BELANDA, HR – Bertempat di Fakultas Hukum, Universitas Leiden, Belanda, (4/7/2017), Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama di Belanda (Lakpesdam PCI NU Belanda) menyelenggarakan diskusi bertema “Money and Identity Politics on Electoral Democracy in Indonesia”.
Fritz Edward Siregar (berdiri) selaku Komisioner Bawaslu |
Menurut Koordinator Penyelenggara, Yance Arizona, diskusi publik ini diselenggarakan dalam rangka melakukan telaah akademik terkait fenomena penyelenggaraan Pemilu di Indonesia saat ini yang menunjukkan semakin masifnya politik uang dan penggunaan identitas sebagai alat untuk memenangkan pemilihan.
Diskusi yang dihadiri oleh perwakilan mahasiswa dan akademisi pemerhati Indonesia di Belanda dan juga ditayangkan secara live di facebook page PCI NU Belanda. Dan sebagai moderatori Fachrizal Afandi, menghadirkan narasumber, antara lain; Fritz Edward Siregar, PhD (Komisioner Bawaslu bidang Hukum), Prof. Gerry van Klinken (Professor of Southeast Asian History at University of Amsterdam) Ward Berenschot, PhD (peneliti di KITLV), serta Awaludin Marwan, SH, MH, MA (Lakspesdam PCINU Belanda, PhD candidate Univeristas Utrecht).
Fritz yang baru saja menjabat sebagai komisioner Bawaslu pada kesempatan itu menyampaikan bahwa masih banyak problem regulasi dalam menangani permasalahan politik uang. Misalkan adanya unsur ‘mempengaruhi pemilih’ dalam pemberian uang atau barang kepada pemilih oleh tim sukses kandidat dalam pemilu dan pilkada. Unsur ini cukup sulit dibuktikan, sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda di dalam praktiknya antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan. Selain itu, waktu penanganan yang singkat juga menjadi kendala untuk mengatasi hal ini.
“Persoalan lain yang juga butuh perhatian adalah praktik menjual barang (Sembako) dengan harga murah. Model bazar murah ini sudah banyak terjadi, termasuk dalam Pilkada DKI Jakarta yang lalu. Belum tegas aturan yang dapat mengkualifikasikan bazar sebagai politik uang, misalkan dengan diskon berapa persen dari harga pasar dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran. Apakah menjual dengan harga 70%, 50% atau 30% dapat dikategorikan sebagai politik uang?” ungkapnya.
Fritz Edward Siregar |
Menurut Fritz dalam kaitannya dengan politik identitas, Bawaslu telah melakukan penelitian di enam provinsi dan menemukan bahwa politik identitas mempengaruhi hasil pemilihan kepala daerah. Politik identitas menekankan perbedaan sebagai preferensi untuk memilih pemimpin. Secara faktual politik yang menekankan identitas bagi sebagian kalangan dipandang wajar karena karakteristik masyarakat Indonesia yang plural berdasarkan agama, suku, dan berbagai latarbelakang lainnya.
“Namun ia jadi masalah ketika menjurus kepada tindakan diskriminasi kepada sebagian kelompok tertentu. Bawaslu belum punya peraturan yang detail untuk menentukan kapan dan dimana suatu tindakan dapat dikualifikasikan pelanggaran karena menggunakan identitas untuk mempengaruhi pemilih,” terangnya.
Prof. Gerry van Klinken mengutarakan salah satu akar dari politik identitas yang menguat hari ini dengan istilah Ethnic Bossism, yaitu semacam relasi patron-client yang telah berkembang dalam sejarah masyarakat Indonesia. Dia menyampaikan gambaran berbagai peta yang menunjukan perbedaan kolonisasi dan pewargenagaraan paska kolonial antara Jawa-Sumatra dan daerah lain di Indonesia.
“Penjelasan ini berguna untuk memahami mengapa politik identitas sangat kental di luar jawa dan sedikit di Jawa, dengan beberapa pengecualian. Termasuk pula peta kekerasan komunal berbasis etnik yang terjadi pada tahun 1999-2002 yang terjadi di Sulawesi dan Kalimantan. Kerjasama antara penguasa kolonial dengan sultan dan raja-raja sejak masa kolonial menyuburkan Ethnic Bossism yang sekarang semakin meluas paska Orde Baru. Misalkan dengan mekanisme yang memberikan keistimewaan bagi putra asli daerah untuk posisi-posisi di pemerintahan daerah dan proyek pembangunan di daerah,” paparnya.
Gerry menambahkan bahwa Ethnic Bossism berbahaya bagi kelangsungan demokrasi. Lawan dari Ethnic Bossism adalah democratic accountability yang menekankan inklusivitas dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Menurut Gerry ada dua pendekatan yang perlu dipertimbangkan kedepan untuk mengatasi situasi keterjebakan pada sistem oligarkis patron-client ini, yaitu suatu pemerintahan pusat yang kuat dan demokratis, sehingga bisa memberdayakan warga negara. Pendekatan lain adalah membangun aliansi lintas daerah dari gerakan partisipasi warga dan pemimpin yang baik, terutama antara kelompok urban di Jawa dengan rural di luar Jawa.
Sedangkan Ward Berenschot menyyampaikan presentasi dengan judul “Why is Money Politics so Pervasive in Indonesia: An economy analysis”. Dia memaparkan hasil risetnya di 38 daerah dengan wawancara terhadap ahli di daerah untuk menyusun Indek Persepsi Klientisme (Clientism Perception Index).
“Studi ini penting untuk melihat bagaimana relasi patron-client antara masyarakat dan tuannya baik berdasarkan identitas suku dan identitas lainnya juga mempengaruhi politik uang. Studi itu menemukan bahwa semakin ke daerah, maka politik uang semakin massif. Semakin ke nasional, misalkan dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, kecenderungan politik uang semakin berkurang,” ujarnya.
Dalam kaitannya dengan politik identitas, studi yang dilakukan oleh Ward melengkapi apa yang telah dilakukan oleh Gerry van Klinken, terutama untuk melihat perbedaan antara Jawa dan luar Jawa. Hal lain yang menarik dari studi ini menunjukan bahwa praktik politik identitas cenderung menguat di Ibukota Provinsi di luar Jawa, terutama di Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Hal lain yang menarik dari survey ini menunjukan bahwa praktik politik identitas cenderung menguat di Ibukota Provinsi di luar Jawa, terutama di Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Ekonomi dalam kota-kota ini cenderung sangat tergantung kepada uang dari negara, karena tidak banyak ditemukan industri disana. Ward menganjurkan perlunya mengutamakan politik berdasarkan program dari pada politik berdasarkan relasi klientisme dalam pemilu.
Ward mengusulkan perlu adanya waktu khusus bagi Bawaslu sebelum hari pemungutan suara untuk melaporkan kepada publik mengenai pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh kandidat dalam pemilu sehingga menjadi preferensi bagi pemilih dalam menentukan pilihannya. Di satu sisi memang dibutuhkan perubahan peraturan mengatasi politik uang dan politik identitas. Namun menurut Ward juga diperlukan perubahan dalam praktiknya. Misalkan dengan memberikan perlindungan yang cukup bagi pelapor pelanggaran dan anggota Bawaslu yang menangani pelanggaran pemilu.
“Sering pelanggaran tidak bisa diatasi karena aktor-aktor lapangan khawatir akan keselamatan dan statusnya di daerah,” ungkapnya.
Narasumber Awaludin Marwan mengulas beberapa warisan hukum yang diskriminatif yang pernah berlaku di Indonesia. Umumnya yang menjadi korban dari diskriminasi struktural itu adalah etnis Tionghoa. Dalam kaitannya dengan itu, Awaludin mencontohkan, bahwa apa yang terjadi dengan Basuki Tjahaja Purnama (AHOK) yang dijerat pidana penodaan agama adalah kelanjutan dari proses diskriminasi yang telah berlangsung lama.
“Besarnya demonstrasi yang menghendaki agar Ahok dihukum meskipun tidak langsung, tetapi sangat mempengaruhi posisi Ahok dalam pilkada,” ujarnya.
Awaludin juga menilai bahwa peraturan perundang-undangan mengenai kepemiluan saat ini belum dapat mengatasi politik SARA yang diskriminatif. Sehingga, pembaruan hukum kedepan harus diarahkan kepada hal tersebut. Salah satunya dengan mengadopsi prinsip-prinsip penting dalam UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik ke dalam sistem hukum pemilu. igo
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});