BENGKULU, HR – Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 6 (enam) permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (Keadilan Restoratif) pada Kamis 13 Maret 2025.
Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Nazaruddin bin Zainuddin dari Kejaksaan Negeri Aceh Utara, yang disangka melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.
Kronologi bermula pada hari Jumat, 10 Januari 2025, sekitar pukul 20.30 WIB, Tersangka Nazaruddin Bin Zainuddin berada di rumahnya yang beralamat di Gampong Keude Jrat Manyang, Kecamatan Tanah Pasir, Kabupaten Aceh Utara. Saat itu, ia didatangi oleh rekannya, Saksi Zulkifli bin Basyari. Saksi Zulkifli datang dengan membawa satu unit pendingin ruangan (AC) merk Panasonic berwarna putih dan menawarkan barang tersebut kepada Tersangka dengan harga Rp1.500.000 (satu juta lima ratus ribu rupiah).
Dalam penawarannya, Saksi Zulkifli mengklaim bahwa AC tersebut adalah milik abangnya yang hendak dijual. Karena tergiur dengan harga yang relatif murah, Tersangka akhirnya melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan bahwa AC tersebut akan dibeli dengan harga Rp1.000.000 (satu juta rupiah). Setelah pembayaran dilakukan, AC tersebut disimpan oleh Tersangka di dalam rumahnya.
Keesokan harinya, pada hari Sabtu, 11 Januari 2025, pihak Kepolisian Resor Aceh Utara mendatangi rumah Tersangka dan menginformasikan bahwa AC yang telah dibeli Tersangka adalah hasil dari tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh Saksi Zulkifli bin Basyari. Barang tersebut diketahui telah diambil tanpa izin dari Gedung Sekolah SMK Negeri 1 Lapang.
Saat proses pembelian berlangsung, Tersangka sempat merasa curiga dan menanyakan kepada Saksi Zulkifli apakah AC tersebut merupakan barang hasil curian. Namun, Saksi Zulkifli tidak memberikan jawaban yang jelas. Meski demikian, karena tergiur dengan harga murah, Tersangka tetap melakukan pembelian tanpa memastikan asal-usul barang tersebut lebih lanjut.
Setelah penyelidikan lebih lanjut, disimpulkan bahwa Tersangka Nazaruddin bin Zainuddin diduga kuat telah melakukan tindak pidana pertolongan jahat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Aceh Utara, Teuku Muzafar, S.H., M.H. QRMA, Kasi Pidum Oktriadi Kurniawan S.H. dan Jaksa Fasilitator Harri Citra Kesuma, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.
Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Saksi Korban. Lalu Saksi Korban meminta agar proses hukum yang dijalani oleh tersangka dihentikan.
Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Aceh Utara mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh Muhibuddin, S.H. M.H.
Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Kamis 13 Maret 2025.
Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap 5 (lima) perkara lain yaitu:
Tersangka Selvi Salim alias Epi dari Kejaksaan Negeri Morowali Utara, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka Ismail Marjuki bin Idris dari Kejaksaan Negeri Samarinda, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka Adi Sakti alias Adi dari Kejaksaan Negeri Donggala, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Tersangka Imran alias Uwo dari Kejaksaan Negeri Donggala, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian jo. Pasal 56 Ayat (1) KUHP.
Tersangka I Yola Herniasih binti Hera Santa Dyna dan Tersangka II Dyna Eva Adrence Tulandi anak dari Ariaryantje Verseles Tulandi dari Kejaksaan Negeri Balikpapan, yang disangka melanggar Pasal 170 Ayat (1) KUHP tentang Pengeroyokan atau Pasal 351 Ayat 1 KUHP tentang Penganiyaan jo. Pasal 55 KUHP.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
Tersangka belum pernah dihukum;
Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
Pertimbangan sosiologis;
Masyarakat merespon positif.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum. rls/ependi silalahi