JAKARTA, HR – Ketua Majelis Hakim IBN Oka Diputra, SH dengan Anggota Majelis Jeferson Tarigan, SH dan Parnaehan Silitonga, SH akhirnya mengabulkan permohonan penangguhan penahanan tedakwa Poltje W. Jocom Bin Simon Jacom (58) yang dituntut 1 tahun dan 6 bulan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Theodora Marpaung ,SH dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara atas dakwan melanggar Pasal 44 ayat (1) UU No23 Tahun 2004 tentang Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Rabu (19/10/16).
Permohonan penangguhan penahanan itu diajukan Penasehat Hukum Terdakwa Dominggus, SH dengan pertimbangan bahwa dua anaknya Pandhu Hans Pranata (10) dan Jasmin (8) sangat membutuhkan perlindungan dan kasih sayangnya karena ibunya (Rosita Burhan) sedang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia di Negara Taiwan.
Saat ini Jasmin diasuh oleh Bibinya (Vonny) yang merupakan adek kandung terdakwa Poltje, yang merasa kurang mampu memberikan kasih sayang seperti yang diberikan terdakwa Poltje, sebab, Jasmin suka mengigau dan menangis ingin ketemu ayahnya.
Selain itu, Vonny mengatakan bahwa dia sendiri kurang mampu melindungi Pandhu dari perbuatan orang orang yang tidak jelas motivasinya, sehingga saat ini Pandhu jauh darinya. Bahkan saat ini Pandhu sampai tidak sekolah. “Saya melihat keberadaan Pandhu ditempat penitipan, saya kasihan pakaian kumal dan seperti ngga pernah mandi. Saya meneteskan air mata,” ucap Vonny kepada majelis hakim yang disampaikan diruang sidang seusai persidangan pembacaan surat pledoi (pembelaan) dibacakan Penasehat Hukum terdakwa Dominggus, SH.
“Sampai saat ini saya masih bingung dan bertanya, apa sebenarnya motivasi pelapor? Jika seorang orang tua marah dan melakukan seperti mencubit adalah hal yang wajar jika anak itu nakal. Hal itu adalah upaya orang tua memberikan peringatan dan tanda keperdulian agar tidak mengulagi perbuatan nakalnya. Tetapi hal ini menjadi masalah dan didramatisir oleh gurunya. Padahal hasil visum juga tidak jelas, karena luka bekas jatuh karena bermain juga dibuat jaksa menjadi hal yang memberatkat,” katanya.
Penasehat Hukum terdakwa Dominggus, SH dalam surat Pledoi yang dibacakan pada persidangan Kamis (13/10/16), pada intinya memohon kepada majelis hakim agar membebaskan kliennya dari segala tututan hukum, sebagaimana dalam dakwaan dan tuntutan JPU Pasal 44 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDR), “Setiap orang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun”.
Karena sesuai dengan hasil yang terungkap dipersidangan dari keterangan saksi korban dan terdakwa dipersidangan bahwa terdakwa hanya melakukan cubitan dipaha kanan sekali dan menampar pipi sekali yang tidak mengakibatkan terhalangnya korban dalam melakukan aktifitasnya. Sehingga kesaksian tersebut telah mematahkan dakwaan JPU dalam tuntutan Pasal 44 ayat (1).
“Jikapun hakim menilai bahwa cubitan dan tamparan yang dilakukan terdakwa terhadap anaknya Pandhu maka kami selaku kuasa hukum terdakwa setuju jika terdakwa dijatuhi hukuman sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 44 ayat (4) UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT,” ungkap Dominggus.
Sesuai dengan hasil yang terungakap dipersidangan dari keterangan saksi saksi yang dihadirkan JPU dipersidangan tidaklah bersesuaian. Dimana saksi yang memberikan keterangan dipersidangan tidak melihat dan tidak mengalami sendiri peristiwa perbuatan terdakwa dan kesaksian tersebut sangat bertolak belakang dan tidak ada persesuaian keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain, sehingga tidak dapat di jadikan dasar untuk menghukum terdakwa, ujarnya.
Selain itu kata Dominggus, Terdakwa mengakui terus terang bahwa terdakwa melakukan pencubitan dipaha dan menampar di pipi, namun cubitan itu bukanlah beniat untuk menganiaya atau menyakiti tetapi hanya sebagai teguran dan memberikan peringatan agar korban Pandhu sebagai anak agar tidak mengulangi lagi telat pulang sekolah.
Sedangkan luka dibibir menurut keterangan korban dan terdakwa adalah sakit sariawan mulut, oleh karena itu keterangan saksi tidaklah menjadi bukti yang sah, tambah Dominmggus.
“JPU telah menciptakan suasana yang mencekam dan membuat seolah-olah terdakwa telah melakukan penganiayaan berat yang mengakibatkan anak Pandhu Hans Pranata mengalami siksaan berat yang mengakibatkan ketakutan dan trauma terhadap bapaknya sendiri. Padahal kenyataannya Pandhu sangat merindukan ayahtirinya. Tetapi JPU sengaja menjauhkan Pandhu dari keluarganya dengan melakukan penculikan terhadap Pandhu saat Pandhu menyaksikan pemotongan sapi kurban saat Maulit Nabi. Mana ada orang tua yang tidak pernah memarahi anaknya kalau anaknya nakal? Marah itu adalah bagaian dari bentuk kasih sayang orang tua kepada anak dalam ranggka pencegahan. Tetapi jaksa dalam hal ini mendramatisir perbuatan terdakwa karena kebetulan terdakwa seorang ayah tiri,” ucap Dominggus dalam Pledoinya. tom
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});