JAKARTA, HR – Di tengah upaya maksimal Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dan jajarannya dalam menegakkan hukum yang berkeadilan dan bermartabat, kondisi di lingkungan Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Barat justru dinilai bertolak belakang.
Sejumlah oknum jaksa diduga mengabaikan Standar Operasional Prosedur (SOP) demi kepentingan pribadi, yang berdampak pada ketidakadilan dalam penanganan perkara. Perbedaan mencolok dalam tuntutan hukum terhadap para terdakwa menjadi sorotan di Kejari Jakarta Barat.
Dari hasil penelusuran wartawan HR di laman SIPP PN Jakarta Barat, ditemukan adanya disparitas hukuman dalam kasus perjudian. Pada perkara nomor 958/Pid.B/2024/PN Jkt.Brt, tujuh terdakwa, yakni Agus Enawan dan kawan-kawan, dijatuhi tuntutan tinggi, yaitu 7 tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Padahal, mereka hanya pekerja yang menjalankan perintah dari bos mereka dengan imbalan kecil.

Sebaliknya, terdakwa Jastin Hugo alias Hugo, pemilik situs judi online BARAPI138.com dan Gacoan79, dalam perkara nomor 980/Pid.B/2024/PN Jkt.Brt, hanya dituntut 10 bulan penjara tanpa denda.
Keanehan lainnya terlihat dalam keputusan penyitaan barang bukti. Dalam kasus Jastin Hugo, uang tunai Rp 14 juta yang disita justru dijadikan barang bukti untuk dimusnahkan, bukan disita untuk negara. Kebijakan ini menuai polemik di masyarakat.
Disparitas hukuman juga tampak dalam perkara 1071/Pid.Sus/2024/PN Jkt.Brt, yang menjerat Nelsen Wijaya atas kasus produksi dan peredaran suplemen kesehatan ilegal. Berdasarkan penyelidikan, Nelsen mengimpor bahan dari Amerika Serikat dan China, lalu mengemasnya ulang di Indonesia dengan merek NUTRILAB tanpa izin resmi.

Meski ancaman hukumannya mencapai 12 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar sesuai Pasal 435 UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, terdakwa hanya divonis 10 bulan penjara tanpa denda.
Ketika wartawan HR mencoba mengonfirmasi hal ini ke pihak Kejari Jakarta Barat pada Senin (3/3/2025), belum ada tanggapan.
Ketua Umum LSM LP2I Eduward Mission Sihombing, SH., M.H., menilai kasus ini mencerminkan masih kuatnya praktik korupsi di kalangan aparat penegak hukum (APH).
“Oknum jaksa bermental korup sulit diberantas karena ada faktor ‘X’ yang menjadi penghambat penegakan hukum di Indonesia. Bukan rahasia umum lagi bahwa masih ada aparat hukum yang mengabaikan norma dan aturan yang berlaku,” tegas Eduward.
Ia juga mengingatkan bahwa kasus dugaan korupsi di Kejari Jakarta Barat bukan kali pertama terjadi. Baru-baru ini, eks jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Jakarta Barat, Azam Akhmat Akhsya, ditangkap atas dugaan penyelewengan uang barang bukti puluhan miliar rupiah.
Eduward mendesak Kejaksaan Agung RI, khususnya Bidang Pengawasan dan Pembinaan, untuk segera mengambil langkah tegas dengan memeriksa Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jakarta Barat. Jika perlu, dilakukan evaluasi menyeluruh guna mencegah berlanjutnya ketidakadilan dalam penegakan hukum di Kejari Jakarta Barat.
“Kami mendesak Kejaksaan Agung segera bertindak agar marwah institusi ini tetap terjaga,” tutupnya. •lisbon sihombing