JAKARTA, HR – Pelaksanaan “tender ulang” paket Pembangunan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Pengembangan Kapasitas Kebinamargaan Citeureup-Bogor (Paket MK05) dilingkungan Satuan Kerja Pembinaan Penanganan Jalan, (Ditjen Bina Marga), dengan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) senilai Rp 10.367.575.000 yang bersumber APBN tahun 2016 diduga bermasalah.
Pasalnya, dengan menetapkan pemenang sebagai rekanan binaan, sedangkan perusahaan diduga dirental atau pinjam bendera? Apalagi dengan adanya unsur lelang ulang dan serta seabrak persyaratan, khususnya syarat SBU (sertifikat badan usaha) yang diminta oleh ULP Pokja (apakah Satker Pembinaan Penanganan Jalan atau Satker Manajemen Kebinamargaan?) itu sampai tiga subbidang klasifikasi yakni kode S1001, S1003 dan SP015, namun untuk penetapan pemenang sesuai pengumuman di LPSE Kementerian PUPR yakni PT Pesona Tamanindo dengan penawaran harga Rp 9.923.114.000 atau 95,7 persen, diduga tidak memenuhi semua syarat SBU tersebut.
Sesuai data atau detail diperoleh dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK-NET) yang tercatat memiliki Subbidang hanya SP015-Jasa Pelaksana Spesialis sub klasifikasi Pekerjaan Lansekap/Pertamanan (SP 015), sedangkan dua subbidang lainnya yakni S1003-Jasa Pelaksana Konstruksi Jalan Raya (kecuali jalan layang), Jalan, Rel Kereta Api, dan landasan Pacu Bandara dan S1001 untuk Jasa Pelaksana Konstruksi Saluran Air, Pelabuhan, DAM, dan Prasarana Sumber Daya Air lainnya tidak dimiliki oleh perusahan pemenang PT Pesona Tamanindo.
Penetapan pemenang PT Pesona Tamanindo untuk subbidang klasifikasi SP 015 memang dimiliki dan dengan kemampuan dasar/KD senilai Rp 32.503.000.000 atau (3PNt) yang diperoleh dari paket Pekerjaan Hardscape (A) senilai Rp 10.834.257.000 dari pemberi tugas PT Jaya Real Property Tbk tahun 2013, namun perolehan Kemampuan Dasar tersebut diragukan.
Walaupun adanya kode SP015 yang dimiliki perusahaan pemenang pada paket Pembangunan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Pengembangan Kapasitas Kebinamargaan Citeureup-Bogor (Paket MK05) sesuai kapasitas atau judul paketnya.
Namun sesuai pantauan tim Harapan Rakyat (HR) di lokasi proyek di Jalan Pahlawan, Desa Sanja, Citeureup, Bogor, bahwa proyek yang dikerjakan oleh pemborong bukan memasang taman atau Ruang Terbuka Hijau (RTH), melainkan mayoritas mengerjakan “pengaspalan jalan” dilingkungan kompleks Gudang Direktorat Teknik Kebinamargaan Ditjen Bina Marga tersebut, yang seharusnya diutamakan subbidang kode S1003 sesuai jenis pekerjaan pelaksanaan pembangunan, peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan jalan, jalan raya (kecuali jalan layang), Jalan, Rel Kereta Api, dan landasan Pacu Bandara.
Bahkan pengerjaan proyek, “pengaspalan jalan lingkungan” kompleks Gudang Direktorat Teknik Ditjen Bina Marga itu, oleh pemborong memakai alat berat bukan milik perusahan pemenang, melainkan sewa alat yang sedang beroperasi yakni PT Prayoga seperti Excavator, Buldozer, Mixer Truck, Truck Mobil dan lainnya, sehingga diduga peralatan perusahaan pemenang sangat minim dan hanya sebagai modal yaitu PT yang disewa atau dirental.
Begitu pula, diduga domisili atau kantor perusahaan pemenang PT Pesona Tamanindo dipertanyakan karena sesuai data yang tertera di LPJKNET beralamat di Jalan Ahmad Dahlan No. 6 RT. 008/009 Kel Palmerian Matraman, Jakarta Timur. Menurut informasi yang masuk ke HR, bahwa domisili yang bersangkutan merupakan “rumah hunian” bukan sebagai kantor, dan yang menetap berdomisili yang juga merupakan rumah tinggal di kawasan Jalan Margonda Raya Depok.
Surat Kabar Harapan Rakyat telah mengajukan konfirmasi dan klarifikasi yang disampaikan kepada Kepala Satker Pembinaan Penanganan Jalan (Ditjen Bina Marga), Kementerian PUPR RI dengan Nomor: 45/HR/X/2016 tanggal 17 Oktober 2016, namun sampai saat ini belum ada tanggapan hingga berita naik cetak.
Diakses, Tapi Mengunci
Ketua Umum LSM Lapan (Lembaga Pemantau Apatur Negara), Gintar Hasugian, menjelaskan kepada HR, (1/12), di Jakarta, bahwa proses lelang pada paket ini oleh Pokja Satker sengaja persyaratan diperbanyak sebagai trik permainan, dan selain dengan cara itu juga proses lelang bagi peserta yang mengikuti lelang ada istilah “mengunci” walaupun proses lelangnya terbuka seperti sudah di akses di website LPSE.
Bahkan soal syarat subbidang yang banyak diterapkan adalah untuk menjegal peserta yang lainnya yang tentu semua peserta tidak memiliki subbidang-subbidang yang dimaksud, apalagi kode SP015 yang merupakan pekerjaan spesialis untuk taman, namun praktek kerjanya dilapangan berubah yang mayoritas pekerjaan untuk peningkatan jalan.
Sebelum lelang, bahkan ‘lelang ulang’ ini, Gintar sudah diprediksi bakal siapa atau perusahaan yang menang, makanya tidak heran kalau banyak subbidang disyaratkan yang tentu untuk menjegal peserta lainnya. Ya, dengan cara itulah dan sebagai contoh salah satu persyaratan kode S1001 tidak perlu dimasukan karena tidak ada pekerjaan untuk saluran air atau drainase.
“Kalau pun ada pekerjaan-pekerjaan atau item untuk subbidang S1001 dan S1003 sebagai dipersyaratkan tidak masalah, namun disayangkan bahwa perusahan pemenang tidak memiliki kedua subbidang tersebut, lalu bagaimana? Kok gak ada subbidang bisa menang?” kata Gintar seraya menegaskan proyek ini patut dicurigai dan bila perlu layak diusut.
Tanpa papan proyek?
Mungkin karena proyeknya masuk kedalam areal Gudang Citeureup Direktorat Teknik Ditjen Bina Marga, maka masyarakat luas di sekitarnya tidak tahu-menahu adanya pekerjaan yang dibiayai oleh APBN Kementerian PUPR sebesar kurang Rp 10 miliar, sehingga pengguna anggaran atau Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA) sesukanya dengan alasan tidak ada yang melihat atau membiarkan pemborong tidak memasang papan proyek.
Sesuai pantauan HR, (30/11), dari luar (pemukiman warga-red) komplek Gudang Direktorat Teknik Ditjen Bina Marga, bahwa pihak rekanan atau kontraktor mengerjakan “peningkatan jalan” (bukan pekerjaan lansekap/pertamanan), tidak mencantumkan papan informasi proyek.
Padahal, di lokasi ada ditemukan bedengnya, yang terletak diluar kompleks Gudang, Direktorat Teknik, namun disayangkan tidak ada dipasang papan proyek. Hal ini dinilai sebagai proyek siluman atau rawan korupsi.
Padahal, fungsi papan informasi ini sebagai bentuk transparansi penggunaan keuangan negara agar masyarakat luas bisa mengetahui berapa anggaran, dan dinas mana atau kementerian mana yang memberikan pekerjaan tersebut.
Bila memang tidak ada papan proyek terpasang, itu disayangkan dan masyarakat tidak bisa turut mengontrol dalam pembangunan tersebut, padahal sekecil apapun proyek yang dikerjakan, apalagi ini sudah jelas biaya miliaran rupiah yang bersumber dari APBN itu harus memasang papan proyek.
“Tidak adanya papan proyek, jelas-jelas praktik seperti ini rawan korupsi. Ini mestinya harus jadi perhatian serius dari aparat terkait untuk mengusutnya,” kata Gintar Hasugian.
Pengerjaan proyek tanpa plang ini seolah mendapat pembiaran dari kuasa pengguna anggaran. Padahal itu bisa mempengaruhi kualitas pengerjaan proyek. Artinya, rekanan tidak mengindahkan peraturan, yakni wajib memasang papan proyek.
“Dampak tidak adanya plang proyek, warga tidak dapat mengetahui spesifikasi rincian proyek yang dikerjakan, demikian juga proyek yang dipercayakan kepada kontraktor tersebut. Sehingga dalam pengerjaannya bisa asal-asalan. Makanya, kita tidak heran masih ada proyek yang baru dikerjakan, namun sudah rusak,” katanya. tim
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});