UMK Banjar 2026 Masih Terendah, Aktivis Buruh Gugat Kinerja Pemkot dan PP 49/2025

Ketua SAPMA Pemuda Pancasila Kota Banjar, Irwan Herwanto,
Ketua SAPMA Pemuda Pancasila Kota Banjar, Irwan Herwanto,

BANJAR, HR — Penetapan Upah Minimum Kota (UMK) Banjar 2026 sebesar Rp 2.361.777,09 atau naik 7,2 persen dari tahun sebelumnya memicu gelombang kritik dari aktivis buruh dan pengamat sosial. Kenaikan tersebut dinilai belum mampu mengangkat Banjar dari status sebagai kota dengan upah terendah di Jawa Barat sejak 2019.

Ketua SPSBB FSEBUMI sekaligus Ketua SAPMA Pemuda Pancasila Kota Banjar, Irwan Herwanto, menilai kondisi ini sebagai rapor merah kinerja Pemerintah Kota Banjar.

Bacaan Lainnya

Menurut Irwan, narasi bahwa upah rendah dapat menarik investor tidak terbukti di Banjar.

“Upah rendah disebut magnet investasi. Faktanya, pengangguran tetap tinggi dan angkatan kerja makin besar. Upah itu urat nadi daya beli. Jika upah ditekan, ekonomi lokal mati,” tegasnya.

Ia juga menyoroti perusahaan yang masih menyamaratakan UMK untuk seluruh pekerja tanpa memperhatikan struktur dan skala upah, masa kerja, serta status keluarga. Praktik outsourcing dan sistem borongan dinilai memperburuk kepastian jaminan sosial buruh.

UMK Banjar 2026 Dinilai Belum Mengangkat Daya Beli Buruh
UMK Banjar 2026 Dinilai Belum Mengangkat Daya Beli Buruh

Irwan turut mengkritik PP 49/2025 yang baru ditandatangani Presiden Prabowo Subianto. Meski rentang indeks alfa berubah, ia menilai regulasi tersebut masih mengacu pada KHL lajang dan belum memasukkan beban keluarga.

Ia menyebut beberapa catatan utama:

  • Tidak sesuai realitas keluarga pekerja. Rata-rata rumah tangga 3–4 orang, sementara estimasi kebutuhan layak di Banjar mencapai Rp 7,5–9 juta, jauh di atas angka UMK.
  • Daya beli terancam melemah. Kenaikan PPN dan biaya pendidikan tidak diimbangi nilai upah.
  • Tertinggal dari standar global. Beberapa negara sudah memasukkan tunjangan anak dan pengali keluarga dalam struktur upah minimum.

Irwan meminta Pemkot Banjar dan Dinas Tenaga Kerja tidak berlindung di balik alasan kewenangan pusat. Pemerintah daerah diminta berani mengambil kebijakan perlindungan buruh di level lokal.

“PP 49/2025 harus direvisi dengan memasukkan variabel beban keluarga. Jika tidak, visi Indonesia Emas 2045 hanya dinikmati segelintir elite,” ujarnya.

Ia juga mengajak buruh Banjar terus memperkuat solidaritas.

“Diam hanya memperburuk keadaan. Kita harus berjuang demi kerja layak, upah layak, dan hidup layak,” tutupnya. acep surya

[rss_custom_reader]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *