Prof Dr Zainal Arifin Hoesein, Saksi Ahli Jelaskan di Bawah Sumpah

oleh -294 views

JAKARTA, HR – Ahli Administrasi Negara Prof Dr Zainal Arifin Hoesein SH MH menyatakan penerbitan sertifikat tanah berdasarkan suatu mekanisme yang sudah diatur sedemikian rupa. Ada prosedur dan tahapan-tahapannya.

Kalau pada akhirnya ada diantara dokumen pengurusan sertifikat lahan tersebut dinilai palsu bahkan sertifikatnya sendiri disebut palsu pula tidaklah dapat diterima begitu saja.

Sebab, yang dapat atau berkewenangan menyatakan suatu dokumen negara (sertifikat hak milik atau sertifikat hak guna bangunan/SHM/HGB hanyalah pengadilan.


Zainal Arifin Hoesein berpendapat demikian saat memberi keterangan sebagai ahli dalam kasus dugaan pemalsuan dengan terdakwa Piter Sidharta di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Selasa (16/6/2020).

Ahli administrasi negara yang juga ahli hukum pidana menyebutkan sepanjang suatu dokumen atau sertifikat yang disebut-sebut palsu itu tidak diajukan ke pengadilan atau tidak dinyatakan palsu oleh pengadilan (hakim), maka sertifikat itu tetap sah dan tidak dapat dikatakan palsu.

“Tidak bisa hanya sekadar menduga-duga palsu, hanya pengadilan yang dapat menyatakan dokumen negara atau sertifikat tanah tersebut palsu,” tutur Zainal dalam sidang majelis hakim PN Jakarta Utara pimpinan Tumpanuli SH MH.

Mengenai surat pernyataan tidak dalam sengketa atas sebidang tanah yang dibuat Lurah setempat, kata ahli, surat pernyataan tersebut juga merupakan dokumen negara. Hanya saja surat pernyataan itu sepihak dan subyektif. Lagi-lagi harus pengadilan yang membuktikan objektifitasnya. “Surat keterangan memang sifatnya privat tapi itu menjadi dasar keputusan publik,” ujarnya.

Sewaktu penasihat hukum terdakwa YS Purnadi SH MH bertanya bagaimana jika pejabat negara itu sendiri mencabut surat pernyataan atau keterangan tidak sengketa atas sebidang tanah tersebut yang disusul pembatalan sertifikat HGB dimaksud, Zainal Arifin Hoesein menegaskan, dapat dituntut secara pidana. Termasuk pejabat yang ikut menyetujui pencabutan surat keterangan tidak sengketa dan pembatalan sertifikat juga dapat dimintai pertanggungjawaban hukum. “Semua produk administrasi negara harus dikatakan sah sebelum dikatakan tidak sah oleh pengadilan, hakim,” tuturnya.

Tanah Piter Sidharta di Bandengan Utara 52 A5 Penjaringan (Jakarta Utara) sebelumnya dimohonkan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) dengan terlebih dahulu dibuatkan surat keterangan tidak dalam sengketa oleh Lurah Penjaringan Suranta.

Namun setelah Suranta tidak menjabat sebagai Lurah Penjaringan lagi, surat pernyataan tidak sengketa itu justru dicabutnya sendiri. Atas dasar pencabutan surat keterangan tidak sengketa itu pula dicabut/dibatalkan sertifikat HGB atas nama Piter Sidharta oleh kantor BPN Jakarta Utara.

“Permohonan hak yang dikabulkan sebelumnya (sertifikat HGB) tidak bisa dibatalkan sepihak oleh kantor BPN Jakarta Utara. Meski itu produk kantor BPN Jakarta Utara sendiri tetap tidak bisa sesukanya mencabut sertfikat HGB dengan duga-dugaan sertifikat HGB tersebut palsu. Yang menyatakan sertifikat HGB itu palsu siap, BPN Jakarta Utara, manalah bisa,” tutur Zainal.

Lagi-lagi harus pengadilan atau hakimlah yang memutuskan dokumen negara atau sertifikat HGB tersebut palsu.

Terkait Intruksi Gubernur (Ingub) DKI yang ditandatangani Wagub, menurut Zainal, hal itu tidak boleh bahkan Ingub tersebut cacat administrasi. Namanya saja Ingub, kok yang tandatangan Wagub. Terlebih isi Ingub yang memerintahkan eksekusi atau pengosongan sekaligus menyerahkan tanah itu ke pihak lain lagi (Ali Sugiarto alm).

“Ingub tidak fokus pada suatu objek atau objeknya tidak jelas. Yang boleh lakukan eksekusi hanyalah pengadilan, karena itu domainnya pengadilan sendiri. Jadi, tindakan eksekusi berdasarkan Ingub tidaklah sesuai ketentuan yang berlaku,” tegas Zainal Arifin. nen

Tinggalkan Balasan