Jaga Hutan Papua untuk Keberlanjutan Budaya Masyarakat Adat

oleh -1.5K views
oleh

SORONG, HR – Hutan di Provinsi Papua dan Papua Barat tidak lepas dari ancaman. Perambahan dan alih fungsi hutan primer tersebut menjadi perkebunan sawit maupun Hutan Tanam Industri sudah terjadi di beberapa lokasi.

Kondisi itu perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak. Pasalnya, perubahan fungsi hutan di bumi Cendrawasih ini akan menghasilkan dampak pada ekosistem dan masyarakat sekitar dan dalam kondisi hutan.

Hal itu diperlihatkan dalam 4 film pendek yang diputar dalam Diskusi Lingkar Papua yang digelar Yayasan EcoNusa bekerjasama dengan Papuan Voices, belum lama ini, di Jakarta. Film-film yang berjudul Kehidupan di Hutan Mobak, Mama Kasmira, Mama Mariode serta Wasur – Pemburu Terakhir merupakan film yang sudah diputar dalam Festival Film Papua II yang diselenggarakan oleh Papuan Voices. Keempatnya menceritakan pergumulan yang dihadapi oleh masyarakat secara psikis, fisik serta budaya di Papua terhadap perubahan kondisi alam mereka.

Hadir dalam diskusi bulanan tersebut Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden Sylvana Apituley, Koordinator Umum Papuan Voices Markus Binur,Sutradara Film Hutan Mobak Ottow Wanm, Sutradara Film Mama Mariode, Stand Up Comedian Yewen Papua, dan Melda Wita Sitompul, Direktur Yayasan EcoNusa sebagai moderator.

Melda Wita Sitompul, Direktur Yayasan EcoNusa, mangatakan, bahwa Diskusi Lingkar Papua merupakan diskusi #Beradat #JagaHutan agar dapat mendekatkan keindahan Tanah Papua dengan kita yang tinggal diluar Papua. Diskusi Lingkar Papua akan mengangkat isu-isu pesona hutan, kerentanan juga kearifan lokal masyarakat adat Papua. Selain itu kita juga dapat menyajikan cerita konflik, kesenjangan dan ketidakadilan Papua. Hal ini dilakukan agar mendukung semangat pemerintah dan masyarakat diluar Papua untuk merasa memiliki hutan dan laut Papua dan bersama membantu masyarakat Papua untuk #Beradat #JagaHutan.

Letak Papua yang jauh dari Pusat Pemerintahan di Jakarta kerap menjadikan kondisi nyata di daerah tersebut kurang terdengar. Oleh karena itulah, film menjadi salah satu media yang efektif dalam menyampaikan pesan secara audio dan visual.

“Kampanye menjaga lingkungan ini lebih efektif dengan audio visual, karena menyentuh orang yang menonton dan juga karena ada budaya membaca yang sangat terbatas di kampung-kampung, masyarakat bisa dapat pesannya, begitu juga dengan pemerintah dan orang di luar kawasan hutan,” ucap Markus Binur.

Salah satu bentuk nyata atas efektifitas film sebagai bahan kampanye adalah dengan lahirnya peraturan Daerah yang berpihak pada masyarakat adat. Hal itu dikatakan Markus dilakukan oleh Bupati Jayapura karena melihat film yang dibuat oleh Papuan Voices.

“Jadi mereka rancang peraturan daerah untuk mengakomodir hak-hak masyarakat adat atas penguasaan hutan, respon pemerintah untuk mulai ke arah sana menurut kami sangat luar biasa,” tambah Markus.

Media film juga menjadikan orang Papua menjadi lebih percaya diri. Hal itu ditunjukan oleh film Hutan Mobak, sang pemeran utama Leo wambitman dikatakan justru mendorong agar pembuatan film dilakukan untuk menyampaikan pesan yang hendak disampaikan kepada masyarakat luar.

“Dia minta agar kami merekam dia, dia bilang mau bicara soal hutan dan kami diminta untuk bawa ini bahkan sampai ke Bupati Raja Ampat,” ucap Ottow Wanma.

Agustinus Kalalu selaku Sutradara Film Mariode menambahkan jika film menjadi salah satu saluran efektif kampanye lingkungan. Dalam film yang digarapnya, Keberanian dari Mama Mariode dibingkai untuk memacu nyali yang sama dari pihak laki-laki. “Karena memang hanya dia yang berani untuk bicara, makanya kisah mama-mama yang pemberani ini harus kita sampaikan agar laki-laki juga tidak perlu takut dan jangan malah jadi jualan lahan,” terang Agus.

Sementara itu, Pemerintah melalui Sylvana Apituley menjelaskan bagaimana perhatian pemerintah terhadap masyarakat Papua tinggi dalam masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hal itu dapat dilihat dari beberapa proyek yang sedang berjalan di Papua, dan kebijakan untuk BBM satu harga yang menandakan bahwa Masyarakat Papua pun memiliki hak yang sama dengan masyarakat di Indonesia bagian Barat, khususnya Jakarta.

“Selama ini masyarakat hanya tahu yang negatif tentang Papua, masyarakat nasional juga harus tahu semua yang baik dan positif dan kemajuan yang dicapai selama pemerintahan Pak Jokowi,” ucap Sylvana.

Dirinya secara khusus menilai film sebagai alat edukasi yang baik. Apalagi film yang diproduksi dengan melibatkan masyarakat setempat. Dengan film, maka cerita soal Papua yang diangkat ke nasional pun dipandang dia sebagai hal yang efektif.

“Publik nasional memang perlu mendapat informasi yang jelas dan benar tentang keadaan Papua, baik oleh kerja Pemerintah nasional dan daerah maupun oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan. Juga supaya kita semua aware tentang tantangan yang kita hadapi untuk meningkatakan kualitas hidup orang asli Papua,” pungkas Sylvana. nb

Tinggalkan Balasan