Keselamatan Penghuni Terabaikan, Parkir Justru Diprioritaskan, Ironi Rusun Tahap Tiga

IMG 20251128 151222
Stiker merah dari Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) yang jelas-jelas menyatakan, “Bangunan ini tidak memenuhi keselamatan kebakaran.”

JAKARTA, HR — Sebuah ironi menganga lebar di Rusun Tahap Tiga Kemayoran. Di hunian yang menampung sekitar 300 Kepala Keluarga (KK) ini, keselamatan ribuan jiwa ternyata telah lama dipertaruhkan. Gedung yang dibangun pada akhir Desember 2004 dan kini berusia 21 tahun itu masih menempel stiker merah dari Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) yang jelas-jelas menyatakan, “Bangunan ini tidak memenuhi keselamatan kebakaran.”

Fakta mencolok ini diakui langsung oleh Leader Teknisi Gedung, Rasiman alias Jamet, ketika ditemui di kantor pengelola. Ia mengatakan bahwa stiker tersebut memang sudah ada sejak lama dan gedung masih dalam proses perbaikan.

“Sedang tahap perbaikan. Sistem pemadam kebakaran sudah dikerjakan, tinggal tangga darurat yang dalam masa peremajaan,” ucapnya, Jumat (28/11/2025).

Pernyataan ini justru memunculkan pertanyaan mendasar, bagaimana mungkin sebuah bangunan tempat tinggal milik negara dibiarkan tanpa standar keselamatan lengkap selama dua dekade? Dan mengapa perbaikan krusial seperti tangga darurat, unsur paling vital dalam penyelamatan jiwa, baru digarap setelah gedung diberi tanda tak layak oleh Damkar?.

Penghuni rusun yang hidup di unit bersubsidi dengan tarif Rp 126.000 untuk tipe 21, Rp 216.000 untuk tipe 36, dan Rp 252.000 untuk tipe 42, mungkin mengira bahwa fasilitas yang mereka tempati telah memenuhi standar minimal. Apalagi seluruh perawatan gedung disebut ditanggung negara, dengan HPL hanya Rp 6.000 per meter.

Kondisi gedung yang belum layak keselamatan, kebijakan parkir justru tampak lebih cepat dikelola dibanding penyelamatan jiwa.
Kondisi gedung yang belum layak keselamatan, kebijakan parkir justru tampak lebih cepat dikelola dibanding penyelamatan jiwa.

Namun kenyataannya, subsidi itu tampaknya tidak menjamin keselamatan yang seharusnya menjadi prioritas mutlak. Warga tinggal, tetapi nyawa seperti digantungkan pada status “dalam perbaikan” yang tak kunjung jelas ujungnya.

Terkait persoalan administrasi seperti IMB yang telah berubah menjadi PBG dan SLF, Rasiman menyebut semuanya berada di tangan Pusat Pengelolaan Komplek Kemayoran (PPKK).

“Semua perawatan gedung dari PPKK, kita hanya mengajukan terlebih dahulu,” katanya.

Kalimat ini justru mempertegas bahwa ada rantai birokrasi panjang yang selama bertahun-tahun tampaknya hanya memindahkan tanggung jawab tanpa memastikan hasil akhir, kelayakan bangunan yang dihuni masyarakat.

Sementara masalah keselamatan belum tuntas, warga kembali dihadapkan pada perubahan di area parkir dengan penerapan sistem Gat Parkir. Dengan tarif Rp 250.000 per bulan untuk mobil dan Rp 70.000 untuk motor, sistem ini dikelola langsung oleh vendor PPKK. Rasiman mengatakan sistem baru ini.

“lebih aman dan terkendali, namun tidak menjelaskan bagaimana mekanisme pengalihan dan pengawasan diterapkan,” ungkapnya.

Di tengah kondisi gedung yang belum layak keselamatan, kebijakan parkir justru tampak lebih cepat dikelola dibanding penyelamatan jiwa.

Kasus ini memunculkan tanda tanya yang tak bisa diabaikan, selama 21 tahun usia gedung, di mana pengawasan negara? Mengapa bangunan dengan label “tidak memenuhi keselamatan kebakaran” bisa tetap dihuni seolah tidak ada bahaya yang mengintai? Dan mengapa tindakan perbaikan baru bergerak setelah stiker Damkar terpampang dan sorotan meningkat?.

Ketika negara menanggung biaya perawatan tetapi keselamatan penghuni tetap terancam, patut dicurigai ada persoalan manajemen, pengawasan, bahkan potensi pembiaran. Keselamatan bukan fasilitas tambahan apalagi opsional. Ia adalah hak warga negara yang seharusnya dijamin sejak hari pertama bangunan itu dihuni. Namun di Rusun Tahap Tiga, hak itu tampaknya baru diingat setelah alarm bahaya terlanjur berbunyi. •didit

[rss_custom_reader]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *