DENPASAR, HR – Sebelumnya sebanyak 254 pekerja di PLTU Celukan Bawang di Buleleng, terancam tidak mendapatkan pesangon yang ditaksir hingga Rp. 12,4 Miliar. Hal itu bermula ketika kontrak kerja antara PT. China Huadian Corporation (CHD) dan PT General Energi Bali (GEB), akan berakhir di akhir bulan September.
Kedua perusahaan itu merupakan pengelola PLTU Celukan bawang yang menaungi PT. Victory Karya Utama (VKU), yang bertugas dalam perekrutan pekerja.
Berakhirnya kontrak kerja PT CHD, otomatis juga memutus kontrak dengan para pekerja di bawah naungan PT Victory. Sebagai gantinya, pemasok tenaga kerja akan dialihkan ke PT. Garda Arta Bumindo (GAB) dan PT Garda Satya Perkasa (GSP).
Kemudian, PT GEB mengeluarkan pengumuman terbuka tertanggal 12 September 2024 dan 14 September 2024, kepada para pekerja yang menginstruksikan para pekerja untuk membuat surat pengunduran diri, dan membuat surat lamaran baru yang ditujukan pada PT GAB dan PT GSP.
Selanjutnya, sebanyak 222 pekerja telah membuat surat pengunduran diri dan surat lamaran baru. Dalam surat kontraknya, para pekerja harus sepakat untuk tidak menjadi anggota, mendukung, ataupun terlibat dalam kegiatan serikat pekerja atau organisasi sejenis.
Sisanya sebanyak 32 pekerja, masih memperjuangkan hak-haknya hingga kini. Selain itu, LD dan FM yang termasuk dalam 32 pekerja itu, dilarang memasuki Kawasan PLTU karena disinyalir telah mengadakan pergerakan dan menyebarkan form serikat pekerja.
Didampingi Perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, LD dan FM membuat laporan ke Polda Bali, pada Selasa (24/09/24). LD melaporkan IS dan IT, atas pencemaran nama baik. Sedangkan FM melaporkan IT dan DP karena dilarang memasuki kawasan PLTU dan berserikat.
Anggota LBH Bali Ignatius Radite mengatakan, PT GEB dan PT GAB, dilaporkan atas tindakan union busting. Dimana PT GEB, melarang pekerja masuk dan bergabung ke serikat pekerja.
Selain itu, dalam perjanjian kontrak dengan pekerja yang telah membuat surat lamaran baru, berisi pelarangan untuk bergabung dalam serikat pekerja dan organisasi sejenisnya.
“Pelanggaran terhadap hak berserikat adalah delik pidana. Padahal berserikat itu ruang yang dilindungi dan strategis bagi para pekerja untuk berunding,” ungkap Ignatius.
Lebih lanjut Ignatius menambahkan, para pekerja yang melamar ke PT GAB dan PT GSP, terancam diubah statusnya menjadi karyawan kontrak, untuk satu tahun hingga mengancam ketidakpastian kerja.
Kondisi tersebut bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan yang memperbolehkan pekerja tetap mengemban status karyawan tetap meskipun terdapat peralihan perusahaan.
“Perusahaan yang memaksa para pekerja untuk resign dan buat lamaran baru. Upaya-upaya intimidasi, paksaan terus dilakukan lewat desa, warga, istri keluarga dan orangtua. Dalam kondisi itu para pekerja merasa kebingungan, takut tapi juga khawatir sehingga kemudian karena ada relasi kuasa, pekerja seakan-akan tidak punya pilihan lain,” tambah Ignatius.
Mewakili LBH Bali, Ignatius berhadap Polda Bali segera menindaklanjuti laporan tersebut. Lalu meminta kepada Pemerintah daerah Provinsi Bali dan Kabupaten Buleleng melalui Pengawas Ketenagakerjaan dan Dinas Tenaga Kerja untuk menjalankan fungsi pengawasan dan penindakan terhadap praktik perburuhan yang tidak sehat oleh perusahaan di PLTU Celukan Bawang.
Sementara itu, kuasa hukum PT GEB Wira Sanjaya mengatakan, PT GEB tidak pernah melarang para pekerja mengikuti serikat buruh. PT GEB hanya melarang orang yang bukan karyawan, masuk ke kawasan PLTU Celukan Bawang.
“Kalau melarang serikat buruh itu enggak benar, tapi kalau melarang masuk benar karena mereka bukan karyawan kami lagi. Ini objek vital, dilarang masuk karena sudah diberikan waktu untuk mendaftar kembali,” ungkapnya.
Sementara saat ini Wira menjelaskan, bahwa kliennya belum mendapatkan surat panggilan dari Polda Bali terkait laporan dari pekerja tersebut. •dyra