JAKARTA, HR – Pulau Pari merupakan wisata pantai yang terletak di Kepulauan Seribu, memiliki potensi wisata cukup diandalkan. Tiga objek yang menjadi andalan Pulau Pari adalah Pantai Pasir Perawan, Dermaga Bukit Matahari, dan Pantai Pasir Kresek menjadi tujuan wisatawan lokal dan mancanegara.
Selain keindahan Pantainya dengan hamparan pasir putih yang terhampar luas, Pulau Pari memiliki kekayaan bawah laut yang mempesona. Pulau Pari juga mempunyai banyak objek wisata menarik yang dapat dikunjungi. Pulau Pari juga merupakan surga tersembunyi bagi penikmat alam. Pasir putihnya, air birunya, dan keramahan penduduknya, menjadi nilai lebih. . Pulau ini juga menjadi tempat bagi laboratorium dan tempat pelatihan LIPI Oseanografi yang terletak di ujung barat pulau. Pulau Pari, yang kini menjadi daya tarik utama wisata bahari disana. Lalu ada apa dengan Pulau Pari?
Potensi wisata Pulau Pari yang eksotik selama ini dikelola tidak maksimal dan tidak memiliki infrastruktur yang lengkap dan modren. Padahal jika dikelola dengan baik, potensi serta infrastruktur di Pulau Pari bisa manjadi destinasti wisata setara dengan wisata pantai Pulau Bali dan wisata bawah air sekelas Bunaken. Sehingga Pulau Pari Khususnya, dan Kepulauan Seribu serta pemerintah DKI Jakarta lebih dikenal lagi di mata dunia.
Pastinya meningkatnya PAD daerah dan meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar, juga menampung banyak lapangan pekerjaan bagi penduduk setempat. Serta berkembangan petumbuhan usaha dengan akan makin banyaknya masyarakat membuka usaha berbagai bidang, dengan makin banyaknya turis yang datang. Juga mendukung program pemerintah, yang mana Presiden RI, Jokowi ingin mengembangkan semua potensi Pariwisata Indonesia secara profesional dan bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat.
“Niat baik menjadi Pulau Pari sebagai tempat wisata modren. membangun infrastruktur terkait pengembangan potensi wisata di Pulau Pari ada dibenak konsersium PT Bumi Pari Asri. Maka sejak tahun 1987 telah konsersium ini memiliki lahan lewat proses mekanisme jual-beli tanah. Akan tetapi karena persiapan izin, perencanaan dan lainnya perlu waktu lama, sehingga tanah di Pulau Pari selama beberapa tahun belum dilakukan pembangunan,”ungkap Endang Sofyan, mengaku selaku penasehat dan juru bicara PT Bumi Pari Asri, ketika dikonfirmasi, Senin (13/2/2017) di kantornya, Jakarta Pusat.
Padahal, lanjut Endang, PT Bumi Pari Asri dalam kegiatannya di pulau Pari telah melakukan prosedur sesuai ketentuan undang undang yang berlaku. Dan tak ada niat mengabaikan masyarakat setempat. Ingin melalukan mediasi, merangkul dan bekerjasama untuk kemajuan membangun Pulau Pari. Masyarakat diajak bermitra untuk bisa meningkatkan taraf hidup dengan meningkatnya penghasilan mereka. Karena nantinya masyarakat setempat akan menjadi prioritas untuk kebutuhan tenaga kerja jika pembangunan pariwisata di Pulau Pari terwujud. “Akan banyak lapangan pekerjaan yang tersedia,”ujarnya.
Menurutnya selama ini perusahaan telah membayar kewajiban pajak atas tanah tersebut di Pulau Pari tersebut. Bahkan di tahun 2016 harus membayar sekitar Rp400 juta. “Atas kepatuhan membayar pajak, PT Bumi Pari Asri di tahun 2016 mendapat pengahargaan dari Bupati Pulau Seribu, Budi Utomo sebagai salah satu perusahaan yang patuh membayar pajak, sehingga termasuk perusahaan yang meningkatkan PAD,”katanya.
Saat ini, ketika PT Bumi Pari Asri akan melakukan aktifitasnya untuk pengembangan pariwisata di Pulau Pari masyarakat sekitar melakukan komplain dan penolakan dari sebagian masyarakat. Sementara sebagaian besar masyarakat yang setuju dengan mediasi yang telah dilakukan melibatkan Pemda Pulau Seribu. Warga sadar, meningkatnya industri ekowisata di pulau-pulau tetangga, seperti Tidung, bisa mereka manfaatkan untuk membantu perekonomian rumah tangga.
Ada cerita dari Pak Hasyim, seorang pegawai Dinas Perhubungan Laut yang berjaga di Rawa Saban, sebuah dermaga di utara Tangerang. “Memang tanah itu milik perusahaan. Warga yang tinggal di sana adalah, para pendatang yang dipersilakan menempati tanah kosong yang belum dikelola,”katanya.
Pada awalnya, tambahnya, penduduk menjadikan lahan pulau pari sebagai ladang pertanian, juga pulau yang ada di sekitaran pulau tersebut, seperti Tidung dan Lancang. Namun, lama-kelamaan, Pulau itu dihuni secara permanen, walaupun mereka tak memiliki sertifikat kepemilikan lahan. Mereka tak membayar pajak bumi dan bangunan. Namun ada cerita versi lain mengenai kepememilikan tanah tersebut.
Masyarakat yang menolak dan melakukan gugatan menganggap mereka telah menghuni lama dan lebih d2ahulu di pulau tersebut. Dibantu beberapa LSM termasuk Walhi dan LBH masyarakat melakukan gugatan dan tuntutan.
Mereka masih berpatokan pada Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1592 Tahun 1991. Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 1592 Tahun 1991, menjelaskan jika wilayah Pulau Pari dibagi menjadi tiga peruntukkan. Pertama ,50 persen dari luas pulau digunakan untuk pariwisata. Sedangkan seluas 40 persen pulau harus dipergunakan untuk pemukiman warga. Sisanya sebanyak 10 persen digunakan oleh Lembaga Lembaga Oseanologi Nasional, yang saat ini berubah menjadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Alasan inilah kemudian membuat beberapa warga memutuskan bertahan dari konflik dengan PT Bumi Pari Asri. Padahal, tempat tinggal dan usaha warga saat ini berada di tanah milik PT Bumi Pari Asri.
Bahkan masyarakat menilai Perusahaan pemilik izin ini memang telah mengantongi surat kepemilikan tanah Pulau Pari sekitar 90 persen. Dari sekitar 43 hektar luas Pulau Pari, 40 hektar dikuasai PT Bumi Pari Asri. Namun kepemilikan tanah itu bertentangan dengan aturan gubernur.
“Berhubung tanah ini telah dikuasasi dan sudah digarap oleh penduduk selama lebih dari 15 tahun, walaupun belum di sertifikatkan, seharusnya tidak bisa perusahaan yang baru muncul menyatakan itu miliknya dan main tuduh masyarakat menyerobot lahan milik perusahaan. Dimana masyarakat yang menggarap telah memperoleh izin RT setempat terhadap lahan yang digarap tersebut. Dan pada belasan tahun lalu ketika masyarakat memohon izin menggarap lahan tidur ini belum ada pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan ataupun yang menguasai lahan yang digarap tersebut,”kata Puput TD Putra selaku Direktur Eksekutif Walhi Jakarta dalam konfresi pers di bulan Januari 2016.
Menurut Puput kejahatan korporasi yang merampas ruang hidup dan sumber penghidupan rakyat kecil dari waktu ke waktu semakin massif terjadi di indonesia, ditambah ketidak berpihakan pemerintah dan tebang pilih hukum membuat keadilan menjadi semu untuk kalangan rakyat kecil terbukti dengan kasus yang melanda warga Pulau Pari.
Ia mencontohkan kasus Edi dan ada 3 orang warga yang mendapatkan somasi dan intimidasi dari pihak PT Bumi Pari. Dengan klaim PT Bumi Raya yang menguasai 90 % lahan yang ada di Pulau Pari. “Artinya akan terjadi kriminalisasi besar-besaran terhadap warga Pulau Pari dan penggusuran rumah-rumah penduduk di Pulau Pari. “Kriminalisasi nelayan di Pulau Pari merupakan salah satu dampak dari dibukanya investasi penguasaan terhadap pulau-pulau kecil,”sebut Puput.
Dikatakan Puput Implementasi perlindungan hak-hak nelayan masih sangat lemah walaupun sudah memiliki UU No 1 tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah dan pesisir dan pulau-pulau kecil. Dan UU Nomor 7 tahun 2016 tentang perlindungan nelayan.
Tigor selaku Kuasa Hukum/LBH Rakyat Banten menambahkan, Pak Edi tidak melakukan tindakan pidana pasal 167 ayat 1 KUHP, karena klien kami telah menempati lahan tersebut sebelum sertifikat HGB dikeluarkan. “ Justru pihak PT Bumi Pari yang kami duga melakukan penyerobotan terhadap lahan yang dikuasai pak edi. Kalaupun PT Bumi Pari keberatan atas keberadaan pak Edi di lahan tersebut maka jalur hukum yang ditempuh PT Bumi Pari adalah melakukan gugatan perdata ke pengadilan bukan melaporkan tindak pidana. Kami menilai kasus ini dipaksakan oleh aparat hingga proses pengadilan sebab ini kasus perdata,”katanya.
Terkait hal ini, Endang Sofyan dari PT Bumi Pari Sari, membantah tudingan adanya intimtidasi dan ancaman kepada masyarakat. Menurutnya pihak konsorsium tidak pernah melakukan yang meresahkan masyarakat. Yang ada selalu mengajak masyarakat untuk mediasi secara baik-baik, mencari solusi terbaik yang sama sama menguntungkan. “Mengenai Pak Edi sebelumnya telah dilakukan mediasi secara baik-baik beberapa kali. Namun tetap bersikeras mau menempuh jalur hukum, maka kami ikuti. Adanya putusan pengadilan itu sudah keputusan hukum yang kami tidak ikut campur,”tandasnya.
Intinya kita mau mediasi secara baik-baik kepada masyarakat. Jika punya bukti kepemilikan akan kami serahkan haknya. Pihak perusahaan tidak mau mengambil jika itu haknya masyarakat. PT Bumi Pari Asri akan merangkul warga. Kegiatan ini akan berdampak pada peningkatan taraf hidup warga pulau Pari. Dengan adanya kerja sama antara perusahaan dengan warga pulau Pari, maka kemungkinan besar wisata pulau Pari merupakan satu-satunya pulau ekowisata yang memiliki management. sehingga semua obyek wisata akan jauh lebih tertata dibandingkan dengan wisata pulau lain,”imbuh Endang Sofyan.
Endang juga mengaku telah beberapa kali dilakukan mediasi dan sudah mencapai kesepakatan sebagai besar masyarakat asli Pulau Asri. Namun menurutnya diduga ada oknum orang luar dan ketua RT yang menghambat jalannya mediasi. “Ada apa ?,” tanyanya, yang tidak tahu sama sekali mengapa untuk kebaikan Pulau Pari dan masyarakatnya dibuat keruh.
Upaya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Seribu memediasi warga Pulau Pari dan PT Bumi Pari Asih terkait sengketa tanah pun dilakukan. Telah beberapa kali Bupati Budi Utomo melakukan pertemuan kedua pihak untuk mediasi.
Bupati Kepulauan Seribu, Budi Utomo pernah mengatakan, mediasi yang ke-7 kalinya warga Pulau Pari maupun pihak pengembang PT Bumi Pari Asih sudah temui kata sepaka pada bulan Januari 2016, bahawa sudah bisa ditemukan solusi berupa tawaran melalui pola kemitraan dengan mengelola pariwisata Pulau Pari dan juga warga mempunyai kesempatan mendapatkan jasa kerja dari pembangunan hotel yang akan dilakukan pihak pengembang.
Dikatakan Budi saat itu, kedua solusi yang ditawarkan itu bisa diterima oleh kedua belah pihak. “Kita berharap baik warga maupun pengembang bisa berjalan bersama-sama membangun pariwisata. Solusi ini sangat tepat dan disepakati kedua bela pihak. Sehingga konsep percontohan pariwisata resort dan wisata pemukiman dapat terwujud,”ujarnya saat itu.
Bupati Kepulauan Seribu, Budi Utomo juga mengaku akan berusaha agar penggusuran tersebut tidak terjadi. Namun mereka meminta agar masyarakat tidak melakukan pembangunan di atas tanah yang bukan miliknya. Rencananya, PT Bumi Pari Asri selain membuat hotel, perusahaan ini juga akan mengembangkan pariwisata Pulau Pari. Tentunya menurut Budi, pengembangan Pulau Pari ini akan berdampak pada warga karena akan membuka lapangan pekerjaan.
Dalam mediasi di bulan Januari 2016, juga pernah ada 7 poin kesepakatan antara masyarakat asli Pulau Pari dengan PT Bumi Pari Asri , yaitu : 1.Bumi Pari Asri sebagai pemilik lahan tiak ada riset penggusuran keluar Pulau Pari terhadap masyarakar asli Pulau Pari yang telah menempati bangunan di atas tanah PT Bumi Pari Asri yang tercatat dalam surat pernyaataan yang telah ditanda tangani oleh masyarakat, kecuali yang sedang dalam proses hukum, 2.Tanah milik PT Bumi Pari Asri yang sudah ada bangunan di Pulau Pari, tetap tidak ada ekpansi/penambahan luas bangunan, dan membangun bangunan baru tanpa perijinan IMB sesuai dengan aturan Perda No.7/2010, 3.PT Bumi Pari Asri akan membangun hotel dan fasilitas pariwisata untuk menunjang perkembangan wisata di Pulau Pari, masyarakat berjanji akan mendukung dan nantinya ada homestay dan ada hotel sebagai pilihan wisatawan dan pelancong, 4.Homestay/rumah tinggal yang dibangun oleh masyarakat penduduk asli yang sudah ada sesuai Surat Pernyaaan dengan PT Bumi Pari Asri sebagai pemilik tanah akan mendukung eksitensinya dan kerjasama dengan masyarakat, yang syarat-syaratnya akan dibicarakan lebih lanjut selama masyarakat patuh, taat dan tunduk pada peraturan Pemerintah RI, 5.Harapan perusahaan bahwa Pulau Pari dibangun PT Bumi Pari Asri, sedangkan masyarakat berkomitmen /wajib mendukung pembangunan Pulau Pari oleh PT Bumi Pari Asri, 6.Pantai-pantai di Pulau Pari (Pantai Perawan, Pantai Kresek, Pantai Bintang) sebagai tempat hiburan/pariwisata dikelola oleh PT Bumi Pari Asri sebagai pemilik lahan bekerjasama dengan masyarakat Pulau Pari, didukung oleh Pemerintah Daerah dan Dinas Pariwisata, dan 7. Pembangunan hotel akan disesuaikan dengan keputusan SIPPT.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), Ujang Jabar (52) pada satu media mengutarakan punya pandangan lain tentang keresahan warga Pulau Pari saat ini. Menurut dia, mediasi telah coba dilakukan antara pemerintah, warga dan PT Bumi Pari Asri. Ada beberapa hal yang diminta warga. Salah satunya adalah meminta kepada perusahaan agar masyarakat bisa membeli lahan yang saat ini ditempati.
Dia juga mengatakan jika dirinya tak keberatan dengan kehadiran PT Bumi Pari Asri untuk mengembangkan pariwisata Pulau Pari. Berdasarkan informasi yang diterimanya, hotel tersebut rencananya akan dibangun di Pantai Pasir Perawan. Dan pihak perusahaan pun berjanji tidak akan menggusur warung milik penduduk. “Menurut PT Bumi Pari juga bukan ditutup, tetap dikelola cuman nanti masyarakatnya dirapikan tetapi pengelolaannya masyarakat, itu hasil mediasi,”tutur Ujang waktu lalu.
Namun sayang, dalam proses mediasi itu ada beberapa pihak ada yang memperkeruh suasana. Ujang mengungkapkan ada yang mencuci otak warga. Bukan tanpa sebab, kata ujang, karena warga yang kini berselisih dengan PT Bumi Pari tidak ada yang memiliki surat tanah. Tanpa ada bukti kepemilikan tanah itu, artinya warga tidak hak mengkalim memiliki tanah di Pulau Pari. igo
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});