Prabowo Melawan Takdir ?

oleh -1.2K views
oleh
Saurip Kadi

KEBUMEN, HR –   Disela-sela kunjungan dalam rangka “Sholawat Merajut Kebhinekaan” di Kebumen, Mayjen TNI (purn) Saurip Kadi kepada wartawan sempat menanggapi hasil debat Capres terakhir Saptu 13 April 2019. Seperti sebelumnya, Saurip kembali memberi kritik tajam terhadap pernyataan Capres 02 Prabowo Subiyanto (PS) teman seangkatannya di AKABRI dulu. Bagaimana mungkin seorang PS dan juga Sandiaga Uno (SU) seolah tidak tahu, betapa buruknya kondisi peradaban bangsa tak terkecuali dibidang ekonomi, kesejahteraan, Industri dan Keuangan diawal pemerintahan JKW. Buruknya warisan rezim terdahulu tersebut,  tidak bisanya  lepas dari model perubahan dalam  reformasi yang menyertakan nilai-nilai dan juga tokoh-tokoh lama. Dan dapat dipastikan, PS dan SU tidak mendengar pernyataan JKW diawal pemerintahannya dulu, bahwa “Dimana-mana Mafia, Mafia Dimana-mana”, aneh tapi nyata katanya.

Saurip menyayangkan PS dan SU yang berada didalam posisi 1 % rakyat Indonesia yang menguasai asset nasional, tidak dirasakan bahwa dirinya adalah bagian dari masalah yang terus membelit bangsa. Kerusakan moral birokrasi khususnya pada sebagian elitnya, tak terkecuali di jajaran TNI/Polri  tidak bisa lepas dari andil sebagian dari pemegang kapital papan atas yang melakukan praktek mafia dan korupsi berjamaah yang terjadi hampir disemua lini pemerintahan. PS dan SU seolah tidak paham kalau kemiskinan yang melanda mayoritas bangsa adalah kemiskinan struktural, sama sekali bukan karena rakyat kita pemalas. Memang secara yuridis  formal mereka yang tergolong 1 % rakyat Indonesia termaksud tidak salah, tegas Saurip. Tapi kini mereka yang kini berlimpah dengan harta, tidak patut kalau merasa bahwa dirinya bisa kaya-raya karena dirinya pekerja keras dan ulet semata. Rakyat kebanyakan jauh lebih kerja keras dan jauh lebih tahan banting serta ulet. Semua itu terjadi karena diwaktu lalu negara salah kelola, dimana PS dan SU adalah bagian tak terpisahkan dan menjadi pihak yang diuntungkan dari kesalahan tata kelola kekuasaan itu sendiri.

Hampir pasti, lanjutnya,  PS mengira persoalan yang mengkait dirinya, otomatis  akan menjadi selesai begitu saja dengan pernyataan heroiknya bahwa “tidak hanya kekayaan, jiwa dan raganya pun siap diberikan untuk negara, bangsa dan rakyat Indonesia”. Lupa bahwa memori kolektif bangsa ini masih mencatat bahwa PS dan juga  keluarga besarnya serta mantan mertuanya yang membesarkan dirinya adalah bagian utama dari masa lalu yang mengantar kondisi bangsa ini terus amburadul. Maka ekspresi keras yang ditampilkan tak lebih sebagai wujud dari besarnya keinginan yang tak terbendung, sehingga solusi yang ditawarkan juga otomatis keliru.

Ia mencontohkan dalam membahas BUMN umpamnya, PS dan SU pura-pura tidak tahu bahwa BUMN kita keropos karena dimasa lalu BUMN kita dijadikan “Sapi Perahan” oleh penguasa dan elit partai. Dan itulah yang menjadi penyebab utama mengapa hingga saat ini BUMN terus morat marit, walaupun selama 4,5 tahun dengan berbagai upaya telah dicoba diselamatkan oleh Pemerintahan JKW. “ Mengapa harus ditumpukan seolah itu semua menjadi kesalahan JKW, setidaknya karena JKW membiarkannya. Idem soal larinya uang republik keluar negeri, bukankah itu peninggalan masa lalu,” tegas Jenderal yang dikenal pro rakyat ini.

Saurip Kadi yang mantan Aster Kasad menjelaskan, bahwa seperti pada 3 debat Capres sebelumnya, pada Debat ke 4 semalam, PS kembali menampakan dirinya, kalau selama ini dirinya tidak menginjak tanah, tidak tahu realita kehidupan nyata tentang tata kelola kekuasaan yang sebenarnya, sehingga ketika ditanya soal resep pemerataan, PS keliru dalam merumuskan solusi. Dengan bersumber dari data hasil study Pemda DKI Jakarta bahwa 1 dari 3 anak sekolah di DKI Jakarta tidak makan pagi, dikira tidak makan pagi karena kemiskinan. PS dan juga SU langsung tergerak hatinya, maka solusi pemerataan yang di rumuskan adalah memberi minum susu model yang pernah diterapkan dilingkungan ABRI (TNI-Polri) di era Jenderal TNI M Yusuf sebagai Pangab. PS dan SU dpastikan tidak tahu bahwa budaya sebagian penduduk DKI Jakarta, tidak lagi mau repot repot menyiapkan makan pagi, tapi anak-anak mereka membawa uang untuk jajan di kantin, saat istirahat. Maka menjadi Naif, kalau kebijakan  pemerataan ditingkat nasional yang ditempuhnya tidak mengkait bagaimana penataan ulang alat produksi yang selama ini dikuasai hanya oleh 1 % rakyat Indonesia itu sendiri.  Akhirnya dibaca publik mereka tidak ingin membuat rakyat mandiri, tapi diposisikan lebih sebagai pihak yang harus disantuni, maka gaji pun mereka hibahkan kepada negara untuk disalurkan kepada rakyat yang tergolong sebagai kaum duafah.

Sikap PS yang demikian itu sungguh blunder, dan menambah sempurna perbedaan antara dirinya dengan JKW selaku rivalnya, sehingga rakyat pada tanggal 17 April mendatang mendatang rakyat menjadi lebih yakin dalam menjatuhkan pilihan karena penilaian akal sehatnya akan terkonfirmasi dengan fakta yang tergelar. Sedang penyebab utama dari sikap dan penampilan PS yang demikian itu, tidak lain karena dirinya melawan Takdir, imbuhnya.

Saurip menguraikan sejumlah materi yang membikin blunder akibat PS melawan takdir, dan dari 4 kali Debat Capres, setidaknya ada 7 point penting, yaitu:

(1) Kebhinekaan Berkah NKRI. Memang betul PS dengan tegas dan lugas mengakui bahwa dirinya adalah nasionalis dan terlahir serta dibesarkan dari lingkunan keluarga Nasrani. Tapi dalam prakteknya, strategi yang ditempuhnya dari awal tak terkecuali dalam kampanye terbuka termasuk yang di GBK pada tanggal 7- April-2019, PS mengakomodasikan paham Khilafah yang dibawakan Jurkamnya,  disamping juga penggunaan Bendera yang dahulu  digunakan oleh Ormas Radikal. Yang pasti PS sama sekali tidak melarangnya, bahkan sepertinya menikmatinya. Padahal PS tahu persis bahwa takdir kita sebagai bangsa yang bhineka, akan membuat rakyat tanpa dikomando akan menyatu begitu Pancasila sebagai dasar negara terusik eksistensinya.

(2) Pilih tehnologi lama asal Asset tidak mengalir ke luar negeri. Bagaimana mungkin rakyat dan apalagi generasi milenialnya setuju terhadap sikap PS. Dan apalagi sikap PS yang pura-pura tidak tahu bahwa semua itu terjadi dimasa lalu, dan justru pak JKW telah berhasil “merebut”  Asset Nasional yang selama ini dikuasai asing, dan uang besar anak  negeri disimpan diluar negeri pun sedang dikejarnya.

(3). Ekspresi keras dan marah-marah karena orang ketawa. Kelihatannya memang seperti kasus kecil, tapi sikap melawan takdir manusia yang secara spontan otomatis akan ketawa karena “geli” terhadap hal yang tidak lumrah. Apalagi diperkuat dengan bukti gebrak-gebrak meja saat kampanye, maka sifat pemarah dan emosionalnya secara terang benderang terkonfirmasi.

(4). Tidak Hafal Pancasila, memang manusiawi tapi hal yang demikian otomatis menjadi bahan ketawaan publik.

(5). Unicorn yang Online-Online itu ya, walaupun yang dimaksudkan PS adalah untuk klarifikasi, tapi bagi generagi milenial sikap tersebut menjadi masalah yang serius, karena PS dianggap Gaptek.

(6) Saya lebih TNI dari TNI, pernyataan tersebut oleh publik dianggap sebagai sikap yang arogan dan juga sombong, karena rakyat otomatis mengkaitkan dirinya dengan kasus pelanggaran HAM Berat yang membikin dirinya dipecat sebagai anggota TNI, walaupun istilah remi yang digunakan adalah pemberhentian dari dinas TNI.

Dan (7) Gaptek, sehingga pertanyaan tentang “e-soprt mobile legend”, malah dijawab tentang pertanian yang sama sama sekali tidak ada kaitannya, sehingga akan menjadi bahan ketawaan kaum milenial.

Diakhir wawancara, Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi berpendapat bahwa dari 7 sikap melawan takdir tersebut, otomatis membawa hikmah yang luar biasa bagi bangsa Indonesia yang niscaya akan memilih JKW untuk melanjutkan perubahan yang telah dirintisnya dan telah  terbukti keberhasilannya, sementara PS akan menjadi ahli dan secara khusus yang berpengalaman dalam per Capres-an. Kalau bicara kesan besarnya dukungan bahkan sempat membikin perpolitikan kita gaduh, karena besarnya ambisi PS yang disambut oleh kelompok yang punya kepentingan, tak peduli sinergy yang dibangunnya jelas dipaksakan, karena memang tidak nyambung, seperti dalam soal ijma ulama dan kasus ujaran kebencian yang dilakukan oleh pendukungnya. igo

Tinggalkan Balasan