Polisi, Jaksa, dan Majelis Hakim Diduga Konspirasi Penangkapan Murdianto

oleh -404 views
oleh
JAKARTA, HR – Perkara kasus narkoba atas nama terdakwa Murdianto alias Murdi Bin Muhajir yang didakwa Pasal 114 ayat (1), Jo Pasal 112 ayat (1) UURI No.35 tahun 2009 tentang Narkotika mendapat perhatian khusus dari Kepala Kepolisian Resort Kepulauan Seribu, Jakarta Utara, AKBP Jonh Weynart Hutagalung, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara Agung Komandiyo Dipo, SH dan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, H. Dwiarso Budi S, SH yang telah memproses kasus narkoba ini dengan cepat.
PH terdakwa saat membacakan pledoi.
Terdakwa Murdianto ditangkap polisi pada 28 Maret 2016, perpanjangan penahanan Penunutut Umum 18 April 2016 dan Penuntut Umum 28 April 2016 sampai 17 Mei 2016.
No perkara 565/Pen-Pid/ PN.JKT.Utr tanggal 12 Mei 2016. Dan pada Rabu, 15 Juni 2016, sudah dibuka sidang pertama agenda pembacaan surat dakwaan.
Penanganan perkara terdakwa Murdianto ini sangat diistimewakan. Berbeda dengan perkara-perkara narkoba lainnya yang pada umumnya menjalani proses penyelidikan dan penyidikan yang berbulan-bulan lamanya dalam tahanan kepolisian dan kemudian berbulan-bulan lamanya dalam tahanan kejaksaan, baru setelah itu dilimpahkan menjadi tahanan pengadilan.
Dan dalam proses persidangan pun dianggap cukup istimewa karena telah mendahului perkara yang sudah lebih dulu dilimpahkan. Puluhan bahkan ratusan perkara mungkin yang didahului perkara Murdianto ini yang sudah terlebih dahulu menunggu antrian jadwal sidang.
Wartawan HR yang eksis memantau dan mengkritisi persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara mengamati istimewanya perkara ini. Mengapa kasus narkoba yang barang buktinya 0,0393 gr shabu-shabu ini menjadi istimewa? Padahal Pasal dakwaannya bukanlah Pasal 127. Karena terdakwa tidak pernah dilakukan tes urine.
Ketua MH, Pinta Uli Tarigan
Ternyata keistimewaan itu adalah diduga kuat adanya konspirasi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan untuk menghindari praperadilan yang bakalan ditempuh keluarga terdakwa. Menurut Mbak Nur (kakak terdakwa), penangkapan kepada terdakwa diduga penuh rekayasa, dan tidak sesuai locus deliction.
Terungkap dalam persidangan, bahwa kasus terdakwa Murdianto ini adalah rekayasa penyidik Kepolisian Polres Kepulauan Seribu, Jakarta Utara karena gagal memeras terdakwa yang bekerja sebagai koordinator parkir di Jalan Emin, Wilayah Hukum Polsek Tanjung Priok, Polres Jakarta Utara.
Rekayasa penangkapan Murdianto ini membuat terpukul berat kedua orang tuanya yang berdampak kepada kematian dan meninggalnya kedua orang tuanya (ibu dan bapanya).
Muhadjir (orangtua laki-laki terdakwa) meninggal dunia karena tekanan mental mendengar anaknya ditangkap polisi dengan rekayasa. Anaknya ditangkap polisi tetapi tidak ada surat pemberitahuan penangkapan kepada keluarga. Apakah anaknya ditangkap Polres Jakarta Utara, apakah di Polsek Tanjung Priok, apakah Polres Pelabuhan, atau Polda Metro Jaya? Tidak ada pemberitahuan kepada keluarga. Dalam perjalanan mencari keberadaan Murdianto itulah orang tuanya laki laki mengendarai sepeda motor mengalami kecelakaan lalulintas dan keesokan harinya meninggal dunia.
Beberapa hari kemudian Murwati (ibu terdakwa) pun menyusul ayahnya ke alam baka akibat tekanan mental yang dahsyat yang mana pada saat meninggal suaminya (Muhadjir), anaknya terdakwa Murdianto tidak diporbolehkan melihat jenazah orang tuanya sebagai pertemuan dan perpisahan terakhir.
Terungkap dalam pledoi terdakwa: anggota Sat Narkoba Polres Kepulauan Seribu melakukan penangkapan terhadap Murdianto, di Jl. Enim depan Seven Eleven, Kel. Sungai Bambu, Kec. Tanjung Priok, Jakarta Utara tanpa surat penangkapan. Saat digeledah ditempat kejadian penangkapan, tidak ditemukan barang bukti. 
Tetapi setelah diinterogasi di tempat lain dan oleh polisi lainnya, dilakukan lagi penggeladahan dan ditemukan satu klip plastik kecil dari kantong belakang terdakwa. Yang mana barang bukti itu dibantah keras oleh terdakwa. Informasi yang beredar bahwa anggota polisi Sat Narkoba Kepulauan Seribu diduga salah tangkap.
Yang diincar adalah kasus narkoba atasnama Firmansyah yang sudah DPO Nomor DPO/III/2016/res.ke. dengan ciri-ciri umur 28-30 tahun, bentuk wajah oval, rambut panjang, pirang, tinggi 150 cm berat 55 kg, badan kurus, kulit kuning langsat, mata hitam, bekas luka jerawat di muka, dengan laporan Pasal 112 ayat (1) UURI No.35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Tertangkap tangan sesuai Pasal 18 ayat (2) KUHAP, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penagkapan harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik pembantu terdekat. Berhubung dengan tertangkap tangan dan TKP wilayah hukum Polres Jakarta Utara, bukan wilayah hukum Polres Kepulauan Seribu, seyogianya tertangkap diserahkan ke Polres Jakarta Utara.
Permohonan praperadilan yang diajukan Penasehat Hukum terdakwa Yayat Surya Purnadi, SH, MH dan Indra Kasyanto, SH, M.Si dari Kantor “YSP & Partners” dinyatakan gugur karena pidana umum sudah dimajukan.
Padahal pada sidang pertama dan sidang kedua Praperadilan termohon praperadilan dari Kepolisian Kepulauan Seribu tidak hadir di persidangan. Jadi diduga semua sudah ada skenario bagaimana caranya agar terdakwa Murdianto dapat dihukum.
Kemudian terungkap di persidangan bahwa pada persidangan pertama sidang pidana saat agenda pembacaan dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hendrinawati Leo, SH dari Kejaksaan Negeri Jakarta Utara dihadapan Ketua Majelis Hakim Pinta Uli br Tarigan, SH tidak diberitahukan kepada penasihat hukumnya hingga pada persidangan kedua. Baru kemudian pada persidangan ketiga Penasehat hukum terdakwa diberitahukan pada Rabu (29/6/16). Sehingga hak terdakwa pada jadwal sidang eksepsi atas dakwaan JPU tidak terlewatkan.
Oleh karena itulah Penasehat Hukum terdakwa Yayat, SH dan Indra, SH memohon kepada majelis agar mengabulkan permohonan pada pledoinya membebaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum dan memulihkan harkat dan martabat terdakwa kepada kedudukan semula, serta membebankan biaya perkara kepada negara.
Sesuai dengan fakta-fakta persidangan bahwa keterangan saksi-saksi dari kepolisian yang menangkap dan keterangan saksi verbalisan yang dihadirkan dipersidangan tidak bersesuaian, yakni: keterangan Brigadir M. Sahroni mengatakan melakukan penangkapan terhadap terdakwa Murdianto hanya berdua dengan rekannya. Murdianto ditangkap menggunakan sepeda motor Mio merah, dan motor tersebut tidak dijadikan barang bukti. Bahwa sebenarnya saksi menunggu kedatangan Firmansyah alias Eman (DPO) yang menggunakan sepeda motor Mio Merah.
Keterangan saksi Bripka Firnando Sibarani saksi penangkap, melakukan penangkapan yang pada intinya sama dengan saksi Brigadir M. Sahroni, yang berbeda adalah jumlah anggota yang melakukan penangkapan, menurut Firnando Sibarani 5 orang bersama temannya.
Dan menurut saksi Iptu Zuhri Mustofa, SH (saksi verbalisan) yang pada intinya anggota polisi yang melakukan penagkapan 4 orang. Dan keterangan saksi Iskandar (saksi Ade Carge) yang melihat peristiwa penangkapan mengatakan yang melakukan penangkapan adalah dua orang polisi yang berpakaian preman.
Dan keterangan terdakwa Murdianto yang diperiksa pada persidangan (7/9/16), mengatakan, bahwa dia disergap Brigadir M. Sahroni pukul 00.30 dinihari, (28/3/16), di seberang mini market seven elevel setelah berhenti menaiki motor Mio Merah dan menodongkan pistol ke mukanya lalu digeledah. Namun tidak ditemukan barang bukti shabu dari badan dan pakaiannya.
Dan setelah dia bertemu dengan Mukti (polisi) di Sevel (minimarket), Mukti melakukan penggeledahan dan menunjukkan satu klip sabu dari kantong belakang. Padahal M. Sahroni sudah menggeladah kantong itu tetapi tidak ditemukan shabu shabu.
Dan selama terdakwa Murdianto diperiksa penyidik kepolisian, di kejaksaan hingga persidangan hingga persidangan kedua tidak didampingi Penasehat Hukum. Dan terdakwa membantah keras BAP dan dia mengatakan bukan dia yang menandatangani semua BAP, dan terdakwa mengatakan dipersidangan bahwa terdakwa tidak pernah tes urine.
Permohonan pembebasan terdakwa dari segala tuntutan hukum karena Yayat dan Indra yakin kliennya tidak bersalah dan bahwa dijadikannya terdakwa sebagai terdakwa dipersidangan hanyalah berdasarkan kepentingan penyidik kepolisian dan kepentingan penuntut umum.
“Mahkamah Agung dalam putusan pada perkara No.1531K/Pid-sus/2010 dan Putusan nomor 2591 K/Pid-sus/2010 secara berani menegaskan cara-cara penyelidikan dan penyidikan seperti hal ini sarat dengan rekayasa dan pemerasan. Bahwa kepolisian dalam memeriksa perkara mempunyai kepentingan terhadap perkara agar perkara yang ditanganinya berhasil di pengadialan, sehingga keterangannya memberatkan dan menyudutkan, bisa merekayasa keterangan. Padahal yang dibutuhkan sebagai saksi adalah orang yang memberikan kesaksian secara bebas, netral, objektif dan jujur,” ungkap Yayat Surya Purnadi saat membacakan Pledoinya, kemarin di PN Jakarta Utara, (21/9/16). thomson g


(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Tinggalkan Balasan