Kasus KDRT, Dua Saksi Ahli Mengatakan Penyidikan Tidak Sesuai SOP

oleh -567 views
oleh
JAKARTA, HR – Ketua Majelis Hakim Pinta Uli Tarigan, SH dari Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, kembali menggelar persidangan kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) atasnama terdakwa JA, Selasa (26/07/16).
Dua saksi Ahli DR. Djaya dan
Kombes (pur) P. Sinambela, SH, MH
Persidangan sudah memasuki agenda pemeriksaan saksi ahli. Ada dua saksi ahli yang didengarkan keterangannya, yakni, saksi ahli forensic dan saksi ahli penyidikan. Doktor dr. Djaja Surya Atmadja, SpF, PhD, SH, DFM, sebagai saksi ahli Forensik mengatakan bahwa pembuatan visum et-repertum harus dibuat oleh dokter ahli forensic. Jika suatu visum hanya dibuat oleh dokter umum bukanlah merupakan keterangan ahli yang menjadi alat bukti surat tetapi hanya sebagai keterangan atau petunjuk. Dan dalam visum et-revertum tidak disebutkan bahwa yang melakukan itu siapa tetapi menyebutkan posisi luka, ukuran luka dan diakibatkan oleh benda apa, apakah itu benda tumpul atau benda tajam.
Doctor Djaya Atmadja menjelaskan bahwa pembuatan visum et-revertum berdasarkan laporan polisi. Karena visum et-repertum Pro-Justitia. Tetapi dia juga menjelaskan bahwa dokter umum boleh memeriksa pasien dan memberikan tanda atau mencatat posisi luka yang kemudian konsultasi dengan ahli forensic untuk membuatkan visum et-revertum.
Tetapi doctor Djaja juga menjelaskan bahwa visum et-revertum yang dibuat oleh dokter umum itu tidak menjadi tanggung jawab dokter ahli. Dan dokter umum juga tidak boleh menjadi saksi ahli.
Jawaban atau keterangan saksi ahli Forensik ini diterangkan atas pertanyaan kuasa hukum terdakwa, majelis hakim dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) berkaitan visum et-revertum yang dibuat dokter umum dr. Henry Rono Rustan (dokter UGD RS Gading Pluit) dan pernyataan dr. Henry Rono Rustan yang diperiksa sebagai saksi ahli forensic pada persidangan sebelumnya.
“Jadi dokter umum tidak boleh menjadi ahli forensic. Jika rekam medic ditingkatkan menjadi visum et-revertum, visum itu tidak menjadi tanggungjawab ahli forensic tetapi hasil pemeriksaan itu menjadi petunjuk saja bukan sebagai alat bukti surat,” ucap Doktor Djaya menjawab penegasan Kuasa Hukum terdakwa Elisa Manurung, SH.
Lebih ditegaskan lagi oleh keterangan saksi ahli penyidikan terkait pembuatan visum et-revertum. Kombes Pol (Pur) P. Sinambela, SH, MH dalam persidangan menjelaskan Standar Operasional Prosedur (SOP) penyidikan diatur pada Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tetang Manejemen Penyidikan Tindak Pidana, dan juga peraturan menteri kehakiman tahun 1982 dan tahun 1983, mengenai dimulainya suatu penyelidikan/penyidikan tindak pidana adalah diawali adanya Laporan polisi.
Laporan polisi inilah yang menjadi salah satu petunjuk untuk melakukan penyelidikan/penyidikan tindak pidana. Bila dalam laporan polisi itu adalah perbuatan penganiayaan atau mengakibatkan luka terhadap fisik terlapor (yang luka itu dibuatkan visum ke Rumah sakit) berdasarkan laporan polisi tersebut. Baru kemudian memeriksa pelapor membuat BAP (Berita Acara Pemeriksaan) oleh satuan penyidik yang telah ada surat perintah penyidikan dari komandan satuan. Setelah itu baru kemudian memanggil saksi-saksi yang melihat terjadinya peristiwa untuk diperiksa atau BAP.
“Dan dalam suatu peristiwa pidana penganiayaan fisik harus ada minimal dua saksi fakta baru dicarikan bukti petunjuk lainnya atas terjadinya peristiwa, contohnya visum et-revertum,” ucap P. Sinambela, SH, MH yang sudah menjadi penyidik selama 32 tahun di Polda Metro Jaya.
Setelah dilakukan pemeriksaan saksi-saksi yang melihat terjadinya peristiwa dan saksi itu dalam keterangannya menyatakan bahwa terjadi penganiayaan yang dilakukan terlapor dan ditambah visum et-repertum yang menjelaskan terjadi penganiayaan ringan atau sedang maka penyidik melakukan pemanggilan terhadap terlapor dengan panggilan 1, 2 dan ketiga adalah pemanggilan paksa atau jemput paksa.
“Jika ada kejadian diluar itu, berarti itu tidak sesuai SOP penyidikan kepolisian,” tegas Kombes purnawirawan itu.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Lufti Noor Rosida, SH dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Utara, telah mendakwa terdakwa JA melanggar Pasal 44 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2003 tetang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga padahal tidak ada saksi yang menyaksikan terjadinya peristiwa.
Oleh karena itu Kuasa Hukum terdakwa Elisa Manurung mengatakan: “Hanya Tuhan dan Malaekat dan kedua suami istri itulah yang tahu kebenaran peristiwa itu. Karena tidak ada saksi mata yang menyaksikan terjadinya peristiwa yang dilaporkan, sementara saksi yang dihadirkan jaksa dipersidangan bukanlah saksi fakta, tetapi hanya saksi katanya-katanya.”
Lebih jauh Elisa mengatakan bahwa peristiwa laporan KDRT ini adalah rekayasa.
“Saya tidak dapat membayang seorang dokter sampai ditahan secara fisik dipenjara hanya karena rekayasa. Ini sudah terbukti semua bahwa keterangan keterangan saksi yang diajukan jaksa kepersidangan tidak ada saksi yang berkualitas,” pungkasnya.
Kuasa Hukum terdakwa Ombun Suryono Sidauruk, SH menunjukkan bukti-bukti laporan polisi yang tidak memenuhi unsur kepada HR. mulai dari pembuatan laporan dan surat panggilan polisi. Terjadinya peristiwa KDRT sesuai keterangan pelapor Winda Olysia dalam laporan polisi no. 522/K/X/2015/Restro.Ju/Sek. Gading tertanggal 25 Oktober 2015, atasnama tersangka JA.
Pelapor Winda Olysia 27 tahun melaporkan terjadnya peristiwa KDRT Rabu (7/10/15) jam 23 Wib, di Jln. Janur Hijau, Blok VIII, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Jam 14;48 Wib. Kemudian, Kapolsek mengajukan surat Pol:70/VER/X/2015/PMJ/Res.JU/SGD, kepada Direktur RS. Gading Pluit dalam ketrangan didalam surat mengirimkan seorang perempuan Winda Olysia diduga telah mengalami memar akibat penganiayaan Ringan Pasal 352 KUHP. Orang tersebut datang melapor/dibawa polisi pada tanggal 8-Oct-2015, melapor kepada polisi 08-Oct-2015, untuk diadakan bantuan pemeriksaan terhadap orang tersebut serta dibuatkan Visum Et-repertum, Jakarta 08 0ct-2015 a.n Kapolsek Kelapa Gading KA. SPKT “B” S. IRIANTO. IPDA NRP 63010603.
“Disini laporan adalah pasal 352, tetapi polisi membuat laporan KDRT, ini semua rekayasa,” kata Ombun.
Maka keluarlah surat no.22/Visum-RSG, P/XII/2015 tertanggal 14 Desember 2015, hasil pemeriksaan Forensik Klinik terhadap Ny. Winda Olysia. PRO JUTITIA Visum ET REPERTUM. Yang ditanda tangani dr. Henry Rono Rustan dokter pada instalasi Gawat darurat atas permintaan Polsek Kelapa gading tanggl 8 Oktober 2015 dengan surat Pol:70/VER/X/2015/PMJ/Res.JU/SGD, kepada Direktur RS. Gading Pluit dan telah melakukan pemeriksaan terhadap korban, yang merupakan pasien dengan rekam medis nomor 60-07-17-84.
“Ini rekam medis yang ditingkatkan menjadi Visum Et-repertum. Dari tempo waktu yang berjalan terlihat ada sutradara,” ungkap Ombun Suryono.
Kemudian surat kapolsek kelapa gading no.;B/870/V/2016/Eek. Gading. Kepada Kepala RS Gaing Pluit perihal bantuan Pengahdapan Ahli, tanggal 10 mei 2016.dan permintaan saksi ahli Doktor dr. Djaja Surya Atmadja, SpF, PhD, SH, DFM, tetapi yang dihadirkan jaksa kepersidangan sebagai saksi ahli adalah dokter Henry Rono Rustan (dokter umum).
Dalam persidangan dokter Henry yang adalah dokter umum disumpah sebagai saksi ahli Forensik padahal dia bukan ahli forensic.
“Semua dibuat seperti dagelan saja. Terlalu digampangkan,” pungkas Ombun, selain itu tambah Ombun bahwa berita acara pengambilan sumpah pada hari Rabu (11/05/2016) pukul 14.30 Wib tetapi pada pertanyaan berita acara disebutkan jam 15.30.
Pada surat panggilan No, SPGL/79/II/2016/Sek. Gading tanggal surat tidak jelas Februari 2016 surat panggilan pertama penyidik memanggil terlapor untuk datang menghadap penyidik Bripda Maya Windiastuti Kamis tanggal 18 Februari 2016 Jam 10 Wib, tetapi surat panggilan ke dua surat No.SPGL/90/II/2016/Sek. Gading tertanggal 16 Februari sudah dibuat lagi yang ditandatangani Kapolsek Kelapa Gading AKP Ari Cahya Nugraha.
“Apa maksudnya administrasi seperti ini. Emangnya penyidik lagi kejar tayang? Tanggal pemanggilan belum tiba sudah ada lagi surat lain, ini sudah ga jelas polisinya,” ujar Ombun. thomson g

Responses (2)

Tinggalkan Balasan