DENPASAR, HR – Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali, Made Krisna Dinata, dalam konferensi persnya bersama KEKAL dan Frontier pada Selasa (4/2), menegaskan bahwa reklamasi yang dilakukan di Pulau Serangan merupakan bentuk perampasan ruang hidup bagi masyarakat setempat. Menurutnya, berbagai kajian dan studi menunjukkan bahwa reklamasi yang terjadi sejak tahun 1995 hingga 1998 telah mengurangi luas wilayah yang dimiliki masyarakat Serangan secara signifikan.
Krisna mengungkapkan, sebelum dilakukan reklamasi oleh PT. Bali Turtle Island Development (BTID), wilayah Pulau Serangan mencapai 111 hektar. Namun, pasca-reklamasi, luasnya menyusut hingga hanya tersisa 46,5 hektar dengan wilayah garis pantai yang dapat dikuasai oleh masyarakat hanya sekitar 2,5 km.8
Sementara itu, PT. BTID menguasai seluas 435 hektar dari Pulau Serangan. Tak hanya itu, PT. BTID juga menguasai sekitar 17,5 km wilayah panjang garis pantai atau sekitar 3/4 dari total panjang garis pantai.
“Jadi, hampir setengah wilayah Serangan ini hilang. Begitu pula dengan penguasaan garis pantai,” ujarnya.
Penelitian studi oleh Lisa Woinarski pada tahun 2022 yang meneliti tentang dampak negatif reklamasi, mengungkapkan bahwa dalam proses reklamasi terdapat praktik perampasan lahan yang dilakukan oleh investor. Misalnya seperti pembebasan tanah yang dilakukan secara paksa, pembayaran ganti rugi yang tidak sesuai harga pasar, hingga masalah sertifikat tanah.
Selain itu, Krisna mengatakan perampasan ini tidak hanya terjadi di lahan milik masyarakat, namun juga menyentuh ruang sakral di Pulau Serangan. Seperti adanya jalan penghubung yang sedekat 200 meter dari Pura Sakenan dan sebanyak 90 persen pembangunan BTID terletak dalam ruang sakral. Lahan sakral di Pulau Serangan itu juga tidak diperhitungkan dalam Amdal BTID.
Ia juga menyoroti upaya privatisasi kawasan oleh BTID, dengan ditetapkannya Pulau Serangan sebagai kawasan ekonomi khusus berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2023. Kini, kawasan yang dikuasai dalam BTID seluas 498 hektar.
“Ini menunjukkan invasi oleh satu perusahaan atau korporasi menunjukkan betapa rakusnya investasi pariwisata,” ujarnya.
Seiring dengan itu, masyarakat Serangan juga menghadapi masalah terkait kanal wisata yang dibangun pasca-reklamasi. Kanal tersebut digunakan sebagai batasan untuk menghambat akses masyarakat Serangan ke lahan BTID. Krisna menyebutkan bahwa pembangunan proyek kanal wisata merupakan bentuk privatisasi kawasan oleh PT. BTID.
Lebih lanjut, ia juga menyebutkan bentuk privatisasi lain yang dilakukan oleh PT. BTID adalah pemasangan pelampung di Perairan Serangan. Melalui citra satelit, pagar berupa pelampung tersebut sudah terlihat sejak 20 Juli 2018 dengan panjang 143 meter terbentang dari barat laut ke arah tenggara.
“Gara-gara ada pelampung yang memblokir itu kurang lebih luasnya 46,83 hektar yang masyarakat tidak bisa akses,” ungkapnya.
Menurut klarifikasi Tanto Wiyahya selaku Komisaris Utama PT. BTID pada 30 Januari 2025, menjelaskan alasan PT. BTID melakukan pemagaran itu sebagai upaya pengamanan karena adanya penyelundupan BBM liar maupun narkoba. Namun, menurut Krisna klaim tersebut hanya mengada-ada.
“Dia tidak punya dasar, justru apa yang dia lakukan dengan menutup akses perairan justru ber-impact terhadap akses nelayan dalam mengakses perairan atau mengakses wilayah laut yang ada di Serangan,” katanya.
Kini, PT. BTID juga tengah melakukan pengajuan terkait Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) untuk pemeliharan dan pengamanan pantai. Adapun total permohonan PT. BTID mencapai 245,1 hektar. Di mana hal itu bertentangan dengan pernyataan Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, KKP, Muhammad Yusuf yang menegaskan bahwa investor tidak dapat menguasai satu pulau secara utuh.
Selain itu, Krisna juga menyoroti UPTD Tahura Ngurah Rai yang hanya berani menindak tegas masyarakat, namun tidak tegas terhadap PT. BTID. Pasalnya, sebanyak 17 bangunan warung makan yang merupakan kegiatan UMKM warga, diberikan surat peringatan oleh Dinas KLH dan UPTD Ngurah Rai. Isi surat itu memperingatkan para UMKM untuk segera membongkar bangunannya karena masuk dalam kawasan Tahura Ngurah Rai. Sedangkan, masyarakat setempat mengaku tidak ada opsi relokasi ataupun kompensasi yang diberikan ketika warungnya akan digusur.
Sementara itu, pengajuan pengelolaan hutan lindung mangrove oleh PT. BTID termasuk ke dalam kawasan suci karena terdapat beberapa pura besar. Kawasan yang dimohon mulai dari sebelah barat Pura Pat Payung, Pura Beji Tirtha Harum, hingga Pura Encakan Tingkih Desa Serangan.
“Kita lihat sikapnya itu tedeng aling-aling, tumpul terhadap BTID yang melakukan pengajuan (pengelolaan) hutan mangrove Tahura Ngurah Rai seluas 27 hektare, tapi tegas terhadap UMKM-UMKM di Desa Serangan yang melakukan pembangunan yang diduga mengancam mangrove dan bahkan akan digusur,” ucapnya.
Dengan semua permasalahan itu, WALHI Bali menegaskan bahwa reklamasi Serangan bukan hanya merugikan masyarakat dalam hal akses ruang hidup, tapi juga mengancam keberlanjutan budaya dan lingkungan.
“Harapannya pemangku kebijakan di Bali, baik itu gubernur, wali kota dan juga pemangku kebijakan di pusat presiden, kementerian-kementerian terkait itu sudah sepatutnya mengambil sikap yang berpihak terhadap rakyat, memaksa BTID untuk mencabut pelampungnya agar masyarakat kembali melaut,” ujarnya. dyra