JAKARTA, HR – Usut tuntas kasus e-KTP, usut…usut…..! demikian terdengar teriakan aksi demo di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sekitar 100 orang mengatasnamakan Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) membawa karton, salah satu bertuliskan “Pecat dan usut Setya Novanto, usut Gamawan Fauzi”, Kamis (8/6/2017) siang.
Koordinator Aksi, Marlo Sitompul dalam orasinya mengatakan di era reformasi praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) justru semakin subur di negeri ini, dengan kondisi masih banyak penduduk yang dibawah garis kemiskinan. Ironisnya pelaku korupsi dilakukan oknum pejabat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), oknum pejabat kementerian dan oknum anggota partai politik.
Seperti halnya, sebut Marlo, skandal proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP), yang merupakan salah satu buktinya. Tidak palang tanggung, uang negara yang dikorupsi mencapai Rp2,3 triliun.
“Menyikapi prilaku bejat pejabat negara, kami tergabung dalam Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) merasa prihatin terhadap kejadian ini. Dan mendesak KPK agar segera menangkap bagi koruptor, khususnya “operator” KKN di kasus e-KTP, agar tidak melarikan diri keluar negeri, atau menghilangkan barang bukti,” ujar Marlo, yang juga Ketua Umum SPRI dengan suara lantang, seraya meneriakan usut tuntas kasus e-KTP dan tangkap pelaku yang juga terduga KKN, disambut teriakan peserta aksi lainnya. (Baca: Gurita KKN Dalam Kasus E-KTP)
Dalam aksi damai itu, SPRI menggulirkan 4 tuntutan, yaitu : 1. Mendesak pengusutan korupsi e-KTP hingga tuntas, 2. KPK harus berani mendalami peran Setya Novanto, Gamawan Fauzi, Azmi Aulia dan Dedi Apriadi, 3. Membawa atau menyeret seluruh yang terlibat di dalam korupsi e-KTP ke Pengadilan Tipikor, dan 4. Mendesak KPK untuk bekerja cepat, tegas dan keras. Jika tidak bubarkan saja KPK.
Gurita KKN Skandal e-KTP
Perlu diketahui, mantan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, menerima aliran dana proyek KTP elektronik (e-KTP) senilai 4,5 juta dolar AS dan Rp50 juta. Dana diberikan agar proyek lancar dan tak dibatalkan. Hal itu disampaikan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Irene Putrie, di Pengadilan Tipikor pada Kamis (9/3/2017). Dikatakannya, dana 4,5 juta dolar AS diberikan dua kali pada Gamawan, yakni pada Maret 2011 oleh pengusaha Andi Narogong melalui pihak swasta dan Juni 2011 oleh Afdal Noverman sebesar 2 juta dolar AS. Dengan maksud agar pelelangan pekerjaan penerapan KTP berbasis BIK secara nasional tidak dibatalkan oleh Gamawan Fauzi.
Pada pemberian kedua, dilakukan Andi Narogong melalui adiknya, Azmin Aulia, Juni 2011, diserahkan 2,5 juta dolar AS. Pemberian ini diduga untuk melancarkan proses penetapan pemenang lelang. Adik Gamawan Fauzi, Azmin Aulia ini, disebut-sebut ikut berperan dalam proyek ini.
Untuk nominal Rp50 juta, didapatkan dari mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Irman yang sekarang merupakan terdakwa I. Pemberian ini dilakukan ketika saat kunjungan kerja keluar kota.
“Diberikan kepada beberapa orang diantaranya Gamawan Fauzi seluruhnya berjumlah Rp 50 juta yang diberikan pada saat kunjungan kerja di Balikpapan, Batam, Kendari, Papua, dan Sulawesi Selatan,” ungkap Irene.
Sebenarnya, KPK sudah sejak lama memantau dugaan kasus korupsi mega proyek e-KTP, yang sejak proses tendernya diwarnai kisruh hingga ditangani Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Komisi anti korupsi makin serius mencermati kasus itu, setelah terpidana kasus korupsi Wisma Atlet, Muhammad Nazaruddin “bernyanyi” menyangkut permainan proyek e-KTP tersebut. Bahkan Nazaruddin pada Juli 2013 sudah menyebut sejumlah nama lain yang terlibat dalam skandal ini. Mulai para pejabat di Kementerian Dalam Negeri, hingga politisi Senayan. Dan pernah menyebutkan bahwa Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menerima fee yang diserahkan melalui sejumlah pejabat Kementerian Dalam Negeri. Meski Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyangkal tuduhan itu.
Demikian pula dugaan keterlibatan Ketua DPR RI Setya Novanto yang juga melibatkan ponakannya Irvanto, disebut ikut mendorong persetujuan anggaran, mendapat bagian 7 persen dalam proyek pengadaan e-KTP. Hal itu dikatakan oleh Johanes Richard Tanjaya, yang merupakan salah satu tim IT dalam konsorsium pelaksana proyek e-KTP, saat kesaksiannya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/4/2017) waktu itu. Dan dalam dakwaan, Setya disebut menerima Rp574 miliar atau 11 persen dari total nilai kerugian negara sebesar Rp2,3 triliun. Ketua Umum Partai Golkar ini juga disebut ikut mengarahkan dan memenangkan perusahaan dalam proyek pengadaan e-KTP.
Paulus Tannos sendiri sebelumnya mengaku diajak oleh pengusaha lainnya, Andi Narogong bertemu Novanto di rumahnya di Jalan Wijaya 13 Jakarta Selatan pada November 2011. Paulus menyebut, dikenalkan oleh Andi sebagai anggota konsorsium kepada Novanto. Ia mengaku berbincang berlangsung kurang lebih selama 15 menit masalah e-KTP. Kata dia, Novanto menanyakan apa yang sudah dikerjakan PT Sandipala dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam proyek itu. Bahkan, ungkap Paulus, dalam pertemuan yang singkat itu, Novanto lewat Andi Narogong seolah-olah meminta bayaran kepada dirinya maupun PT Sandipala, yang mengerjakan proyek, walaupun dalam persidangan, Setya Novanto berkilah tidak terlibat dalam kasus e-KTP. igo/kornel
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});