megawati, SBY dan Joko Widodo, keduanya membangun system penegakkan hukum dengan menciptakan gebrakan-gebrakan hukum serta mendirikan lembaga/instansi hukum baru, serta membentuk tim khusus penegakkan hukum pada kasus-kasus tertentu.
Kadis PUPR Kota Bekasi Tri Adhianto
Era Megawati ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di era SBY dibentuk Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian. Dan di era Jokowi ada Tim Pengawalan, Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan Pusat/Daerah (TP4P/D), dan Satgas Sapu Bersih Pungutan Liar.
TP4P yang dibentuk berdasarkan Perpres No 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, dikendalikan langsung oleh Jaksa Agung, bertujuan untuk mencegah korupsi, sekaligus sebagai implementasi Inpres No 7 Tahun 2015 Tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. Keberadaan TP4P/D ingin mengubah paradigma penegakan hukum, dengan mengedepankan pencegahan.
Sedangkan Satgas Saber Pungli yang dibentuk berdasarkan Perpres No 87 Tahun 2016 Tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, yang dikendalikan langsung oleh Menko Polhukam, bertujuan untuk menindaklanjuti laporan masyarakat terkait keberadaan pungli, baik sebagai saksi maupun sebagai pelapor.
Walaupun negara telah menyiapkan agenda penegakan hukum yang dipandang super oleh masyarakat, namun masih saja kecolongan. Lembaga/instansi hukum serta satgas/tim khusus tersebut nampaknya tidak mampu masuk ke wilayah kerja Kementerian/Dinas/Sudin tertentu. Salah satunya Dinas PUPR Kota Bekasi terkesan tidak mampu disentuh oleh para pendekar penegak hukum tersebut.
Padahal, di Dinas yang dipimpin oleh Kadis Tri Adhianto itu disebut-sebut banyak transaksi pungli, terkait lelang proyek. Terdengar kabar tidak sedap, setiap rekanan/kontraktor yang ingin mendapatkan proyek, diwajibkan menyetor fee dimuka sebesar 10-15 persen dari nilai proyek yang diminati kontraktor.
Menurut kabar, fee proyek itu disetorkan ke oknum panitia Dinas, dan selanjutnya panitia di Dinas berkoordinasi dengan Pokja setempat. Karena itu, tidaklah heran banyak kontraktor yang tidak bisa “mencari makan” di Jakarta, akhirnya “lari” ke Bekasi, Bogor, Tangerang Kota, Tangerang Selatan, dan Banten.
Kabar tak sedap lainnya, panitia di Dinas PUPR juga disebut-sebut mengutip uang kontrak kepada setiap perusahaan yang telah ditetapkan sebagai pemenang. Jumlah uang kontrak yang disetorkan pun bervariasi, bila untuk proyek penunjukan langsung dikenakan antara Rp 1-2 juta rupiah per kontrak. Sedangkan untuk proyek tender, pasti kutipan uang kontraknya lebih besar lagi.
Namun, walaupun hal itu telah menjadi pemandangan sehari-hari, toh para pendekar hukum seperti KPK, Polri, TP4P/D, dan Satgas Saber Pungli, tidak mampu mengendus persoalan itu. Apakah para pendekar hukum akan diam setelah mendapat informasi ini? Kita lihat langkah para pendekar hukum negara ini. rcv/kornel


(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.