Kasus KDRT Diduga Rekayasa Pelapor

oleh -465 views
oleh
JAKARTA, HR – Ketua Majelis Hakim Pinta Uli Tarigan kembali menggelar persidangan kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) atas nama JA di pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Kamis (28/0 7/16).
Persidangan kali ini sudah masuk agenda pemeriksaan terdakwa. Dari keterangan terdakwa makin terungkap bahwa laporan KDRT yang didakwakan kepadanya adalah rekayasa.
Pertanyaan Majelis, Jaksa maupun Kuasa hukum terdakwa menjawab tidak pernah menganiaya istrinya. Jangan kan menganiaya melakukan kekerasan pun tidak pernah.
Jadi bagaimana laporan ini bohong dong semua,”ucap ketua majelis hakim.
Oleh karena itu Elisa Manurung, SH meminta majelis membuat penetapan untuk penangkapan saksi pelapor (Winda Olysia) karena sudah bersumpah palsu Dipersidangan.
Pada persidangan Selasa (26/07/16) Dua saksi ahli, yakni, saksi ahli forensic dan saksi ahli penyidikan menyatakan bahwa penyidik an perkara tidak sesuai SOP (Standard Operasional Prosedur).
Doktor Djaja Surya Atmadja, SpF, PhD, SH, DFM, sebagai saksi ahli Forensik mengatakan bahwa pembuatan visum et-repertum harus dibuat oleh dokter ahli forensic. Jika suatu visum hanya dibuat oleh dokter umum bukanlah merupakan keterangan ahli yang menjadi alat bukti surat tetapi hanya sebagai keterangan atau petunjuk. Dan dalam visum et-revertum tidak disebutkan siapa yang melakukan tetapi menyebutkan posisi luka, ukuran luka dan diakibatkan oleh benda apa, apakah itu benda tumpul atau benda tajam.
Doctor Djaya Atmadja menjelaskan bahwa pembuatan visum et-revertum berdasarkan laporan polisi. Karena visum et-repertum Pro-Justiti. Tetapi dokter umum tidak boleh menjadi saksi ahli.
Jawaban atau keterangan saksi ahli Forensik ini diterangkan atas pertanyaan kuasa hukum terdakwa, majelis hakim dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) berkaitan visum et-revertum yang dibuat dokter umum dr. Henry Rono Rustan (dokter UGD RS Gading Pluit) dan pernyataan dr. Henry Rono Rustan yang diperiksa sebagai saksi ahli forensic pada persidangan sebelumnya.
Lebih ditegaskan lagi oleh keterangan saksi ahli penyidikan terkait pembuatan visum et-revertum. Kombes Pol (Pur) P. Sinambela, SH, MH dalam persidangan menjelaskan Standar Operasional Prosedur (SOP) penyidikan diatur pada Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tetang Manejemen Penyidikan Tindak Pidana, dan juga peraturan menteri kehakiman tahun 1982 dan tahun 1983, mengenai dimulainya suatu penyelidikan/penyidikan tindak pidana adalah diawali adanya Laporan polisi.
Laporan polisi inilah yang menjadi salah satu petunjuk untuk melakukan penyelidikan/penyidikan tindak pidana. Bila dalam laporan polisi itu adalah perbuatan penganiayaan atau mengakibatkan luka terhadap fisik terlapor (yang luka itu dibuatkan visum ke Rumah sakit) berdasarkan laporan polisi tersebut. Baru kemudian memeriksa pelapor membuat BAP (Berita Acara Pemeriksaan) oleh satuan penyidik yang telah ada surat perintah penyidikan dari komandan satuan. Setelah itu baru kemudian memanggil saksi-saksi yang melihat terjadinya peristiwa untuk diperiksa atau BAP.
“Dan dalam suatu peristiwa pidana penganiayaan fisik harus ada minimal dua saksi fakta baru dicarikan bukti petunjuk lainnya atas terjadinya peristiwa, contohnya visum et-revertum,” ucap P. Sinambela, SH, MH yang sudah menjadi penyidik selama 32 tahun di Polda Metro Jaya.
Setelah dilakukan pemeriksaan saksi-saksi yang melihat terjadinya peristiwa dan saksi itu dalam keterangannya menyatakan bahwa terjadi penganiayaan yang dilakukan terlapor dan ditambah visum et-repertum yang menjelaskan terjadi penganiayaan ringan atau sedang maka penyidik melakukan pemanggilan terhadap terlapor dengan panggilan 1, 2 dan ketiga adalah pemanggilan paksa atau jemput paksa. thomson g


(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Tinggalkan Balasan