Perlambatan yang berdampak dengan kemacetan pun antara lain disebabkan oleh faktor manusia, faktor jalan, faktor kendaraan, faktor alam atau lingkungan, kerusakan infrastruktur dan sistem-sistem yang tidak memadai, ketidak profesionalan sistem tata kelola atau cara-cara mengatur sesuatu yang masih manual parsial konvensional serta situasi emergensi dan kontijensi.
Meski begitu, terdapat tindakan yang bisa dilakukan untuk mengatasi kemacetan, yang diantaranya membentuk tim terpadu bersama para pemangku kepentingan, membangun dan mengimplementasikan aplikasi-aplikasi dan network melalui back office sebagai control room, membangun call and command centre, membuat pola situasi tingkat kepadatan arus lalu lintas berdasar waktu dan hari, serta membuat indikator standar kinerja atau KPI (Key Performance Indicator).
“Kemudian melakukan diskusi dan membuat kesepakatan bersama dengan pengusaha angkutan umum, baik barang atau logistik maupun orang untuk menentukan pola atur waktu operasional, memetakan simpul-simpul penyebab kemacetan yang menyumbat secara real time, membuat tim reaksi cepat, membangun pos-pos pemantauan dan quick response, serta penegakan hukum atas pelanggaran yang menjadi faktor-faktor penyebab perlambatan,” jelasnya.
Ketua Tim Kelompok Substansi Rekayasa Lalu Lintas Ditjen Perhubungan Darat, Ahmad Andriansyah, menjelaskan mengenai hubungan kemacetan dengan urbanisasi. Dia menyoroti bahwa urbanisasi berdampak pada kemacetan lalu lintas dan berdampak negatif terhadap produktivitas perkotaan.
“Pada 2045, 230 juta penduduk
Indonesia akan tinggal di perkotaan. Berbeda jauh dengan 2015 di mana 135 juta penduduk yang tinggal di perkotaan,” tukasnya.
Akibatnya, menurut data dari TomTom Traffic Congestion Index, Jakarta menjadi kota dengan kemacetan tertinggi di antara 18 kota besar di seluruh dunia, lebih dari kota-kota seperti Bangkok, Thailand, Mexico City, Meksiko, serta Lima, Peru.
“Total biaya kemacetan lalu lintas pada 28 wilayah di Indonesia mencapai angka US$4 miliar atau setara dengan 0,5 persen PDB nasional per tahun. Sementara itu untuk wilayah Jakarta, kerugiannya sebesar US$2,6 miliar,” terangnya.