PN Blora Abaikan Perma No 2/2012 Tentang Tipiring: Pembeli Kayu Bakar Dituntut 2 Tahun Penjara

oleh -15 Dilihat
oleh
BLORA, HR – Ngaripin bin Rifai (usia 62 tahun) mungkin saja salah satu korban keganasan aparat penegak hukum di Republik ini. Hanya niatan awal terdakwa untuk membeli kayu bakar dari seorang penjual bernama Pake Jati yang berlokasi diluar kawasan hutan Perhutani dengan harga sebesar 400ribu Rupiah malah menjadi “pesakitan” di Pengadilan Negeri (PN) Blora, karena dianggap merugikan Perhutani setempat dengan nilai hanya sekitar 580 ribu Rupiah.
Ngaripin disidangkan
Bahkan, pada persidagan Selasa (3/1/2017) kemarin, dihadapan ketua majelis hakim Awal Darmawan Akhmad, terdakwa Ngaripin dituntut selama 2 (dua) tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsidair 1 (satu) bulan penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU) Farida Hartati. Dinyatakan terbukti bersalah melanggar pasal 12 huruf e jo pasal 83 ayat (1) huruf b Undang Undang No 18 Tahun 2013, dengan sengaja mengangkut hasil hutan tanpa dilengkapi dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.
Kasus yang menimpa Ngaripin ini tak jauh beda dengan Nenek Asyani yang disidangkan di PN Situbondo pada bulan April 2015 tahun lalu. Majelis hakim Pengadilan Negeri Situbondo, Kamis (23/4/2015), menjatuhkan vonis satu tahun penjara dengan masa percobaan 15 bulan kepada nenek Asyani, warga Dusun Krastal, Desa Jatibanteng, Kecamatan Jatibanteng, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Asyani adalah terdakwa kasus pencurian tujuh batang kayu milik Perum Perhutani setempat.
Selain itu, majelis hakim yang dipimpin Kadek Dedy Arcana juga menjatuhkan denda sebesar Rp 500 juta dengan subsider satu hari masa kurungan. Namun, karena pertimbangan usia dan kesehatan nenek Asyani, subsider kurungan tersebut tidak perlu dijalani oleh yang bersangkutan.
Demikian terdakwa Ngaripin, bahwa ia mengaku hanya membeli kayu bakar diluar dari kawasan Perhutani dari seseorang bernama Pake Jati yang saat ini dijadikan DPO (daftar pencaian orang) tanpa adanya surat panggilan terlebih dahulu oleh polisi (Kapolsek Sambong-Blora Jawa Tengah) dan sama sekali belum dilakukan penyidikan atau ditetapkan sebagai tersangka.
PN Blora, Jateng
Hal inilah dianggap terdakwa Ngaripin maupun kuasa hukumnya sebagai kesewenang-wenangan penegak hukum, karena si penjual kayu notabene disebutkan hasil hutan belum disentuh oleh aparat malah pembeli kayunya yang diadili.
Sekilas mengenai kronologi perkara yang dialami terdakwa di dalam dakwaan jaksa bahwa Selasa tanggal 25 Oktober 2016, di Jalan Alur A Petak 1025 a RPH Ngawen BKPH Pasarsore KPH Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Ngaripin bertemu dengan Pake Jati yang pertama kali menawarkan kayu bakar tersebut.
Selanjutnya, Pak Jati yang menjual kayu bakar berbagai ukuran itu, namun yang disita pengadilan blora hanya sebagian 21 batang kayu jati berbagai ukuran bentuk gelondong. Ukuran kayu rata-rata 90 cm dengan diameter dari 13 cm hingga 22 cm sebanyak 21 batang, kubikasi seluruhnya 0,4410 M3. Dan sebagiannya lagi dari keseluruhan kayu bakar tersebut tidak disita (tidak jelas dikemanakan oleh kepolisian dan kejaksaan setempat) Hasil pemeriksaan diketahui bahwa terdakwa mengangkut kayu itu tanpa dilengkapi surat keterangan sahnya hasil dari pejabat berwenang.
Pengacara terdakwa Ngaripin, Ericson Tua Sianturi, SH menganggap bahwa polisi terlalu terburu-buru menetapkan tersangka dan menahan kliennya. Karena, katanya, disamping faktanya si penjual saja belum ditangkap bagaimana bisa si pembeli bisa diadili? Juga kliennya pak Ngaripin bin Rifai hanya seorang pembeli kayu bakar saja saat itu.
Bahkan, lanjut Advokat Ericson, bahwa terdakwa bukan pelaku penebang hutan yang merusak lingkungan hutan khususnya. “Terdakwa hanya membeli kayu bakar untuk dijual lagi, itupun nilainya hanya sekitar 500 ribuan,” katanya.
Dalam proses peradilan, Ericson menyatakan bahwa perkara yang dialami terdakwa Ngaripin ini seharusnya dilakukan dengan sidang acara cepat. Alasannya, karena kerugiannya hanya sekitar Rp 500 ribuan lebih, mengacu kepada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda.
Dimana disebutkan dalam Perma tersebut bahwa kerugian dibawah Rp 2,5 juta perkara tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana ringan (Tipiring) dengan proses persidangan acara cepat bukan acara biasa. Sementara, terdakwa Ngaripin disidangkan dengan acara pemeriksaan persidangan biasa.
Di lain pihak, Humas Pengadilan Negeri Blora Ahmad Zulpikar ketika dikonfimasi HR, Selasa (3/1/2017), mengenai proses persidangan, batasan kerugian dalam dalam perkara kehutanan, disebutkan, bahwa semua perkara kasus kehutanan di PN Blora disidangkan dengan acara biasa semua. Tidak ada disidangkan dengan acara cepat walaupun kerugian Negara dibawah Rp 2,5 juta.
“Perkara kehutanan masuk lex specialis, jadi tidak ada aturan disidangkan dengan acara cepat/Tipiring. Klu sudah ada aturannya kita (PN Blora red) tidak berani menabraknya,” jelas Ahmad.
Disinggung mengenai Perma No 2 Tahun 2012 mengenai kerugian Negara Rp 2,5 juta disidangan dengan cara cepat, menurut Ahmad itu untuk perkara yang diatur dalam KUHP.
Sementara, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Ridwan Mansyur ketika dikonfirmasi melalui telepon selulernya, Jumat (6/10/2017) belum berhasil dihubungi. jt


(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.