Tahanan Asing jadi beban, Nelayan Jauh dari Sejahtera

oleh -509 views
oleh
NATUNA, HR – Salah satu program pembangunan utama kabinet kerja kepemimpianan Presiden RI Jokowi adalah menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD), yakni sebuah Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis pada ekonomi kelautan.
ABK atau tahanan asing di Lanal Ranai Natuna.
Membuktikan keseriusannya, Presiden Jokowi menunjuk Susi Pudjiastuti menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Dan terbukti semenjak dirinya mulai menjabat, kerap kali Menteri yang terkenal nyentrik ini mengeluarkan kebijakan ‘sadis’ dan mengundang kontroversi. Diantaranya, pencabutan ijin moratorium kapal asing, pelarangan transhipment (bongkar muat di tengah laut-red), penenggelaman kapal tangkapan ilegall fishing dengan cara diledakan, dan pelarangan menjual ikan napoleon dalam jumlah besar . 
Kebijakan tersebut memang cukup efektif, melihat kegiatan ilegall fishing oleh nelayan asing mulai berkurang, nelayan Indonesia tidak lagi takut melaut di perairan negaranya sendiri. Akan tetapi, selain mempunyai dampak positif, ternyata juga meninggalkan beberapa dampak negatif.
Contohnya di Kabupaten Natuna, telah beberapa kali Angkatan Laut (Lanal) Ranai menenggelamkan kapal ikan asing karena kepergok mencuri ikan di perairan Indonesia. Sayangnya, anak buah kapal (ABK) dari kapal asing yang menangkap ikan di zona ekonomi ekslusif Indonesia, menurut undang-undang Internasional tidak dapat dilakukan penangkapan secara fisik.
“Menjadi dilema buat kita, karena menurut undang-undang Internasional hanya nakhoda dan kapalnya yang dapat ditahan, sedangkan ABK tidak dapat dilakukan penangkapan secara fisik. Seharusnya mereka dirumah detensi, namun karena di Nnatuna tidak ada, maka dititipkan ke Lanal, sampai di pulangkan ke negaranya,“kata Komandan Angkatan Laut (Danlanal) Ranai, Kolonel Laut Arief Badrudin.
Dijelaskannya, hal tersebut berbuah beban bagi pemerintah daerah dan Angkatan Laut Ranai, karena harus menanggung makan sehari-hari para tahanan asing tersebut. Karena kewalahan, akhhirnya para tahanan asing tersebut diberikan kelonggaran untuk mencari uang sendiri dari hasil berjualan kerajinan tangan.
“Kendala kami adalah persoalan konsumsi mereka sehari-hari. Kami sudah menjalankan tugas untuk mengamankan laut Natuna dan menangkap mereka, namun untuk biaya makan mereka menjadi persoalan yang perlu menjadi perhatian pemerintah. Karena jika mereka depresi tentu akan menimbulkan masalah sosial, “ujar Arief.
Dengan mencari uang sendiri, maka setiap hari terlihat beberapa tahanan asing berkeliling di Kota Ranai menjajaki hasil kerajinan tangannya, seperti miniatur kapal kayu dan ayunan dari jaring. Walaupun seakan masyarakat Ranai ikut berbaur dengan tahanan asing tersebut, namun mereka tetap khawatir akan menimbulkan masalah keamanan di lingkungannya.
Permasalahan lainnya yang belum terselesaikan hingga kini, yakni terkait larangan menjual ikan napoleon. Masyarakat Natuna yang berada di Sedanau Kecamatan Bunguran Barat, kini harus menelan pil pahit terkena dampak kebijakan tersebut. Sebabnya, profesi mereka sebagai nelayan budidaya ikan napoleon sudah berpuluh-puluh tahun, kini terancam ditutup.
Menurut laporan camat setempat, semenjak kebijakan moratorium dan transhipment di jalankan, perekonomian di Sedanau menjadi sembelit. Juga banyak pembudidaya ikan kehilangan mata pencaharian.Tercatat di Kecamatan Bunguran Barat sekitar 12.000 jiwa, atau 80 persen masyarakat masih bergantung pada budidaya perikanan. 
Dengan timbulnya permasalahan dari segala kebijakan tersebut, sudah sepatutnya pemerintah segera mengambil tindakan untuk segera mencari solusinya, agar tidak mengorbankan siapapun. alfiana

Tinggalkan Balasan