Tahun Baru Imlek 2571, Banthe Tekankan Umat untuk Menebar Cinta Kasih

oleh -329 views

BADUNG, HR – Tahun Baru Imlek identik dengan perayaan yang meriah dilengkapi suara petasan, kembang api, dan pertunjukan barongsai. Namun ternyata, tidak semua tempat ibadah Umat Budha merayakan Tahun Baru Imlek dengan cara yang serupa.

Ragam tersebut dapat kita temui di beberapa tempat ibadah di Bali. Melaui perbincangan dengan jemaah di berbagai Vihara/Klenteng, hal tersebut bisa terjadi karena adanya perbedaan antara tempat ibadah yang memiliki fokus pada Ajaran Budha dan tempat ibadah yang memiliki tradisi Tionghoa. Hal ini biasanya akan terlihat dari bentuk Vihara atau Klenteng itu sendiri.

Bila bercampur dengan tradisi Tionghoa, maka bentuk tempat ibadah cenderung didominasi dengan warna merah. Dominasi tersebut jarang terlihat pada Vihara yang tidak bercampur dengan tradisi Tionghoa. Vihara Budha Dharma, misalnya, dihiasi dengan ornamen Budha yang kental dan berwarna-warni yang cenderung lembut. Meski pada Tahun Baru Imlek atap Vihara dilengkapi dengan lampion berwarna merah, dominasi warna tersebut tidak terlalu mencolok. Sementara di Vihara Dharmayana, seluruh ornamennya didominasi dengan warna merah yang ceria.

Selain dominasi warna, ragam tersebut juga terlihat pada kegiatan dalam Merayaan Tahun Baru Imlek. Di Vihara Budha Dharma, perayaan diadakan melalui kegiatan ibadah bersama yang digelar sejak malam tanggal 24 Januari hingga malam tanggal 25 Januari.

Ibadah dipimpin oleh seorang Banthe anggota Sangha Agung Indonesia, Banthe Bhadra Natha. Peribadatan dilakukan dalam bentuk Liam Keng, Shang Kung, dan Pembacaan Sutra Yao She Cing.

Sementara di Vihara Dharmayana, sejak 24 Januari upacara Tolak Bala dengan prosesi Liong dan Barongsai dilaksanakan di mengitari Jalan Blambangan, Kalianget, Raya Kuta, dan kembali ke Vihara Dharmayana. Pada 25 Januari barulah peribadatan di Vihara dilaksanakan oleh para jemaah.

Menurut Banthe Bhadra Natha, perbedaan tersebut dikarenakan Tahun Baru Imlek identik dengan tradisi Tionghoa, sementara Vihara Budha Dharma dan beberapa vihara lainnya merupakan tempat ibadah Agama Budha yang mengakomodir seluruh etnis dan aliran yang ada.

“Karena bersifat lebih general, maka perayaan yang digelar tidak meriah seperti di vihara/klenteng yang memang identik dengan budaya Tionghoa,” terang Banthe Bhadra.

Kendati demikian, dalam bentuk apapun, Banthe Bhadra menghimbau seluruh Umat Budha untuk dapat memaknai Tahun Baru Imlek sebagai sarana introspeksi diri dan melihatnya sebagai kesempatan baru agar dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat secara keseluruhan.

Ia juga menjelaskan bahwa tahun ini merupakan tahun Tikus Logam yang menggambarkan kecerdikan. Sehingga masyarakat Tionghoa secara khusus atau Umat Budha secara umum, harus dapat mengendalikan kecerdikan ini untuk dapat menjadi cermat dalam menyimpan apa yang telah ia miliki dan usahakan agar dapat menghadapi tantangan selanjutnya. Selain itu, Banthe Bhadra juga menekankan dasar cinta kasih bagi Umat Budha secara umum.

“Dalam berkehidupan kita harus memandang tahun baru sebagai kesempatan untuk senantiasa menebarkan cinta kasih, memberikan kebermanfaatan kepada sekitar, dan terus menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang sekitar. Hidup di dunia ini harus dimaknai dengan baik, termasuk tentang perbedaan-perbedaan yang ada.” Tutup Banthe Bhadra. gina

Tinggalkan Balasan