Pembelajar Sepanjang Hayat: Filosofi Air dan Ketinggian Ilmu

IMG 20251220 WA0040

Oleh: Dr. Nurlaelah, M.Pd.

Dalam napas ajaran Islam, belajar bukanlah sebuah fase yang selesai dengan selembar ijazah. Ia adalah titah suci, sebuah pengabdian yang dimulai dari ayunan hingga liang lahat. Menjadi pembelajar sepanjang hayat bukan sekadar kewajiban intelektual, melainkan sebuah manifesto personal untuk terus menyempurnakan diri di hadapan Sang Maha Mengetahui.

1. Merendah untuk Meninggi: Manifesto sang Air

Kehidupan sering kali mengajarkan bahwa untuk mencapai puncak, seseorang harus mendaki. Namun, dalam semesta ilmu, hukum yang berlaku justru sebaliknya: merendahlah untuk meninggi.

Para bijak selalu memosisikan diri laksana air. Sebagai unsur dominan dalam raga manusia, air memiliki sifat filosofis yang unik; ia selalu bergerak mencari tempat terendah. Hal ini mengajarkan bahwa ilmu hanya akan menetap pada hati yang tawadhu (rendah hati). Dengan memandang diri sebagai wadah yang “serba kekurangan”, kita membuka ruang bagi hikmah untuk masuk. Sebagaimana air yang mengisi lembah, ilmu akan membanjiri mereka yang tidak merasa penuh oleh kesombongan.

2. Janji Kesejahteraan dalam Ilmu

Ada sebuah pesan mendalam yang sering diwariskan oleh orang tua kita: “Tidak ada orang berilmu yang hidupnya susah.” Ungkapan ini bukan sekadar bicara tentang kecukupan materi, melainkan tentang martabat dan ketenangan batin.

Ilmu adalah bekal yang paling ringan dibawa, namun paling berat timbangannya dalam timbangan amal dan kehormatan. Ia menjadi kompas saat gelap dan jembatan saat buntu. Janji ini menjadi pegangan erat: bahwa selama seseorang terus belajar, Allah akan mencukupkan jalannya. Sebagaimana firman-Nya, Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kita.

3. Semesta sebagai Madrasah, Manusia sebagai Guru

Seorang pembelajar sejati memiliki cara pandang yang luas terhadap sumber pengetahuan. Ia tidak membatasi diri pada dinding kelas atau gelar akademik. Bagi seorang pembelajar sepanjang hayat:

  • Setiap orang adalah guru: Baik itu seorang pakar di mimbar maupun seorang asing yang kita temui di jalan, setiap jiwa membawa kepingan pengalaman yang bisa kita pelajari.
  • Setiap tempat adalah madrasah: Pasar, jalanan, hingga heningnya malam adalah ruang kelas tempat Tuhan menebarkan tanda-tanda kebesaran-Nya.

Menimba ilmu dari “suluh pengalaman” orang lain adalah cara tercepat untuk menjadi bijaksana tanpa harus menanggung luka yang sama.

4. Merawat Api Belajar di Era Modern

Agar manifesto ini tetap hidup di tengah hiruk-pikuk dunia, kita perlu menjaga “wadah” kita tetap terbuka melalui langkah praktis:

  • Pikiran Sang Pemula (Shoshin): Masuklah ke setiap diskusi dengan gelas yang kosong. Bertanyalah untuk mengerti, bukan untuk sekadar mendebat.
  • Kurasi Digital: Jadikan gawai Anda sebagai gerbang ilmu, bukan sekadar hiburan. Pilihlah guru-guru yang menantang pemikiran Anda untuk tumbuh.
  • Menulis untuk Mengendap: Ilmu laksana air yang mengalir. Tulislah apa yang Anda pelajari agar ia mengendap dan menjadi bagian dari karakter Anda.

Kesimpulan: Menjadi Arus yang Tak Pernah Usai

Memeluk filosofi air dalam menuntut ilmu adalah tentang menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik Sang Pencipta, sementara tugas kita adalah terus bergerak menuju-Nya. Belajar sepanjang hayat bukanlah beban, melainkan kemuliaan yang menjaga martabat manusia agar tetap luhur.

Dengan merendahkan hati laksana air, kita justru sedang mempersiapkan diri untuk diangkat derajatnya. Menjadi “kosong” bukan berarti tidak berdaya, melainkan memberikan ruang bagi hikmah baru untuk terus mendewasakan jiwa. Selama kita bernapas, tidak ada kata tamat dalam sekolah kehidupan. Kita akan terus mengalir, terus belajar, dan terus memberi manfaat, hingga tiba saatnya kita kembali ke samudra keabadian dengan cahaya ilmu yang paripurna.

Wallahu’alam

[rss_custom_reader]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *