KARANGASEM, HR – I Wayan Sudirta seorang pendiri Yayasan Bunda Luh Ronce (YBLR), melakukan tatap muka secara terpisah dengan para kepala dusun di 3 kecamatan di Kabupaten Karangasem yakni Kecamatan Abang, Kecamatan Sidemen dan Kecamatan Karangasem.
Pertemuan tatap muka dimaksudkan untuk meminta data warganya yang sakit berat dan cacat permanen, lumpuh, kelainan jiwa, buta, dan sejenisnya agar bisa diberikan pertolongan secara gratis. Namun pertemuan itu berubah menjadi curhat dari para Kadus kepada pendiri (YBLR) I Wayan Sudirta yang juga adalah mantan anggota DPD RI asal Bali tersebut.
Selain soal gaji, para Kadus itu mengeluhkan peraturan yang mensyaratkan umur Kepala Dusun sebatas antara 20-42 tahun, pendidikan minimal harus SLTA, sementara gaji sangat kurang dan di Karangsem sudah 4 bulan mereka tidak menerima gaji.
Mendengar keluhan tersebut, Sudirta berjanji akan memperjuangkan nasib para Kadus tersebut. Nasib para Kadus itu dan juga warganya yang seperti ayam kehilangan induk. ”Tugas Kadus sangat berat, persyaratannya dirasakan tidak masuk akal dan memberatkan,” kata Kadus Tegallanglangan Desa Datah, yang juga Bendahara Forum Kadus Se-Kecamatan Abang. Dikatakannya, dengan persyaratan Kadus harus berpendidikan minimal SMA dan umur antara 20-42,sudah terjadi beberapa masalah. Diantaranya, ada Kepala Dusun yang disukai masyarakatnya dan tidak bisa dipilih karena pendidikanya hanya SMP, umurnya lebih dari 42 tahun, atau tidak memenuhi kedua syarat tersebut. Dengan demikian, beberapa dusun terpaksa hanya diisi pejabat sementara, sementara ada warga yang ngotot agar Kadus yang mereka sukai tetap dilantik, walaupun persyaratannya tidak memenuhi.
Mendengar keluhan tersebut, Sudirta menyatakan siap memperjuangkanya, baik melalui jalur birokrasi ataupun jalur hukum. ”Silakan disepakati diantara kepala dusun, harus solid dulu. Jangan sampai yang satu mau berjuang, yang lainnya menghambat dan meninggalkan perjuangan,” katanya.
Sudirta menyatakan prihatin terhadap regulasi baru yang mensyaratkan batas umur sampai 42 tahun saja serta pendidikan yang harus minimal SLTA. ”Zaman dulu, ayah saya buta huruf, bisa menjadi kepala dusun dan kelian banjar seumur hidup. Sekarang, kalau syarat formalnya terlalu berat dan cenderung hanya mengandalkan syarat formal, sementara fakta di lapangan cukup banyak tokoh-tokoh sederhana yang dipercaya masyarakat, tetapi tidak memenuhi syarat formal, bisa menimbulkan kekacauan. Sebab, nantinya dipaksakan munculnya pemimpin yang memenuhi syarat formal, tetapi rakyat tidak menerima,” katanya.
Karenanya, peraturan seperti itu harus dihadapi dan dilawan. Bisa dengan gugatan ke Mahkamah Agung atau melalui jalur politik dengan mengusulkan revisi peraturan, agar hal-hal yang tidak realistis tersebut direvisi. ”Saya siap dukung perjuangan Kepala dusun. Kalau perlu ke Jakarta menemui DPD RI ataupun DPR, saya siap mendampingi dan mendukung pembiayaan transportnya. Jangan sampai kepala dusun yang sudah susah, tidak memperjuangkan nasib kepala dusun dan warganya hanya karena tidak ada biaya,”. ■ hod