SUKABUMI, HR – Pondok pesantren Dzikir Al Fath bekerjasama dengan Dirjen Bimas Islam Pusat Kemenag RI. Melepas Ustadz Garis Depan (UGD) ke VI Dai 3T Dakwah ke. Pulau Buru sebanyak 14 orang, bertempat di aula ponpes. Rabu, 25 Juni 2025.
KH. Fajar Laksana pimpinan ponpes dzikir Al fath mengatakan, misi dakwah kali ini akan dipimpin langsung oleh saya sendiri, dimana program ini membawa misi pengabdian sekaligus berdakwah. ucapnya.
Selama dua tahun ini tim UGD hadir di tengah-tengah masyarakat adat di pelosok, dengan menyasar desa yang sebagian besar mengalami krisis tenaga pendidik.
“Sebelum nya lima Desa, sekarang bertambah dua desa dengan 29 tim UGD yang telah menjalani pelatihan khusus. Respon dari masyarakat disana sangat bagus, terbukti dengan adanya permintaan langsung dari kepala desa untuk pembinaan terhadap masyarakat nya. ” Jelas. KH. Fajar Laksana.
Tidak hanya mengajarkan agama saja, tim UGD juga merangkap sebagai guru umum, pelatih komputer, fasilitator pembangunan desa, bahkan pendamping perangkat pemerintahan. Mengenalkan teknologi dasar seperti Microsoft Word, dan membuat peta desa digital.
“Gedung sekolahnya ada, tetapi kosong tak ada guru. Ada anak usia 12 tahun yang belum bisa baca tulis. Dua mesjid berhasil dibangun secara swadaya, termasuk mesjid Al-Fath yang baru saja diresmikan.” jelasnya.
Yang membuat gerakan ini istimewa adalah pendekatannya yang inklusif. Warga non-Muslim pun turut merasakan manfaat langsung keberadaan tim UGD terutama di bidang pendidikan dan kemanusiaan.
Program ini secara swadaya, didukung oleh donatur individu, komunitas, hingga alumni pesantren yang kini sukses di luar daerah. “Banyak yang ikut membantu logistik, transportasi, hingga perlengkapan belajar. Dengan niat yang sama mengabdi untuk negeri,” katanya.
Sementara itu. Direktur Penerangan Agama Islam Kementerian Agama RI, A. Zayadi, mengatakan, program ini sebagai contoh konkret moderasi beragama yang tumbuh dari bawah, bukan sekadar dakwah, ini revolusi sosial dari pinggiran, ucapnya.
Para relawan direkrut melalui seleksi ketat, tidak hanya menguji kompetensi mengajar, tapi juga kesiapan mental dan spiritual. Mereka dilatih menghadapi tantangan geografis, sosial, dan budaya sebelum benar-benar diterjunkan ke lapangan. Selama bertugas, mereka tinggal bersama warga, menyatu dalam kehidupan sehari-hari berbagi ruang, makan, keluh kesah, hingga ikut bertani dan membantu warga yang sakit.
“Kami ingin para dai tidak hanya hadir sebagai pengajar, tapi juga sebagai bagian dari masyarakat,” pungkasnya. ida